Monday, December 31, 2012

Saturday, December 15, 2012

Pondok Pesantren LDII Burengan Kediri

I. Pendahuluan
Hingga saat ini kajian ilmiah mengenai Pondok Pesantren Burengan (PPB) yang terletak di kota Kediri sebagai salah satu pondok pesantren besar di Indonesia masih belum memadai. Padahal selama satu dekade terakhir ini PPB mengalami perkembangan yang luar biasa. Sejak tahun 2001 misalnya, PPB mengelola dan mendidik siswa (santri) mukim rata-rata berjumlah 1700 orang.1 Angka itu belum mencakup santri kalong yang pada saat tertentu secara periodik dapat mencapai 3000 orang.2 PPB tidak hanya mendidik santri-santri yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia tetapi juga dari luar negeri seperti Singapura Malaysia, Perancis, Belanda, Suriname, dan sebagainya. Dengan demikian alumni PPB juga menyebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia dan luar negeri.
Apa yang digambarkan di atas berhubungan dengan efektifitas dan efisiensi dari sistem pendidikan yang diterapkan di PPB. Sistem pendidikan di pesantren ini terutama berbasiskan pada kajian intelektual dari sumber ilmu Islam yaitu Al Qur’an an Al Hadits. Metode pembelajaran yang diterapkan di pesantren ini berpegang pada kajian tekstual yang ditransformasikan dalam bentuk-bentuk kultural yang bersifat kontektual dan kemudian dimanifestasikan dalam prilaku yang islami.
Keunikan PPB juga dapat dilihat dari sarana dan prasarana yang dimilikinya. Pesantren ini memiliki sarana gedung yang cukup representatif baik untuk ruang belajar, tidur, kamar mandi, perpustakaan, aula pertemuan dan olah raga, masjid, dapur dan sebagainya. Masjid yang berada di komplek pondok juga dilengkapi dengan menara setinggi 90 M. Apa yang paling menarik adalah kebersihan podok pesantren kelihatan sangat terjamin. Hal ini berbeda dengan citra pondok pesantren tradisional selama ini yang diidentikkan dengan penyakit kulit karena kejorokannya. Hal yang juga menarik adalah bahwa ribuan alumni lulusan PPB ini terserap oleh kebutuhan masyarakat modern yang haus secara spiritual. Mereka menjadi mubaligh di berbagai penjuru di Indonesia dan beberapa negara di luar negeri.
Dengan latar belakang itulah artikel ini akan mengkaji bagaimana sistem pendidikan PPB sehingga mampu berkembang menjadi pondok pesantren yang mampu menjadi rahmatan lil alamin bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Artikel ini akan lebih memfokuskan pada kajian model pembelajaran hukum-hukum Islam di PPB. Penekanan pada kajian model pembelajaran ini sangat penting karena model pembelajaran akan mempengaruhi dan menentukan pola berpikir dan berperilaku para santri alumni dalam kehidupan masyarakat.3
II. Potret Pondok Pesantren Burengan
A. Sejarah Singkat
Pondok Pesantren LDII Burengan atau juga dikenal dengan nama Pondok Burengan terletak di jalan H.O.S. Cokroaminoto 195 Kediri, propinsi Jawa Timur. Pondok Burengan memiliki sejarah yang cukup panjang. Pondok pesantren ini didirikan oleh K.H. Nurhasan Al Ubaidah pada tahun 1952 dengan nama Pondok Pesantren Burengan-Banjaran Kediri. Pada waktu itu kondisi bangunan pondok masih sangat sederhana yaitu dengan dinding bambu dan lantai tanah. Dengan perjuangan dakwah yang tidak mengenal lelah dan penuh dengan pengorbanan akhirnya K.H. Nurhasan Al Ubaidah berhasil mengembangkan pondok pesantren ini dengan cepat.
Pada awal perkembangannya, strategi dakwah yang digunakan adalah dengan menyelengarakan asrama khataman Al Qur’an dan Hadits yang diselenggarakan dengan cara keliling (dengan tempat yang berpindah-pindah). Bahkan tidak jarang K.H. Nurhasan melayani debat terbuka dengan para kyai terkenal di kawasan Jawa Timur.4 Asrama khataman yang pertama diselenggarakan pada tahun 1954 yang pada waktu itu diikuti oleh 30 laki-laki dan 10 perempuan. Pada tahun 1956, kegiatan asrama Al Qur’an diselenggarakan di Jalan Panggung Sasak Surabaya dengan diikuti oleh sekitar 100 orang. Strategi dakwah semacam ini sangat menarik perhatian masyarakat yang haus akan ilmu Al Qur’an dan Hadits. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1960-an terjadi konflik yang semakin memanas antara partai-partai politik yang Islam dengan partai-partai politik yang sekuler.
Pada tahun 1973 K.H. Nurhasan Al Ubaidah menderita sakit sehingga tidak mampu lagi untuk mengelola Pondok Burengan. Pada akhirnya Dewan Guru Pondok memilih Drs. Bachroni Hertanto selaku Pimpinan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) sebagai pimpinan pondok hingga wafatnya pada tahun 1985. Selanjutnya Direktorium Pusat LEMKARI berserta dengan Dewan Guru Pondok dan anggota civitas akademika lain memilih Drs. H. Imam Supardi sebagai Pimpinan pondok. Namun demikian karena kesibukannya sebagai pegawai negeri, ia kemudian mengundurkan diri sebagai pimpinan pondok pada tahun 1989. Untuk selanjutnya terpilihlah H. Abdul Hamid Mansur, S.H. untuk menjadi ketua pimpinan Pondok Pesantren LEMKARI. Pada tahun 19-20 November 1990 LEMKARI menyelenggarakan Musyawarah Besar (MUBES) ke-4 di Jakarta yang memutuskan antara lain perubahan nama LEMKARI menjadi LDII.5 Dengan demikian namanya juga berubah menjadi Pondok Pesantren LDII Burengan-Banjaran Kediri. Nama ini dipakai hingga saat ini. Pada saat ini pimpinan pondok dipegang oleh K.H. Kuncoro Kaseno, S.E.
B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan
Puncak dari struktur organisasi pondok pesantren adalah Dewan Penasehat yang beranggotakan dua orang. Dewan Penasehat mempunyai tugas memberikan garis besar arah kebijakan pengembangan pondok pesantren di masa depan. Di samping memiliki fungsi konsultatif, Dewan Penasehat juga memiliki fungsi kontrol dan evaluasi terhadap kinerja yang dilakukan oleh Pimpinan Pondok. Dengan demikian Dewan Penasehat memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menentukan arah perkembangan pondok.
Di bawah Dewan Penasehat terdapat Pimpinan Pondok yang merupakan badan eksekutif tertinggi yang bertugas menjabarkan dan mengimplementasikan arah kebijakan pengembangan pondok pesantren yang digariskan oleh Dewan Penasehat. Pimpinan Pondok bertanggungjawab atas pengelolaan seluruh perputaran roda kehidupan pondok sehari-hari. Berkembang dan mundurnya pondok ditentukan oleh kinerja Pimpinan Pondok yang dibantu oleh Wakil Pimpinan Pondok dan jajaran stafnya. Pada saat ini Pimpinan Pondok dijabat oleh K.H. Kuncoro Kaseno, S.E. sedangkan Wakil Pimpinan Pondok dipegang oleh H. Umar Shodiq.
Dalam pengelolaan kegiatan sehari-hari Pimpinan Pondok dibantu oleh staf yang terdiri dari Sekretaris dan Bendahara. Sekretaris bertanggungjawab kepada Pimpinan Pondok dalam pelaksanaan tugasnya di bidang administrasi umum pondok. Dalam mengemban tugas, sekretaris dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris. Sementara itu tugas Bendahara adalah mengelola keuangan pondok dan mempertangungjawabkannya kepada Pimpinan Pondok. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bendahara dibantu oleh Wakil Bendahara.
Untuk pelaksanaan tugas harian dalam rangka menggerakkan dinamika pondok, Pimpinan Pondok dibantu juga oleh Koordinator Bidang dan Seksi-seksi. Dalam hal ini terdapat satu koodinator yaitu Koordinator Bidang Pendidikan yang dibantu oleh seorang Sekretaris Seksi Pendidikan dengan membawahi: Seksi Pendidikan Siswa, Seksi Pendidikan Generasi Penerus, dan Seksi Pendidikan Warga. Seksi Pendidikan Siswa bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan proses pembelajaran para santri secara umum. Seksi Pendidikan generasi penerus (Generus) menjalankan fungsi untuk membina para santri dan remaja lingkungan pondok untuk mendalami ilmu Al Qur’an dan Hadits dengan harapan agar mereka dapat menjalankan hidupnya dengan menjadi mubaligh. Sementara itu seksi Pendidikan Warga bertugas menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengajian dan kegiatan keagamaan lain dengan sasaran anggota keluarga para pengurus dan guru pondok. Selain itu juga terdapat sembilan Seksi di luar pendidikan yaitu Seksi Pembangunan, Seksi Keamanan, Seksi Hubungan Masyarakat, Seksi Konsumsi, seksi Kendaraan, Seksi Kebersihan, Seksi Olah Raga, Seksi Kesehatan, serta Pembantu Umum.
Di dalam struktur Bidang Pendidikan terdapat Dewan Guru yang merupakan kumpulan dari para pengajar atau ustad yang mengajar berbagai ilmu agam di Pondok. PPB memiliki 40 orang guru yang terdiri dari 30 guru pria dan 10 orang guru wanita. Anggota Dewan Guru ini sebagian besar menetap di dalam lingkungan pondok, sedangkan sisanya tinggal di luar pondok. Semua guru adalah para alumnus terbaik dari PPB. Namun demikian mereka direkrut menjadi guru PPB setelah mereka menjalani pengabdian sebagai mubaligh di daerah-daerah tugass. Pada saat mereka bertugas di daerah-daerah itulah para guru senior memantau dan menilai kinerja mereka. Jika mereka dapat menjalankan tugas dengan baik tanpa ada cacat moral dan sosial, maka mereka bisa direkrut menjadi guru di PPB sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Secara formal, Pondok Burengan tidak dapat dipisahkan dengan organisasi LDII. Antara Pondok Burengan dan organisasi LDII memiliki ikatan historis dan emosional yang sangat erat. Pondok Burengan merupakan pondok pesantren yang berada di bawah payung organisasi LDII. Sebaliknya organisasi LDII mewadahi kepentingan-kepentingan Pondok Burengan dalam berhubungan dengan lembaga-lembaga lain baik pemerintah maupun non-pemerintah. Dimensi-dimensi kegiatan dakwah dari organisasi LDII terutama yang menyangkut pendidikan para mubaligh dipersiapkan dan digodog oleh Pondok Burengan. Jadi ada semacam hubungan timbal balik antara keduanya.
Penggodogan santri calon mubaligh sebetulnya bukan hanya dilakukan di PPB saja tetapi juga di pondok-pondok pesantren yang lebih kecil yang disebut Pondok Mini. Pondok Mini ini berfungsi mendidik dan mempersiapan santri lokal agar dapat lolos test masuk PPB. Bagi daerah yang belum memiliki Pondok Mini dapat mempersiapkan hal ini di Pondok Gading Mangu di Kertosono. Pada saat ini hampir setiap daerah setingkat kabupaten / kota atau setingkat DPD (Dewan Pimpinan Daerah) LDII Kabupaten/ Kota sudah memiliki pondok mini. Namun demikian belum ada jumlah yang pasti mengenai hal ini. Yang jelas bahwa saat ini LDII sudah memiliki cabang di 32 propinsi (DPD Propinsi), 302 DPD Kabupaten/ Kota, 1637 PC (Pengurus Cabang) di tingkat kecamatan, dan 4.500 PAC (Pengurus Anak Cabang) di tingkat desa.6
Perlu dikemukakan di sini bahwa para pengurus Pondok dipilih dengan menggunakan dasar ‘musyawarah untuk mufakat’ di antara anggota Dewan Pimpinan Pusat LDII, Dewan Guru Pondok, dan civitas akademika yang lain. Prosedur ini memang sesuai dengan ajarah Islam yang menganjurkan kepada umat selalu bermusyawarah dalam memecahkan persoalan umat. Musyawarah diyakini dapat mengakomodasi berbagai pendapat dan kepentingan dalam bingkai yang sama. Oleh karena itu tidak pernah terjadi percekcokan di antara warga pondok dalam persoalan pemilihan pengurus Pondok.
C. Fasilitas
Pondok pesantren yang terletak di tengah kota Kediri ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran para santri. Secara umum dapat dikatakan bahwa PPB memiliki kapasitas untuk menampung santri mukim sebanyak sekitar 2000 orang baik laki-laki maupun perempuan dan sekitar 50 orang pengurus dan guru pondok beserta keluarganya.
Bangunan-bangunan pondok terletak di atas tanah seluas 3,4 hektar yang terdiri dari antara lain: kantor pondok 2 lantai, bangunan parkir 7 lantai, gedung Aula Wali Barokah 3 lantai, Gedung DMC Asrama Putra 50 kamar 3 lantai, Asrama Putri 70 kamar 3 lantai, Masjid Baitil A’la 3 lantai, Menara Agung setinggi 99 meter, bangunan kamar tamu umum pria 2 lantai, kamar tamu umum wanita, kamar tamu Wisma Tenteram, Gedung Pengajian, Kantor Organisasi DPP LDII, bangunan rumah para pengasuh dan pengajar, Unit Kesehatan Pria, Unit Kesehatan Wanita, Dapur Asrama, ruang makan tamu, ruang olah raga fitness, lapangan olah raga tenis lantai, dan berbagai unit bangunan lain seperti dapur kamar mandi, ruang tamu, dan sebagainya. Beberapa dari gedung-gedung itu penggunaanya diresmikan oleh para pejabat negara seperti Gedung Aula wali barokah diresmikan oleh Menteri Siswono Yudho Usodo.
PPB tidak memiliki gedung untuk sekolah formal sebab PPB mengkhususkan pada kajian kitab dengan beberapa tambahan pelajaran praktis untuk kehidupan masyarakat. Hal ini berhubungan dengan tujuan PPB yang memang khusus mencetak para pendakwah Islam. Biasanya mereka yang masuk PPB sudah menyelesaikan pendidikan formal pada tingkat tertentu. Baru setelah mereka lulus PPB dan bertugas di daerah, maka sebagian mereka ada yang melanjutkan sekolah formal sambil menjadi mubaligh.
Para santri putri (santriwati) dan santri putra (santriwan) dipisahkan dengan menempati gedung yang berbeda, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh dan masih satu kompleks. Antara asrama puta dan putri terpisahkan oleh masjid. Namun demikian pada jalan menuju ke masjid dibuat tanda pemisah yang terbuat dari tali antara jalan yang khusus santriwati dan santriwan agar di antara mereka tidak senggol-senggolan atau bertabrakan.
Selain memiliki sarana meja-kursi untuk mengaji sebanyak ± 1.500 unit juga terdapat fasilitas antara lain mobil van 4 unit, truk 2unit, minibus 1 unit, dan sepeda motor sebanyak 20 unit. Selain itu, untuk sarana belajar juga disediakan perpustakaan dan fasilitas komputer serta tempat praktek untuk pelajaran ketrampilan seperti menjahit, memasak, dan sebagainya. Selain itu PPB juga memiliki koperasi atau yang disebut Usaha Bersama (UB) yang menyediakan berbagai keperluan sehari-hari dan sembako (sembilan bahan pokok). Selain itu juga ada unit UB yang menangani penjualan kitab-kitab yang dibutuhkan oleh para santri dan para peziarah yang datang dari luar kota yang ingin ber-silaturrahim di PPB. Selain disediakan oleh UB, berbagai keperluan ibadah dan pakaian termasuk-kitab-kitab juga dijual oleh kios-kios yang dimiliki oleh keluarga pengurus PPB dan Dewan Guru yang tinggal di dalam kompleks PPB. Fasilitas lain adalah tersedianya air minum di dalam dispenser yang dapat digunakan oleh dan untuk kesejahteraan seluruh civitas akademika
Satu hal yang menyolok adalah bahwa fasilitas-fasilitas tersebut di atas tampak bersih dan terawat serta tidak terkesan adanya kekumuhan yang secara umum merupakan salah satu ciri khas dari pondok pesantren. Hal ini barangkali tidak luput dari peran seksi Kebersihan pondok yang dapat memberdayakan segala sumber daya yang ada di kampus.
III. Sistem Pendidikan
Visi yang ingin dicapai oleh Pondok Pesantren LDII adalah terlaksananya cita-cita yang dikenal dengan ‘Tri Sukses Pondok LDII’ yang mencakup sukses dalam bidang akhlak, alim, dan trampil/mandiri. Dalam bidang akhlak, pondok ini berusaha untuk mencetak manusia yang berwatak akhlakul karimah, mempunyai budi pekerti luhur, mempunyai tata karma, dan sopan santun dalam pergaulan masyarakat dan keluarga. Para alumni diarapkan menjadi manusia yang memiliki jati diri, berwatak budi luhur, mampu bergaul dengan masyarakat, menghargai orang tua, dan mentaati segala peraturan dan perundang-undangan. Dalam bidang ilmu, pondok ini berusaha untuk mencetak manusia-manusia yang berilmu, mempunyai bekal ilmu agama Islam yang mantap serta mampu mengamalkan ilmu agama secara benar baik secara pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Di bidang ketrampilan dan kemandirian, pondok ini bertekad untuk mencetak insane mandiri. Oleh karena ini di samping para santri menerima pelajaran ilmu-ilmu agaa, merekajuga diberi bekal ketrampilan ssuai dengan bakatnya seperti kerampilan menjahit/ bordir, pertukangan batu/ kayu, elektronik, perbengkelan, pertanian, dan sebagainya. Denbgan demikian diharapkan setelah mereka lulus dari pondok tidak akan menggantungkan diri dapa keluarga dan orang tua, tetapi dapat hidup mandiri.
Sistem pengajaran di PPB tidak didasarkan atas penjejangan yang ketat sebagaimana sekolah formal. Misalnya dalam hal penerimaan santri tidak ada batasan waktu. Setiap bulan PPB dapat menerima santri baru atau bahkan setiap hari. Sebaliknya setiap saat PPB juga meluluskan santri-santrinya tergantung dari kesiapan para santri untuk menjalani test kelulusan, baik kelulusan masing-masing tingkat maupun kelulusan akhir. Dengan demikian pada dasarnya sistem pembelajaran di PPB ini meskipun dilaksanakan secara klasikal berdasar kelompok pembelajaran tetapi sesungguhnya bersifat individual. Bagi santri yang merasa sudah mampu dapat sewaktu-waktu mengajukan untuk test kelulusan tingkat ataupun test kelulusan akhir.
A. Kurikulum
Pondok Pesantren LDII Burengan merupakan ‘pondok tradisional plus’. Dalam hal ini santri tidak hanya diberi pelajaran ilmu agama saja tetapi juga dibekali ketrampilan sehingga bisa tercipta sumber daya manusia yang trampil dan mandiri yang dilandasi iman dan taqwa kepada Tuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di pondok pesantren ini bersifat non formal. Dalam hubungan ini, sistem pendidikan tidak mengenal adanya tingkatan formal dan akhir tahun ajaran. Para santri dikelompokkan atas dasar spesialisasi kitab dan daya serap ilmu yang diajarkan. Setiap santri yang sudah merasa siap dapat mengajukan ujian untuk memperoleh kelulusan.
Ada berbagai kelompok pembelajaran sesuai dengan tingkat kompetensi masing-masing santri mulai dari kelas anak-anak, pemula, hingga kelas untuk persiapan ujian. Paling tidak ada sembilan kelompok pembelajaran yaitu Cabe Rawit (usia 5-12 tahun), Menulis Arab, Bacaan Al Qur’an, Tafsir Lambatan Jawa, Tafsir Lambatan Indonesia, Tafsir Cepatan Jawa, Tafsir Cepatan Indonesia, Ujian/ Test, dan Lanjutan/ Terampil.
Pada kelompok pembelajaran Cabe Rawit, pelajaran yang diberikan adalah hafalan doa-doa shalat, praktek shalat, hafalan doa harian, thoharoh, menulis huruf Arab dan Pegon, pendidikan akhlak. Pada kelompok pembelajaran Menulis Arab diajarkan mata pelajaran menulis huruf Hijaiyah, menulis Pegon, materi Pegon. Adapun kelompok pembelajaran Bacaan Al Qur’an diberi pelajaran tajwid dan materi bacaan. Sementara itu kelompok pembelajaran Tafsir Lambatan Jawa memberikan pelajaran kajian Al Qur’an dan Hadits dalam bahasa Jawa yang disertai dengan materi kelompok lambatan, sedangkan kelompok Tafsir Lambatan bahasa Indonesia diberikan dalam bahasa Indonesia. Demikian juga kelompok pembelajaran cepatan baik bahasa Jawa maupun Indonesia materinya sama hanya saja disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan ditambah materi kelompok cepatan.
Sementara itu kelompok pembelajaran ujian/ test (tiga bulan) memberikan pelajaran lebih komprehensif yaitu: bacaan Al Qur’an, Tafsir Al Qur’an, Metode Dakwah, Manajemen, Penyuluhan Hukum, Penyuluhan Kesehatan, dan Keputrian. Adapun kelompok pembelajaran Terampil/ Lanjutan berlangsung selama 1 tahun dengan mendapatkan materi Tafsir Kutubussitah (Kajian enam hadits sahih).
B. Bahan Ajar
Bahan ajar pokok yang digunakan dalam proses pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan adalah sumber asli agama Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Para kyai dan santri memanfaatkan kedua kitab itu sebagai sumber primer. Kitab-kitab yang sifatnya sekunder karya para ulama tidak digunakan. Memang betul bahwa hampir semua pondok pesantren mendasarkan diri pada Al Qur’an dan Hadits, namun bahan ajar yang digunakan tidak langsung pada kajian-kajian kedua kitab itu, tetapi menggunakan kitab-kitab sekunder karya para ulama besar terdahulu seperti kitab fiqih, tauhid, dan sebagainya. Di samping kedua kitab utama itu juga diajarkan beberapa ilmu tambahan seperti ilmu tawid, menulis Arab, bahasa Arab, Nahwu, Sorof, Usul Fiqih, Mustholah Hadits, dan sebagainya. Sementara itu materi ketrampilan terdiri dari berbagai kursus sesuai dengan bakat mereka. Sedangkan materi yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan pemerintahan, pondok ini mengajarkan olah raga, bakti sosial, bahasa Indonesia, metode dakwah, manajemen, dan sebagainya.
Kitab Al Qur’an yang menjadi bahan kajian sama dengan kitab yang dipakai oleh masyarakat umum seperti terbitan Toha Putera, Gunung Agung, dan sebagainya. Seringkali kitab Al Qur’an yang digunakan oleh para santri dan kyai berasal dari terbitan negara-negara Timur Tengah, khususnya Beirut. Terbitan ini diperoleh ketika para santri menunaikan ibadah haji di Mekkah ataupun titip kepada calon haji untuk dapat dibelikan di sana. Kadang-kadang mereka memperoleh kitab itu dari oleh-oleh sahabat mereka yang baru saja datang dari Mekkah. Seringkali kitab-kitab terbitan luar negeri ini berfungsi ganda yaitu sebagai bahan ajar dan sekaligus sebagai kebanggaan yang dipajang di almari. Sudah barang tentu kitab-kiab hadits yang dibeli di Mekah ataupun Madinah merupakan kitab-kitab hadits besar. Namun demikian ada juga yang memperoleh kitab itu dengan cara membeli dari toko-toko kitab di Indonesia.
Biasanya kitab Al Qur’an yang dipakai oleh para kyai dan santri berupa kitab ‘kosongan’ dalam arti bukan kitab yang sudah diberi terjemahan. Para santri, khususnya santri pemula, lebih memilih kitab Al Qur’an yang lembaran halamannya memiliki space yang lebar yang memungkinkan mereka dapat mengisinya dengan makna yang diajarkan oleh sang kyai di sela-sela di antara baris yang ada. Dengan demikian kitab-kitb yang sudah dimaknai (seperti terbitan Departemen Agama) tidak digunakan dalam PPB.
Bahan ajar pokok ke dua adalah kitab-kitab hadits atau sunnah nabi. Kitab ini merupakan kitab yang dihimpun oleh para penghimpun hadits yang berisi segala pikiran, ucapan, tindakan dan tauladan Nabi Muhammad SAW. Kesaksian dari orang-orang yang masih sempat berguru dengan pendiri PPB yaitu KH Nur Hasan Al Ubaidah mengatakan bahwa kyai itu menguasai ilmu Hadits (memberi makna dan keterangan) sebanyak 49 jenis himpunan Hadits yang terdiri dari 6 hadits yang biasanya dikategorikan sebagai kutubussitah (yang tingkat kesahihannya diakui semua sekte Islam kecuali Syiah dan beberapa sekte yang mengingkari keabsahan hadits nabi) dan sisanya adalah berbagai hadits komplemen. Kitab-kitab hadits kutubussitah terdiri dari himpunan hadits yang disusun oleh Buchori, Muslim, Ibn Majjah, Abi Daud, Sunan Tirmidzi, dan Nasa’i.
Selain kitab hadits-hadits besar, juga dijumpai bahan ajar yang berupa kitab-kitab himpunan. Kitab himpunan merupakan cuplikan-cuplikan hukum-hukum atau dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits yang disusun berdasarkan bidang atau topic tertentu seperti Kitabussholah (kitab tentang shalat), Kitabudda’wat (kitab kumpulan doa-doa), Kitabul Ilmi (kitab tentang kewajiban belajar ilmu agama), Kitabul Imaroh (kitab tentang keimaman), dan sebagainya. Berdbeda dengan kitab Al Qur’an dan Hadits, kitab-kitab himpunan ini disusun sendiri oleh pondok pesantren. Dalil-dalil yang dituangkan dalam kitab-kitab himpunan ini merupakan dasar-dasar hukum yang kuat dan applicable.
Jika dilihat dari isinya, kitab-kitab himpunan ini merupakan pengantar bagi para pemula atau jamaah baru. Penggunaan kitab himpunan untuk para pemula ini didasari atas pertimbangan jika mereka langsung belajar dari kitab-kitab besar saja maka berbagai jenis amalan urgen yang harus segera dilakukan tidak bisa segera diamalkan secara benar. Oleh karena itu jika ada jamaah baru maka di samping mereka mengkaji kitab-kitab besar, juga diberikan kitab-kitab himpunan agar dapat segera beramal secara benar sehingga jika meninggal sewaktu-waktu mereka sudah dalam pengamalan yang benar. Dalam hubungan itu kitab-kitab hadits besar merupakan bahan ajar pengayaan dan pendalaman.
Bahan ajar yang juga sangat penting dalam menjaga keimanan para santri adalah nasehat-nasehat ulama yang dituangkan dalam bentuk teks tertulis. Teks ini disebarluaskan dan menjadi bahan pembinaan baik bagi para santri di pondok pesatren Burengan maupun warga LDII secara umum. Teks nasehat ini berisi nasehat-nasehat dalam konteks mengatasi persoalan-persoalan actual dengan menggunakan dasar-dasar hukum Islam yaitu Al Qur’an dan Hadits. Dalam hukum Islam nasehat ulama merupakan salah satu bentuk dasar hukum Islam yang disebut ijma’ atau ijtihad.
C. Kegiatan Santri
Para santri biasanya bangun atau dibangunkan pada waktu pukul 02.00 dini hari untuk melakukan sholat malam (sholat tahajud, sholat hajad, sholat tasbih, dan sebagainya), dzikir, dan doa sepertiga malam yang terakhir yang diyakini merupakan waktu yang mustajab (manjur) untuk memanjatkan doa kepada Allah. Bagi santri yang tidak mengantuk dan masih memiliki semangat akan terus melakukan doa hingga menjelang waktu sholat subuh. Setelah menunaikan sholat subuh, para santri kemudian mengaji Al Qur’an secara umum, yaitu bacaan, makna, dan keterangan. Pengajian yang diselenggarakan di masjid Baitil A’la ini diikuti oleh semua kelompok pembelajaran. Mereka duduk dengan santai di lantai masjid dengan memegang kitab mereka masing-masing. Kegiatan ini berlangsung hingga pukul 06.00. Setelah itu para santri kemudian istirahat. Pada umumnya mereka melakukan persiapan belajar dan ada juga yang mencuci pakaian. Mereka makan pagi mulai pukul 07.00.
Pelajaran dimulai pukul 08.00 hingga pukul 09.30 sesuai dengan kelompok pembelajaran mereka masing-masing. Setelah istirahat selama setengah jam, mereka belajar lagi dari pukul 10.00 hingga pukul 11.00. Setelah itu mereka diberi kesempatan untuk istirahat hingga sholat dhohor. Kegiatan selanjutnya adalah makan siang dan istirahat hingga pukul 14.00. setelah itu mereka menerima pelajaran lagi hingga waktu sholat asar sekitar pukul pukul 15.00. Setelah sholat mereka istirahat sambil nderes atau memperdalam kitab secara sendirian ataupun dengan teman-teman kelompok ataupun sekedar membaca Al Qur’an.
Setelah mandi dan makan sore mereka bergegas ke masjid untuk persiapan sholat maghrib. Sambil menunggu imam sholat, biasanya mereka membaca Al Qur’an. Setelah sholat maghrib dilanjutkan dengan nasehat dari pengurus pondok ataupun dari ustadz. Kegiatan ini berlangsung hingga menjelang sholat isya’. Setelah sholat isya’ dilanjutkan dengan pelajaran hingga pukul 10.00. Setelah itupara santri dipersilahkan untuk istirahat tidur. Namun demikian biasanya nderes terlebih dahulu sebelum tidur. Mereka dibangunkan pukul 02.00 malam. Apa yang menarik adalah setelah bangun mereka harus mengadakan apel sesuai dengan kelompok masing-masing dan diabsen untuk melakukan sholat malam dan doa sepertiga malam yang terakhir.
Selain kegiatan harian sebagaimana yang digambarkan di atas juga ada kgiatan mingguan. Kegiatan ini khsusus untuk melatih para santri untuk dapat berorasi di depan publik. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Jumat pukul 13.30 yang dilakukan secara berkelompok dan bergiliran. Tidak ada kegiatan bulanan secara khsusus di PPB. Sementara itu kegiatan semesteran atau semesteran berupa khataman Al Qur’an, kemudian enam bulan berikutnya khataman Al Qur’an lagi, namun enam bulan berikutnya bukan khataman Al Qur’an tetapi khataman khutubussitah (kitab hadits enam) dan setelah itu kembali khataman Al Qur’an dan seterusnya. Biasanya kegiatan khataman ini bukan hanya diikuti oleh para santri yang ada di PPB tetapi juga dari pondok mini lain yang ada di seluruh Indonesia, bahkan tidak sedikit pula para warga LDII dari seluruh penjuru dunia yang memiliki kesempatan dan biaya akomodasi mengikuti kegiatan ini. Kegiatan tahunan lain adalah pondok romadhlon. Kegiatan ini diisi dengan kajian-kajian kitab secara marathon mulai setelah shalat subuh pada pagi hari hingga pukul 22.00. Bahkan pada sepuluh hari terakhir di bulan romadhlon (malam lailatul qodar) kegiatan pengajian dilakukan hingga pukul 24.00. Jumlah santri pun juga mengalami peningkatan hampir dua kali lipat, karena banyak peserta yang berasal dari luar santri PPB.
D. Rekruitmen Santri
Dalam dunia Islam sangat dipercayai bahwa ilmu merupakan hidupnya agama, ‘al ilmu hayatul islam’. Jadi hidup dan mati Islam dan para pemeluknya tergantung pada apakah ilmu agama Islam itu dikuasai dan diamalkan oleh muslim atau tidak. Jika ilmu Islam tidak tersosialisasikan di kalangan umat Islam, maka roh Islam akan hilang. Oleh karena itu sangat mudah untuk dipahami jika kegiatan pengajian ilmu Islam menjadi sangat krusial dan mendapatkan prioritas utama di Pondok Pesantren LDII Burengan ini.
Meskipun sosialisasi nilai-nilai Islam sudah dilakukan di masjid-masjid LDII yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia dengan intensitas yang cukup tinggi (rata-rata 4 kali seminggu), namun pembentukan kader-kader pendakwah di masjid-masjid dan masyarakat merupakan kunci pengembangan Islam. Oleh sebab itu sesugguhnya masjid-masjid dan surau LDII yang tersebar di desa-desa maupun kota-kota merupakan pesantren-pesantren massal. Dengan demikian efek pengembangan dalam masyarakat juga menjadi semakin cepat.
Rekruitmen dan penerimaan santri di Pondok Pesantren LDII Burengan dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah sistem ‘kiriman’. Dalam sistem ini masjid-masjid di tingkat PAC (Pengurus Anak Cabang)/ pada tingkat dengan dikoordinasikan oleh PC (Pengurus Cabang)/ pada tingkat kecamatan melalui mekanisme organisasi LDII mengirimkan pemuda-pemudi yang memiliki akhlak yang baik dan kemampuan yang memadai untuk mengikuti pendidikan di Burengan. Bisanya, pada tingkat PC mereka mengirimkan tiga calon mubaligh untuk belajar di Pondok Burengan. Masa belajar mereka rata-rata satu tahun. Setelah lulus mereka diwajibkan untuk mengikuti ‘tugasan’ atau ditugasi di daerah-daerah yang membutuhkan. Jika ditugaskan di Luar Jawa, para mubaligh tugasan ini minimal harus bertugas selama satu setengah tahun, sedangkan jika ditugaskan di Jawa, mereka memiliki masa tugas lebih pendek yaitu satu tahun. Adapaun biaya yang digunakan untuk pendidikan santri kiriman itu adalah sodaqoh dari dari jamaah dan seringkali juga berasal dari ‘bapak angkat’. Dengan demikian ada upaya saling tolong-menolong dalam pencerdasan kaum santri ini.
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai ‘mubaligh tugasan’, jika mereka diminta oleh daerah tugasan untuk meneruskan menjadi pendakwah di daerah tugasan itu maka merekapun memiliki kebebasan untuk menentukan sikap apakah menerima ataukah menolak. Mereka juga mempunyai kebebasan untuk memilih menerima tugasan baru dengan cara melaporkan diri ke Pondok Burengan untuk ditugaskan kembali sesuai dengan permintaan masyarakat.
Cara yang kedua adalah rekruitmen secara sukarela dari para jamaah yang berkeinginan untuk belajar di Pondok Burengan. Biasanya mereka berasal dari keluarga ulama atau dari keluarga yang menginginkan anaknya menjadi ulama. Namun demikian untuk menjadi santri yang berasal dari rekruitmen sukarena ini harus mondok dulu di Pondok Gading Jombang atau ‘pondok mini’ lain. Baru setelah lolos seleksi mereka dapat belajr di Pondok Burengan. Jadi mekanisme test juga dilakukan oleh Pondok Burengan. Bagi mereka yang lolos test masuk dapat langsung belajar di Pondok Burengan, namun yang tidak lolos test harus mondok dulu di pondok mini.
Ditinjau dari asal sosial mereka, para santri yang kemudian menjadi mubaligh atau pendakwah sangat bervariasi. Ada santri yang berasat dari keluarga miskin dan sebaliknya tentu juga ada santri yang berasal dari keluarga kaya. Sangat menarik bahwa para santri di Burengan berasar dari berbagai daerah di Indonesia, bahhkan juga dari luar negeri. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya masid-majin LDII yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia dan bahwa juga di luar negeri seperti Malaysia, Singapuira, Brunei, Suriname, Eropa dan sebagainya.
Setelah para santri dapat menyelesaikan paket pembelajaran (baik di Burengan maupun di pondok pesantren LDII yang lain), mereka langsung ditugaskan di masjid-masjid. Mereka akan menyebarkan ilmunya kepada jamaah-jamaah yang sesuai dengan sistem pembelajaran di pesantren. Dengan demikian pada hakekatnya semua warga LDII juga merupakan santri. Jadi tidak ada proses ‘elitisasi’ ilmu Islam karena hakekatnya setiap orang Islam harus berilmu dan ini berarti setiap warga LDII juga ulama.
E. Metode Pembelajaran
Dalam Islam, pembelajaran pada hakekatnya adalah proses pemindahan pesan-pesan dari satu orang kepada orang lain. Metode pembelajaran yang digunakan baik dalam pondok pesantren maupun pengajian di masjid-masjid yang diikuti oleh jamaah biasa adalah metode sebagaimana yang digunakan oleh Nabi. Jadi ada semacam gerakan pemurnian dalam metode pembelajaran. Dalam agama Islam, sejak nabi Muhammad SAW dan para khalifah serta sahabat , proses pemindahan pesan-pesan yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits dilakukan melalui metode membaca, menulis, dan mendengar yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai verbal communication. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ‘Kalian mendengar (ilmu dariku), kemudian kalian didengar oleh murid kalian dan murid kalian didengar ole muridnya’ (Hadits Riwayat Abu Dawud). Jadi metode transfer ilmu dalam PPB mencakup dua aspek sekaligus yaitu komunikasi lisan (oral communication) dan komunikasi tulisan (written communication).
Oleh karena metode ini bukan hanya diterapkan di Pondok Burengan saja tetapi juga di seluruh pondok LDII maka para jamaah biasa sudah terbiasa dengan metode pembelajaran di pesantren. Metode ini merupakan metode pembelajaran di mana guru menyampaikan makna dan keterangan serta sejarah turunnya ayat-ayat atau hadits yang bersangkutan. Materi yang diampaikan oleh mubaligh itu berasal dari gurunya dan seterusnya sambung-menyambung hingga sampai kepada para sahabat dan Nabi. Demikian juga para santri akan menyampaikan bahan ajar itu kepada orang lain menjadi binaannya. Jadi metode pembelajaran ini saling mengikat secara keilmuan atau guru dan murid memiliki hubungan yang tiada terputus bagaikan rantai yang teputus-putus.
Dalam kontek ini, pelaksanaan metode pembelajaran Islam yang murni dan konsisten akan mengokondisikan kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Metode ini menjauhkan pikiran-pikiran ke arah reintepretasi terhadap hukum-hukum Islam yang akan menimbulkan perpecahan-perpecahan agama. Memang ijtihad diakui sebagai salah satu dasar hukum tetapi ijtihad ini diarahkan untuk memberi jalan keluar terhadap persoalan-persoalan aktual dengan dasar hukum Al Qur’an dan Hadits.
Sebaliknya pembelajaran yang islami ini juga dapat dilakukan dengan cara murid, karena mungkin murid sudah pandai, membacakan kitab, makna, dan keterangan. Sementara itu guru mendengarkan, membenarkan atau menyalahkan. Jika santri sudah membacakan kitab di hadapan guru dan jika sang guru bisa menerimanya maka ilmu sang murid sudah sah. Cara seperti ini isebut sebagai munawalah.
F. Jaringan Pembelajaran
Sebagaimana yang terjadi dalam dunia pesantren pada umumnya, hubungan kyai dan santri tidak hanya terbatas pada hubungan dalam bidang ilmu agama yaitu ketka santri sedang berguru, tetapi juga masa-masa setelah mereka keluar dari pesantren. Pondok Burengan dan pondok-pondok pesantren LDII membangun jaringan hubungan antara kyai dan santri tidak hanya dalam kehidupan pondok pesantren tetapi juga ketika santri telah lulus.
Dalam komunitas LDII, hubungan kyai dengan santri atau dengan jamaah biasa tidak hanya didasarkan atas hubungan-hubungan kekerabatan sesama muslim, namun juga lewat hubungan ilmu agama. Dalam hal ini ada program rutin di mana secara periodik mubaligh-mubaligh dikirim ke Pondok Burengan penyegaran kajian Al Qur’an dan Hadits. Kegiatan ini disebut ‘asrama’. Biasanya ‘asrama’ pada musim tertentu mengkaji kitab tertentu pula seperti khusus Al Qur’an saja atau Hadits Muslim saja, dan sebagainya. Asrama berlangsung selama beberapa hari atau kadang juga beberapa minggu sesuai dengan taget pengkataman kitab tertentu atau juz tertentu. Kegiatan ‘asrama’ ini dapot dipandang sebagai kegiatan refresh atau penyegaran kembali terhadap ilmu yang dikuasai oleh para santri yang barangkali sudah lama tidak lagi mengkajinya. Dengan demikian mereka akan segar dan ingat kembali ilmu yang ditulisnya dalam kitab-kitab mereka.
Dapat juga asrama ini diselenggarakan denggan cara mengundang kyai untuk menyampaikan kajian ilmu mereka di daerah-daerah. Kyai dari Pondok Burengan dapat datang sesuai dengan permohonan daerah. Dapat pula terjadi secara resmi kyai diutus oleh Pondok Burengan ke daerah-daerah untuk menyampaikan pembelajaran di masjid-masjid di daerah. Sementara itu di tingkat daerah, metode semacam ini juga diselengarakan dengan peserta para mubaligh di tingkat lokal (di tingkat PAC atau setingkat desa dan PC atau setingkat kecamatan). Bahkan para peserta itu bukan hanya para mubaligh lulusan Pondok Pesantren Burengan, tetapi juga para pengurus atau takmir di tingkat lokal. Dengan demikian hubungan antara kyai dengan santri dan jamaah dalam bidang keilmuan masih terjaga dengan baik.
IV. Hubungan Sosial dengan masyarakat
A. Penugasan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa rekruitmen santri di Pondok Pesantren Burengan berasal baik dari kiriman takmir-takmir masjid maupun dari para jamaah yang secara sukarela ingin memperdalam secara efektif ilmu agama di pondok pesantren.7 Para santri yang telah menamatkan pelajaran di Pondok Pesantren Burengan biasanya langsung ditugaskan oleh pondok untuk mengabdikan ilmunya di masjid-masjid yang memang membutuhkan. Seperti diketahui bahwa masjid-masjid ini merupakan suatu unit komunitas terkecil yang sebetulnya secara langsung memiliki umat. Oleh karena itu para takmir masjid ini sebetulnya yang mengetahui secara pasti apakah mereka membutuhkan tambahan mubaligh atau tidak. Mereka yang biasanya menyampaiakn kebutuhan akan mubaligh untuk kemudian pengurus pada tingkat kota atau kabupaten menyampaiakan kepada Pondok Burengan. Pada saat sekarang ini sudah jarang satu masjid hanya memiliki satu mubaligh. Kebanyakan setiap masjid sudah memiliki dua hingga 3 mubaligh dan bahkan banyak pula yang memiliki tiga mubaligh, terutama di kota-kota.
Selama penugasan pertama itu para mubaligh pemula langsung terjun di masjid-masjid untuk melayani para jamaah. Mereka harus berkonsultasi dengan mubaligh-mubaligh setempat. Selain itu mereka juga harus berkoordinasi dengan para pengurus atau takmir masjid setempat dalam pelayanan umat. Demikian juga para mubaligh muda ini harus melakukan pendekatan dengan para jamaah setempat beserta masyarakat yang ada di sekitar masjid yang mungkin hanya sebagian kecil yang ikut kegiatan pengajian di masjid-masjid LDII. Dengan demikian peran mubaligh sangat signifikan dalam pembentukan citra warga LDII di tingkat lokal. Sang mubaligh muda harus dapat bertindak sebagai suri tauladan bagi jamaah setempat.
Selama masa penugasan para mubaligh muda ini biasanya tidak diperbolehkan pulang ke rumah orang tua. Mental mereka digembleng untuk terbiasa jauh dengan orang tua serta dapat mandiri. Suatu hal yang menarik adalah bahwa selama bertugas, kehidupan ekonomi mereka secara ‘bil ma’ruf’ atau secukupnya ditanggung oleh jamaah masjid yang dibinanya.
Setelah masa penugasan selesai, mereka dibebaskan untuk pulang ke rumah orang tua. Untuk selanjutnya mereka harus siap untuk ditugaskan ke berbagai daerah baru jika mereka masih menginginkan. Untuk selanjutnya daerah (tingkat kota atau kabupaten) yang akan menentukan di masjid mana mereka harus mengabdi.
B. Praktik Budi Luhur
Dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan ditekankan bahwa pemahaman terhadap Al Qur’an dan hadits secara intelektual belum cukup. Para santri ditekankan untuk memiliki afeksi dan psikomotor islami sebagai manifestasi dari pemahamannya terhadap hukum Islam. Jika pemahaman secara intelektual terhadap hukum Islam barangkali lebih berhubungan dengan kehidupan pribadi, tetapi aspek-aspek sikap dan tingkah laku lebih banyak berhubungan dengan orang lain. Aspek-aspek yang disebutkan terakhir inilah yang akan menciptakan pencintraan terahadp warga LDII. Tingkat penerimaan masyarakat terhadap gerakan yang dibawa oleh LDII sangat bergantung kepada aspek sikap dan tingkah laku para mubaligh pada khususnya dan warga LDII pada umumnya. Oleh karena itu Pondok Pesantren Burengan selalu menekankan pentingnya memiliki budi luhur atau akhlaqul karimah bagi segenap warga LDII.
Praktik budi luhur di dalam masyarakat mencakup beberapa hal, antara lain mengagungkan dan taat kepada orang tua, mengagungkan kepada para ulama, budi luhur terhadap sesama muslim, dan budi luhur terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Sikap mengagungkan dan taat kepada orang tua (selagi tidak perintah maksiat) merupakan amal sholih dan sekaligus perintah dari Allah meskipun orang tua itu bukan seorang muslim. Praktik budi luhur kepada orang tua anatara lain bertutur kata dengan bahasa yang halus atau sopan, bila disuruh segera melaksanakan jika tidak maksiyat, bila dinasehati anak harus mendengarkan dan tidak memotong pembicaraan, senang membantu pekerjaan orang tua di rumah, tidak bohong dan jujur kepada mereka, dan sebagainya.
Bersikap mengagungkan kepada para ulama merupakan suatu kewajiban. Kepada para santri dan warga LDII selalu ditekankan tentang pentingnya sikap mengagungkan kepada para pengurus. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa mereka memiliki andil yang besar dalam mencerdaskan masyarakat. Para ulama dan mubaligh juga merupakan ‘wasilah’ atau perantara bagi ilmu-ilmu Islam. Beberapa contoh sikap dan prilaku yang menunjukkan sikap mengagungkan ulama antara lain: memanggil dengan panggilan yang sopan, berbicara dengan nada suara yang rendah, jika ulama berbicara maka harus mendengarkan, tidak membelakanginya ketika sedang dalam pengajian, jika ulama berbuat kesalahan ketika mengajar tidak boleh dihina, dan sebagainya.
Terhadap sesama muslim juga dikembang sikap budi luhur. Sesama muslim harus dibangun sikap ukhuwah islamiyah atau persaudaraan dalam Islam. Di dalam pembelajaran di Pondok Pesantren Burengan, semangat persaudaaan Islam ini betul-betul sangat ditekankan. Hal ini antara lain dapat diliohat dari semangat dan sikap bahwa harta sesama muslim adalah haram untuk diambil secara tidak sah, sesama muslim tidak boleh saling menghina dan menjatuhkan namanya. Di samping itu ditekankan bahwa sesama muslim tidak bolah saling membunuh. Ajaran moral yang Islami semacam ini sangat menarik sebagai bekal yang berarti bagi santri alumni Pondok Burengan Kediri.
Keberadaan warga LDII di tengah-tengah masyarakat bagaikan ikan yang berada di dalam air. Oleh karena itu pembinaan akhlak di Pondok Pesantren Burengan juga selalu menekankan betapa pentingnya para alumni pondok membangun hubungan baik dan kemitraan dengan masyarakat di mana mereka mengabdikan ilmu agamanya. Mereka yakin bahwa dakwah dengan perbuatan (bil khal) menjadi sarana yang hebat untuk mnyebarkan Islam. Beberapa ajaran dalam kaitannya dengan budi luhur kepada masyarakat antara lain: apabila bertemu dengan tentangga menyapa, apabila melewati sekelompok masyarakat menyapa dengan sopan, melayat warga yang sedangminggal dengan memberikan sumbangan, menjenguk tetangga yang sakit, ikut berpartisipasi dalam kerja bakti, meminta ijin jika tidak bisa mengikuti kegiatan RT, menyadari kekurangan dan mudah memaafkan, dan sebagainya.
Di samping itu ajaran moral yang betul-betul ditekankan di Pondok Burengan dan bahkan di masjid-masjid LDII yang lain adalah adanya enam tabiat luhur yang mencakup rukun, kompak, kerjasama yang baik, jujur, amanah, mujhid muzhid (hemat). Dengan ‘doktrin’ moral ini diharapkan para alumni Pondok Burengan betul-betul menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik yang akan mampu menciptakan iklim kedamaian dalam masyarakat.
C. Kerjasama dengan Masyarakat Sekitar
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa pesantren bukanlah symbol dari ‘elitisasi’ ilmu Islam. Dalam hubungan itulah Pondok Burengan berusaha untuk menghilangkan kesan adanya keterpisahan antara pondok pesantren dengan masyarakat di sekitarnya. Di bidang ekonomi, Pondok Burengan meluncurkan program ekonomi mandiri dengan cara mendirikan UB (Usaha Bersama) yang merupakan unit retail yang bukan hanya melayani warga pondok namun juga melayani masyarakat di sekitarnya.
Selain itu di bidang kemasyarakatan Pondok Burengan juga menjalin hubungan yang sinergis dengan pemerintah kabupaten Kediri untuk memperkuat ukhuwah antara ulama dengan umara. Bukti yang dapat dikemukakan di sini adalah keikutsertaan Pondok Burengan dalam lembaga Paguyuban Antar Umat Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lembaga ini merupakan badan kerjasama antar umat beragama dalam mengatasi berbagai persoalan yang harus dipecakan bersama-sama.
V. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
Meskipun gerakan dakwah yang dilakukan oleh Pondok Pesantren LDII Burengan merupakan gerakan dakwah untuk kembali kepada kemurnian Al Qur’an dan Al Hadits, namun dengan menerapkan model pembelajaran yang berorientasi kepada pembinaan akhlak (konsep budi luhur) ternyata menghasilkan sebuah gerakan dakwah Islam yang damai yang lebih menekankan segi-segi budaya dan intelektualitas dalam mengaktualisasi hukum-hukum agama.
Aktualisasi budi luhur atau akhlaqul karimah yang diajarkan di Pondok Pesantren Burengan dapat berlangsung relatif permanen karena dikondisikan oleh jaringan pembelajaran yang solid yang termanifestasikan dalam hubungan yang selalu terjaga antara alumni pondok dengan lembaga pondok lewat media ‘asrama’ yang diselenggarakan secara periodik.
Pendekatan kultural dan intelektual dalam menanamkan hukum-hukum Islam yang murni telah melahirkan gerakan dakwah Islam yang damai.
1 Bahkan pada tahun 1997, Pondok Pesantrenini tercatat memiliki santri sebanyak 1728 orang dengan perincian 868 laki-laki dan 860 perempuan. Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, Data Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahun 1997 (Jakarta: Departemen Agama RI, 1997), hlm. 819.
2 Santri mukim merupakan sebutan untuk santri yang bertempat tinggal di pondok pesantren selama belajar di pesantren, sedangkan santri mukim merupakan santri yang bertempat tinggal di luar komplek pondok pesantren.
3 Lihat misalnya Muhtarom H.M., ‘Urgensi Pesantren dalam Pembentukan Kepribadian Muslam’, dalam: Ismail S.M., Nurul Huda, dan Abdul Kholiq (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 39-48.
4 Istilah asrama mengacu kepada kegiatan pengkhataman kitab secara marathon dalam waktu tertentu. Dalam acara ini para peserta, terutama yang berasal dari luar kota, biasanya menginap atau berasrama di pondok pesantren sehingga dapat sepenuhnya mengikuti kajian kitab.
5 Ludhy Cahyana, Islam Jamaah di Balik Pengadilan Media Massa: Suatu Analisis mengenai Pembunuhan Karakter terhadap Lemkari/ LDII (Jakarta: Benang Merah, 2003), hlm. 36-40.
6 Abdullah Syam, ‘Laporan Pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah islam Indonesia Periode 1998-2005’, dalam DPP LDII, Himpunan Keputusan MUNAS VI Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Jakarta 11-13 Mei 2005 (Jakarta: DPP LDII, 2005), hlm. 43-44.
7 Setiap masjid LDII biasanya memiliki paling tidak 1 mubaligh yang secara khusus memberikan pengajian-pengajian baik untuk anak-anak maupun remaja dan orang dewasa, baik pemula (mualaf) maupun orang yang sudah lama memeluk Islam (mukalaf).
source: Asian Research Center, Toyo University, Jepang kerjasama Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.

Retrieved from: http://ldiionline.wordpress.com/pondok-pesantren-ldii-burengan-kediri/

Friday, December 14, 2012

Islam and Political Minorities: a Study on the Religious Towani Tolotang Community in South Sulawesi

By Zuly Qodir

This presentation will give a description of the ethnographical border and political top minority group located in South Sulawesi, i.e. the believers Towani Tolotang. Despite its minority status, this community seems to be influential in politics by which currently become the will of the political regime of Muslims and Hindus, where both of them are scrambling for mutual acknowledge and enter in the tradition of the religion: Islam or Hinduism. This community develops variety of strategies with which its peculiar identity is able to survive in various forms, such as in economyand politics. This presentation is based on field research and library for several years dealing with political citizens pressed for by the large number of discriminatory treatment.

Presented at the Fourth Al-Jami’ah Forum and Conference "Sharing Identity and Religious Tradition: Islam and other factors in South East Asia"
Venue:
PAU Building/Rektorat
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Indonesia
14-16 December 2012
Organised by:
Al-Jami’ah Research Centre
Sunan Kalijaga State Islamic University
http://www.aljamiah.org

Available at: http://aljamiah.org/images/stories/umum/book_of_abstracts.pdf

Tuesday, November 13, 2012

What happened to the smiling face of Indonesian Islam?

Bruinessen, Martin Van. 2011. What happened to the smiling face of Indonesian Islam?: Muslim intellectualism and the conservative turn in post-Suharto Indonesia. Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University.

The transition from authoritarian to democratic rule in Indonesia has been accompanied by the apparent decline of the liberal Muslim discourse that was dominant during the 1970s and 1980s and the increasing prominence of Islamist and fundamentalist interpretations of Islam. This paper attempts to go beyond a superficial reading of these developments and explores the conditions that favored the flourishing of liberal Muslim thought during the New Order as well as the various factors that from the 1980s onwards supported the rise of transnational Islamist movements, at the expense of the established mainstream organizations, Muhammadiyah and NU.
 
Available online at: http://www.rsis.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP222.pdf

Monday, November 12, 2012

The threat to 'smiling Islam'


 
CIVIL ISLAM. Muslims and democratization in Indonesia. Robert W. Hefner. 286pp.
Princeton University Press; distributed in the UK by Wiley. Pounds 35 (paperback, Pounds 11.50). 0 691 05047 3.

Until the late 1980s, Islam made so little noticeable impact on Indonesia's politics that few outsiders were aware that this is in fact the world's largest Muslim country. Seven out of eight Indonesians are Muslims, making their numbers 200 million by the end of 2000, or more than those of all Arab countries combined. A large proportion of Indonesian Muslims adhere to syncretistic beliefs and practices (rituals relating to earth spirits, ancestor spirits, deities from the Hindu pantheon), and reject the formal obligations, such as daily prayer, that stricter Muslims consider essential to Islam. Since Clifford Geertz's classic study of Islam in an East Javanese town in the 1950s, it has become common to refer to these syncretists as abangan and to their stricter brothers as santri.

Indonesia's first two Presidents, Sukarno and Suharto, were both known to be abangan, and the state bureaucracy and military were long dominated by abangan and Christians. The latter, only some 8 per cent of the total population, were over-represented because of their better education, one of the lasting effects of Dutch colonization, the former because until recently few if any santri were ever promoted to the upper echelons of the state apparatus. Both Presidents, as well as the armed forces, deeply distrusted their santri Muslim subjects as a potential threat to the unity and integrity of the Republic, because of several early efforts to turn the country into an Islamic state.

President Sukarno kept power by carefully managing a balance between the armed forces and the two major mass-based political movements, Islam (santri) and Communism (abangan). General Suharto's rule started with the physical elimination of Communism, coordinated by his army but willingly carried out by Muslim killing squads. The only significant organized forces remaining then were the Muslim parties and associations, and efforts to depoliticize Islam have been one of the most consistent aspects of Suharto's policies. Protest against these policies and against the Suharto dictatorship in general was forcefully repressed; by the end of the 1980s, Muslim opposition was to all purposes silenced.

It looked like a dramatic reversal of these policies when, in the late 1980s, Suharto began gradually distancing himself from his erstwhile abangan and Christian allies (most visibly represented by his most powerful general, the Catholic Bennie Moerdani) and made overtures towards former Muslim critics. He allowed and even patronized the establishment of a new Muslim association, ICMI, that had at least one clear political objective: affirmative action on behalf of educated santri, who had an acute awareness of being under-represented in economic, political and cultural life. The Christian ministers who had been in charge of the economy were, in 1992, replaced by Muslims, several generals of santri background were promoted to the highest positions, and Muslim civil servants found that joining ICMI was virtually obligatory for their careers.

Suharto moreover supported various efforts designed to give Islam a more prominent role in social and political life, such as an Islamic bank, a well-funded Muslim newspaper and a Muslim think tank -the latter two being alternatives to influential Catholic and Chinesecontrolled institutions that many Muslims had long perceived as hostile.

Whereas expressions of anti-Christian or anti-Chinese sentiment had in the past been swiftly and vigorously suppressed, radical Muslim groups that specialized in the assertive defence of Islam against perceived non-Muslim conspiracies appeared to enjoy high protection in the 1990s. They were among Suharto's staunchest supporters in his final days and later aggressively supported his first successor, Habibie, against the secular-oriented wings of the reform movement. Since the election of Abdurrahman Wahid to the presidency and the first cautious attempts to curb the still significant power of Suharto and his closest associates, such radical Muslim groups have proliferated and contributed much to the inter-religious conflicts that destabilized Wahid's government and now threaten that of his successor, Megawati.

Robert Hefner's important book, Civil Islam, is the most detailed study of Islam in the Suharto period to appear to date, and ICMI and the power struggles of the 1990s receive ample coverage. Hefner takes pains to show that that Islamization and democratization have come from committed Muslim intellectuals.

His rich descriptions show an awareness of the varied and conflicting interests of Suharto, Habibie, ICMI's Muslim intellectuals and the other actors involved in bringing Islam back into the public sphere. His chief emphasis is, however, on the gradual Islamization of public discourse that began well before Suharto gave his blessings to ICMI. He focuses especially on the development of liberal and tolerant Muslim discourses under the New Order, without which ICMI would not have been possible, whatever the political purposes it was designed to serve.

Hefner is an anthropologist with an interest in social history, who established his reputation with two excellent monographs on the Tengger, a Hindu community in East Java, and their abangan and santri Muslim neighbours. He observed there how the previously self- contained Hindu and abangan communities were little by little Islamicized, and he understood this to be a natural concomitant of their opening up and integration into a larger social and economic world. In this context, Islam stood, besides much else, for modernity and cosmopolitanism. In the 1990s, Hefner shifted his research interest to the role of Islam in the national public sphere, where he perceived analogous processes at work. Hence, probably, his focus on ICMI as the expression of an underlying process of modernizing Islamization.

Hefner writes with special sympathy on those influential currents in Indonesian Islam -represented most prominently by Nurcholish Madjid and Wahid -that advocate pluralism and tolerance and that have contributed significantly to the democratic reform movement, but he also discusses other currents, including some definitely uncivil ones. Most of his informants were ICMI activists, and he gives a clear view of the complexity of this part of the Islamic spectrum, where staunch Suharto supporters, principled opponents, pragmatic careerists, pious apolitical intellectuals and NGO activists intermingled. On the whole, I find his representation of the Muslim liberals a little too idyllic; he takes their words too often at face value and too uncritically reproduces their favourite self-image of a "smiling Islam" (as other Indonesian Muslims call it in self-mockery). The liberals could only flourish because of the Suharto regime, whose legitimizers and apologists they remained almost until the end.

ICMI as a whole, and not only those few members whom Hefner describes as "regimist", was much more part of the regime than Hefner's informants were willing to admit.

The most prominent Muslim opponent of ICMI was the always controversial Wahid, the leader of the "traditionalist" Nahdlatul Ulama, which probably is the largest Muslim organization in the world. In the 1990s, Wahid, who had long been by far the most interesting public personality in Indonesia, gradually grew into the most brilliant player in Indonesia's shadow-play politics. The efforts by Suharto and various military-Muslim coalitions to cut Wahid down to size, Wahid's own alliances with (mostly non-santri) pro-democracy actors (including Megawati) and secularist military figures, and his later accommodation with the Suharto family (at a price) constitute another important strand of Hefner's narrative.

In the course of the political power struggles of the mid-1990s, churches and Chinese shops were burnt down, as Muslim mobs went on the rampage in towns such as Situbondo, Banjarmasin and Tasikmalaya -not accidentally, places where Wahid's Nahdlatul Ulama is dominant. In each case, the arson and looting were started by unidentified groups brought in from outside, but local people later joined in. Wahid, perceiving a conspiracy to destroy him politically and to stigmatize his organization, made great efforts to restore trust between Christians and Muslims, and was quick to accuse his military and Muslim enemies, mentioning several of them by name. Hefner records Wahid's accusations, the substance of which was corroborated by later developments, with less scepticism than they were greeted with by most Indonesian journalists. There were military men and Muslim activists who deliberately incited ethnic and religious conflict as Suharto's reign was approaching its end. Hefner sketches the dirty politics of those final years, and notably the role that a handful of unsavoury Muslim activists in league with Muslim generals played in efforts to weaken or destroy Wahid's and Megawati's grassroots movements as well as the Chinese business elite.

The book ends with Suharto's fall in 1998 and therefore fails to discuss the rise of Abdurrahman Wahid to the presidency in October 1999 and his deposition in less than two years, and the civil war that broke out between Christians and Muslims in the Moluccas, leading to increasing radicalism among Muslims everywhere in the country. Readers will find the book quite helpful, nevertheless, in making these recent developments understandable.

Hefner's "civil" Muslims have not been much in evidence in recent press reports on the country; they appear to be helpless in the face of the rising tide of military-connected militant jihadist groups and of calls for the enactment of the shariah. The September 11 terrorist attacks, and especially the Western response to them, have given Indonesia's Muslim radicals the opportunity to make their voice widely heard. Yet, liberal Muslims of the type on whom Robert Hefner focuses remain an important and influential group. In the struggle for openness and democratization, they are a crucial factor

Retrieved from: http://www.marufcanada.com/web/islamicpopulation.com/asia/Indonesia/The%20threat%20to%20%27smiling%20Islam%27.html

Monday, November 5, 2012

Tiga Problem Dasar dalam Perlindungan Agama-agama Minoritas di Indonesia

Jurnal MAARIF, Vol.7 No.1 Desember 2012, pp. 43-55.


Ahmad Najib Burhani
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

‘Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?... Sudah tentu tidak!...  bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan.  Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”’
--Sukarno, Lahirnya Pancasila, 1947, 7--

‘Dasar Ketuhanan Yang Mahaesa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik… Ketuhanan Yang Mahaesa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran persaudaraan’
--Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, 1977, 18--

Abstrak
Meski Indonesia telah mencantumkan jaminan kebebasan beragama terhadap agama-agama minoritas dalam konstitusi dan perundang-undangan yang lain, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak beragama kelompok minoritas. Karena itu, pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah permasalahan idologis atau teologis apa yang menghambat pelaksanaan hak-hak pemeluk agama-agama minoritas? Tulisan ini berargumen bahwa ada tiga persoalan dasar yang bersifat ideologis yang menghambat kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Ketiga hal itu adalah sila pertama Pancasila, paradigm tentang agama yang berkembang di masyarakat Indonesia, dan adanya penetapan bahwa subyek perlindungan adalah agama itu sendiri, bukan pemeluk agama.

Kata kunci: Pancasila, agama minoritas, ortodoksi-heterodoksi, kebebasan beragama, agama resmi dan tidak resmi, Victorian mind

Sunday, October 28, 2012

Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam

Martin van Bruinessen,
‘Indonesian Muslims and Their Place in the Larger World of Islam’,
Paper presented at the 29th Indonesia Update conference, Australian National
University, Canberra, September 30 – October 2, 2011.

With over 220 million Muslims, Indonesia has the largest community of Muslims in the world. Nevertheless, Indonesian Muslims do not play a role in global Muslim thought and action that is commensurate with their numbers. Indonesian Muslims have been eager to learn from Arab as well as Indian, Turkish and Persian thinkers, but do not seem to think they may have something valuable to offer in return. In Indonesian bookshops one finds the translated works of classical and modern Arabic authors, as well as studies of and by major Indian, Pakistani, Iranian and Turkish authors. But Malaysia is the only other country where one can find works by Indonesian Muslim authors, and there are virtually no serious studies of Indonesian Islam by scholars of other Muslim nations. The Arab world has shown a remarkable lack of interest in Asia in general, let alone in the social and cultural forms of Islam in Southeast Asia.1 Though more outward looking, other Muslim regions of Asia have not taken a serious interest in their Southeast Asian co-religionists either.


Retrieved from: http://igitur-archive.library.uu.nl/th/2012-0210-200244/Bruinessen_Indonesian_Muslims_in_the_larger_world_of_Islam.pdf

Thursday, October 25, 2012

Indigenous Community Identity Within Muslim Societies in Indonesia: A Study of Katab Kebahan Dayak in West Borneo

Prasojo Z.H. 2011. "Indigenous community identity within muslim societies in Indonesia: A study of Katab Kebahan Dayak in West Borneo". Journal of Islamic Studies. 22 (1): 50-65.

Zaenuddin Hudi Prasojo
Pontianak State College for Islamic Studies West Borneo, Indonesia

Abstract

The discourse of locality versus globalization has become a topic of interest in the social sciences and cultural studies. Globalization representing the modern world has provoked the awakening of ‘the silent voice’ of local traditions, especially those of indigenous communities. This paper examines the contribution of globalization to the dynamics of religion, ethnicity, and identity in a local, Muslim indigenous community, the Katab Kebahan Dayak, in West Kalimantan. As the dynamics of society in West Borneo have come under increasing influence from the outside world, the Dayak identity has become more important to people living in the region. It is generally thought that the Dayak are affiliated either to local religious practices and/or to Christian churches, while the Malays are considered as Muslim. However, Katab Kebahan Dayak community members have kept their ethno-religious identity as Muslim Dayak. This paper explores the process of ethno-religious identity formulation in this community and the influences of globalization on inter-group relations within ethnic groups in Melawi District, West Kalimantan. It affirms that the Katab Kebahan Dayak community members consider themselves as historically of Dayak origin and are proud of that. They trace their Muslim ancestry to more than five generations ago and feel no need to switch their ethnic identity. The research shows that the interactions they have with both Malay Muslim and Dayak communities around the region have strengthened their Muslim identity. This paper contributes to the discourse on local traditions within Muslim societies, and argues in favour of the endurance of local indigenous traditions in response to modern globalization. 

http://jis.oxfordjournals.org/content/22/1/50.abstract

Wednesday, October 24, 2012

Reaktualisasi Ajaran Samin

Suara Merdeka, 21 Oktober 2012 | 20:27 wib


Oleh Junaidi Abdul Munif

Samin, begitulah khalayak umum menyebut mereka. Mereka bermukim di sekitar Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Pati hingga Tuban. Meski tak mengenyam pendidikan formal, warga Samin memiliki sikap hidup lebih santun daripada yang berpendidikan tinggi. Saminisme, ajaran hidup kaum Samin, selalu mengedepankan kejujuran dan kesahajaan.
BAGI mereka, gaya hidup orang modern sudah keluar dari koridor tujuan penciptaan manusia di bumi. Egoisme, hedonisme, kebohongan, dan kerakusan kekuasaan adalah gaya hidup manusia modern. Korupsi (mencuri), debat kusir, dan saling fitnah tampaknya bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan saat ini. Dan, kaum Samin meyakini itulah yang memicu kerusakan di dunia.

Harmonisasi, bagi mereka, adalah tujuan utama menjalani hidup. Samin Surosentiko, pelopor ajaran saminisme, menyatakan tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. "Yang dinamakan sifat wisesa adiluhung) adalah bertindak sebagai wakil Allah," tutur Samin.

Alam dan jiwa masyarakat Samin seolah-olah sudah menyatu. Alam ibarat ibu mereka, karena alam menghidangkan kekayaan melimpah untuk dinikmati kapan pun. Karena itu mereka begitu mencintai dan menjaga alam. Wajar ketika investor asing (semen) datang dan hendak mengeksploitasi Pegunungan Kendeng, mereka berada di garda terdepan: melawan!

Orang Samin juga tidak kenal istilah berdagang. Karena berdagang, bagi mereka, selalu melahirkan unsur 'ketidakjujuran'. Mereka memilih sistem barter karena berlandaskan kejujuran dan tidak merugikan pihak lain. Bagi orang Samin, bohong adalah tabu. Mereka juga tidak menerima bantuan dalam bentuk uang.

Tabu Berbohong 
Raden Kohar atau Samin Surosentiko adalah otak intelektual paham saminisme. Samin lahir 1859 di Desa Plosokediren, Randublatung, Kabupaten Blora. Sang ayah bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal sebagai Samin Sepuh. Samin Surosentiko memiliki pertalian darah dengan Kiai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro, dan Pangeran Kusumoningayu yang berkuasa di Kabupaten Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) tahun 1802-1826.

Sastroatmodjo (2003) mengemukakan, saminisme muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang sewenang-wenang. Mereka tidak melawan secara fisik, tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda.

Misalnya, tidak mau membayar pajak. Resistensi itu akhirnya membuat mereka memiliki tatanan, adat istiadat, dan kebiasaan tersendiri. Samin Surosentiko juga melawan kekuasaan kolonial lewat ekspansi gagasan dan pengetahuan. Samin Surosentiko mentransformasikan gagasan melalui ceramah di pendapa-pendapa pemerintahan desa. Inti ceramahnya seolah olah ingin membangun Kerajaan Amartapura.

Artinya, Samin menghendaki masyarakat bersifat jatmika (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam, dan jatmika selalu berpegangan pada budi pekerti. Dianggap penghasut masyarakat, tahun 1907 Samin Surosentiko ditangkap Belanda. Dia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera barat, dan di sanalah maut menjemput tahun 1914.

Samin Surosentiko mewariskan sebuah kitab sastra adiluhung sebagai falsafah hidup orang Samin, yakni Serat Jamus Kalimasada. Saat ini, orang Samin sering disebut sebagai Wong Sikep yang berarti, jujur, dan baik. Kini, krisis moralitas melanda bangsa ini. Hedonisme dan pragmatisme bak dewa yang selalu disembah- sembah manusia. Rakus, tamak, dan perbuatan keji lain menjadi efek pasti kedua dewa itu.

Arus globalisasi sering dijadikan kambing hitam sebagai pemicu. Kendati demikian, masyarakat Samin bergeming dan tetap memegang prinsip hidup mereka. Karena itulah, saminisme sangat layak dijadikan cerminan hidup. Keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan adalah representasi masyarakat Samin.

Seolah-olah tak dijumpai celah dalam kehidupan mereka untuk berbuat iri, dengki, rakus, dan perbuatan negatif lain. Sikap Mulia Ada sebuah kisah menarik sebagai ilustrasi. Suatu ketika ada orang asing tersesat di desa masyarakat Samin. Karena kelaparan dan melihat buah pisang yang masak, orang asing itu pun memetik. Namun sang pemilik memergoki. Sang pemilik sama sekali tidak marah, bahkan berkata, "Kenapa mencuri, jika meminta saja diberi?"
Sungguh, suatu sikap yang mulia. Dalam Serat Jamus Kalimasada, Samin Surosentiko mengatakan, "Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong." Ya, masyarakat Samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati kepada orang lain, dan mengambil milik orang (mencuri). Sebab, semua tindakan itu merupakan awal kerusakan di bumi.

Ketika ditanya soal kejujuran, Hardjo Kardi, 'kepala adat' Samin, mengatakan, "Kejujuran adalah segalanya. Kejujuran harus menjadi dasar dan pegangan bagi manusia untuk mendapatkan kekuatan. Jangan pernah dengki dan iri hati. Semua manusia sama. Membedabedakan manusia tabu dalam mayarakat kami."

Secara eksplisit, ucapan indah itu mengindikasikan mereka senantiasa menerapkan sikap toleransi dan pluralitas. Bandingkan dengan fenomena yang acap menghinggapi manusia saat ini. Hampir setiap hari kita disuguhi tindakan amoral dari berbagai pihak. Sungguh ironis.

Bangsa yang tersohor dengan kesantunan dan kesopanan sudah bermetamofosis menjadi bangsa kurang beradab, jika tidak boleh dikatakan bangsa amoral dan biadab.

- Abdullah Hanif, pemerhati budaya asal Blora, kini mukim di Bantul
(RED/CN27)

Retrieved from: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2012/10/21/610/Reaktualisasi-Ajaran-Samin

Wednesday, October 17, 2012

Agama Jawa Sunda

Hisyam, Muhamad. 2004. "Agama Jawa Sunda." In Isma'il, Ibnu Qoyim. Religi lokal & pandangan hidup: kajian tentang masyarakat penganut religi Tolotang dan Patuntung, Sipelebegu (Permalim), Samimisme, dan agama Jawa Sunda. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan. pp. 137-74.

Available online

The Samin movement

Benda, Harry Jindrich, and Lance Castles. 1969. The Samin movement. New Haven, Conn: Yale University, Southeast Asia Studies.

In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969), no: 2, Leiden, 207-240

 

The Samin and Samat movements in Java

The, Siauw Giap. 1967. "The Samin and Samat movements in Java: two examples of peasant resistance". Revue Du Sud-Est Asiatique Et De L'Extrême-Orient. (2): 303-310.

The, Siauw Giap. 1968. The Samin movements in Java: complementary remarks

The Siauw Giap. 1969. The Samin and Samat movements in Java: two examples of peasant resistance. Bruxelles: Université Libre.

Raka, Anak Agung Gde. 1972. The Samin movement and Bantam uprising of 1926: two cases of social unrest in Java during the colonial period. S.l: s.n.]. 

Robert Cribb. 2010. Samin Movement.
Encyclopedia article : English
Database:World History: The Modern Era
Summary:
The Samin Movement was a peasant movement founded around 1890 in the Blora area of Central Java by Surontiko Samin.

The Samin movement and millenarism

Korver, A. Pieter E. 1976. "The Samin movement and millenarism." Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 132 (1976), no: 2/3, Leiden, 249-266. Igitur. Igitur. http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/view/2205. 

Feeding the dead: reformulating Sasak mortuary practices

Telle, Kari G. 2000. "Feeding the dead: reformulating Sasak mortuary practices". Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde. 156 (4): 771-805.

Telle, Kari. 2011. "Spirited warriors: conspiracy and protection on Lombok". Engaging the Spirit World : Popular Beliefs and Practices in Modern Southeast Asia. 42-61.

Telle, Kari G. 2007. "Nurturance the spectre of neglect: Sasak ways of dealing with the dead". Kinship and Food in South East Asia. 121-148.

Telle, Kari. 2009. "Spiritual places and ritual dynamics among Sasak Muslims on Lombok". Anthropological Forum : an International Journal of Social and Cultural Anthropology and Comparative Sociology. 19 (3): 289-306. 

Telle, Kari G. 2003. "The smell of death: theft, disgust and ritual practice in Central Lombok, Indonesia". Beyond Rationalism : Rethinking Magic, Witchcraft and Sorcery. 75-103.

Telle, Kari G. 2003. Place, heart and ritual: contested practices in a Muslim community in central Lombok. PhD Thesis. Bergen: University of Bergen, Dept. of Social Anthropology. 

Tuesday, October 16, 2012

Millenarianism and the Saminist movement


Anderson, Benedict R. O'G. 1977. "Millenarianism and the Saminist movement." In Benedict R. O’G. Anderson, Mitsuo Nakamura, and Mohammad Slamet. Religion and social ethos in Indonesia. Victoria: Monash University, pp. 48- ?.