Monday, April 13, 2015

JELANG MUKTAMAR KE-33: NU Teks dan Karakter Islam Nusantara

NU.or.id, Senin, 13/04/2015 20:17

Oleh Mahrus eL-Mawa*

Fenomena kekerasan atas nama agama, baik secara personal maupun institusional, hingga saat ini tidak dapat diterima umat manusia, terutama umat yang beragama dengan cinta, damai, dan kearifan (love, peace and wisdom). Islam sebagai agama yang mengedepankan rahmatan lil alamin dimanapun, sudah pasti menolak kekerasan tersebut.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang dilahirkan sejak 1926 untuk memberikan kedamaian umat Islam Indonesia, terutama dalam menjalankan tradisi dan ritual keagamaan, hingga saat ini. NU telah merumuskan beberapa prinsip dalam hal mengantisipasi persoalan sosial keagamaan, yaitu tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmoni), tawasut (moderat), ta’adul (keadilan), dan amar ma’ruf nahi munkar.

Seiring dengan fenomena kekerasan atas nama agama oleh kelompok Islam tertentu tersebut, dan merasa dirinya yang paling benar pemahaman keislamannya, dimanapun, menjadikan NU yang akan melaksanakan Muktamarnya ke-33 perlu menegaskan kembali jati diri Islam Nusantara.

Gagasan Islam Nusantara merupakan salah satu pemikiran yang khas untuk Indonesia dari dulu dan saat ini. Secara historis, berdasarkan data-data filologis (naskah catatan tulis tangan), keislaman orang Nusantara telah mampu memberikan penafsiran ajarannya sesuai dengan konteksnya, tanpa menimbulkan peperangan fisik dan penolakan dari masyarakat.


Contohnya, ajaran-ajaran itu dikemas melalui adat dan tradisi masyarakat, makanya
terdapat ungkapan di Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Lalu, pada saat itu di Buton terdapat ajaran martabat tujuh dari tasawuf menjadi bagian tak terpisahkan dari undang-undang kesultanan Buton. Hal serupa di Jawa, baik melalui ajaran Walisongo ataupun gelar seorang raja dengan menggabungkan tradisi lokal dan tradisi Arab, seperti Senopati ing Alogo Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa.

Dengan demikian, praktik Islam Nusantara mampu memberikan kedamaian umat manusia. Pada saat itu di Nusantara, baik kepulauan Jawa, Sumatera, Sulawesi dan sekitarnya para ulama dalam hal menuliskan ajarannya juga mempunyai tradisi akulturatif dan adaptif. Strategi dakwah tersebut tertulis dalam berbagai aksara dan bahasa sesuai dengan wilayahnya. Di Jawa terdapat aksara carakan, dan pegon dengan bahasa Jawa, Sunda, atau Madura, yang diadaptasi dari aksara dan bahasa Arab. Di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, terdapat aksara Jawi dengan bahasa Melayu, dan aksara/bahasa lokal sesuai sukunya, Bugis, Batak, dst.

Jelas sekali, ada kekhasan dalam Islam Nusantara pada soal adaptasi dan akulturasi aksara/bahasa. Hal serupa juga dalam hal sosialisasi ajaran Islam yang disampaikan secara praktis di masyarakat, terdapat adaptasi seni dan budaya lokal.

Wacana Islam Nusantara untuk saat ini acapkali diadaptasikan sebagai Islam Asia Tenggara (rumpun Melayu), dan belakangan menjadi Islam Indonesia. Beberapa buku menunjukkan hal itu, Azyumardi Azra (Edisi Revisi, 2004), Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII [The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay Indonesia ‘Ulama in the Seventeeth and Eighteenth Centuries (KITLV, 2004)],  L.W.C. van den Berg (1989), Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara [terjemahan dari Le Hadhramaut Et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien], Ahmad Ibrahim, dkk. (1989), Islam di Asia Tenggara [Readings on Islam in Southeast Asia], Slamet Muljana (2005), Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara; Kedua buku terakhir tersebut merupakan beberapa bukti bahwa Islam Asia Tenggara itu Islam Nusantara dengan rumpun Melayu, dan Islam Nusantara itu Islam Indonesia. Baru belakangan muncul beberapa karya dengan Islam Indonesia, seperti Michael Laffan (2011), The Makings of Indonesian Islam (Orientalism and the Narraration of a Sufi Past). 

Membicarakan Islam Nusantara bukan sekadar mengungkap kesejarahan Islam sebelum kaum asing menjajah (mempengaruhi) sejumlah wilayah di Nusantara, tetapi juga mengungkap kaitan ajaran Islam dengan tradisi lokal yang berbeda dengan tradisi Islam mainstream dari asalnya, Arab, terutama di Indonesia. Berkaitan dengan itu, jurnal Tashwirul Afkar edisi no. 26 Tahun 2008 tentang Islam Nusantara barangkali dapat menjadi bacaan awalnya.

Islam Nusantara juga dikenal dengan Islam Sufistiknya, hal itu bisa dilihat dalam karya Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia (2009) dan buku Miftah Arifin, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual dan Pemikiran Tasawuf (2013). Tentu saja, Islam Nusantara bukan hanya tasawuf, tetapi semua aspek ajaran Islam, seperti fiqh, tauhid, al-Qur’an, al-Hadis, dst.

Para ulama Nusantara dan karya-karyanya juga sudah dibuat daftarnya secara ringkas oleh Nicholas Heer (2008) dengan judul A Concise Handlist of Jawi Authors and Their Works. Diantara ulama Nusantara yang dikenal dengan Ahlussunah wal jamaah itu Syekh Ihsan ibn Muhammad Dahlan al-Jamfasi al-Kadiri dengan judul kitab Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Ahkam Syurb al-Qahwah wa al-Dukhan, dan Siraj al-Talibin fi Syarh Minhaj al-Abidin; Muhammad As’ad ibn Hafid al-Jawi, an-Nubzah al-Saniyah fi al-Qawaid al-Nahwiyah (1304/1886); Muhammad Sa’id ibn Muhammad Tahir Riau, Kitab ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlid al-Nabi al-Azhar (1327/1909); Muhammad ibn (?) Salih ibn ‘Umar al-Samarani, Hadis al-Mi’raj, dst.

Adapun ulama-ulama yang sudah masyhur lainnya juga tercatat dengan baik, seperti Hamzah al-Fansuri al-Jawi, Syekh an-Nawawi al-Bantani al-Jawi, Syekh Abd ar-Rauf al-Singkili al-Jawi, Abd al-Samad al-Falimbani al-Jawi, Kiai Bisri Mustofa dengan Tafsir Pegon, al-Ibriz, dst.

Islam Nusantara, diakui atau tidak, masih dianggap sebagai Islam pinggiran (periferal) oleh para orientalis. Sekalipun bantahan terhadap anggapan seperti itu sudah dilakukan juga oleh islamolog, seperti A.H. Johns. Bahkan Johns (1965) pernah meneliti karya ulama tasawuf Nusantara Tuhfatul Mursalah ila ruh al-nabi dalam salinan bahasa dan aksara Jawa, dengan judul The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet.

Karya-karya ulama Nusantara dalam bahasa lokal tersebut untuk penyebaran Islam merupakan salah satu dari kelebihan dan kekhasan Islam Nusantara, selain dari pemahaman moderatnya. Moderasi itu dengan cara akomodasi tradisi lokal dalam pemahaman keislamannya, seperti tahlilan, muludan, sedekah laut, mitoni, dst. yang selama ini hanya milik Islam tradisional Indonesia. Tradisi Islam Nusantara yang sudah berkembang tersebut ternyata juga berkembang di negara Timur Tengah, seperti Maroko, Yaman dan sekitarnya.

Moderasi Islam Nusantara ternyata dapat dilihat bukan hanya pada pengembangannya melalui akulturasi budaya semata, tetapi juga ketika Islam awal masuk ke Nusantara melalui suatu proses kooptasi damai yang berlangsung selama berabad-abad. Tidak banyak terjadi penaklukan secara militer, pergolakan politik, atau pemaksaan struktur kekuasaan dan norma-norma masyarakat dari luar negeri (Ahmad Ibrahim, dkk: 2).

Dengan demikian, melalui Islam Nusantara tidak perlu dengan gerakan paramiliter, kekerasan, penindasan, atau bentuk radikalisme lainnya, seperti yang dikembangkan organisasi Islam tertentu yang sedang marak belakangan ini.

Dengan demikian pribumisasi Islam Gus Dur sungguh sangat tepat untuk Islam Nusantara. Salah satu warisan Islam Nusantara, selain pesantren adalah naskah kuno (manuskrip). Naskah kuno ini dapat menjadi ciri khas lain dari Islam Nusantara, terutam pada aspek bahasa dan aksaranya. Pegon dan Jawi tidak pernah digunakan oleh orang Islam dimanapun, kecuali bangsa kepulauan Nusantara.

Karena itu, apabila terdapat naskah kuno berbahasa Jawa dengan aksara Arab di perpustakaan Jerman, Belanda, Perancis, Italia, dst, dapat dipastikan naskah itu berasal dari Nusantara (lihat, Henri Chamberl-Loir dan Oman Fathurrahman (1999), Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Adapun di dalam negeri, berbagai katalog naskah dari daerah-daerah seperti Buton, Yogyakarta, Jawa Barat, Aceh, dst. Secara khusus, terdapat sebuah buku tentang Direktori Edisi Naskah Nusantara (1999).

Kajian terhadap naskah kuno tersebut saat ini sedang berkembang pesat, tidak hanya di perguruan tinggi umum (UI, UGM, UNPAD, dst) tetapi juga lembaga kementerian agama RI (Litbang, UIN, IAIN, dst.). Bahkan, beberapa pesantren dan keluarga keraton sebagai pemilik naskah kuno tersebut sudah dilibatkan menjadi peneliti, pengkaji, dan pemelihara naskah secara professional. Pengkaji naskah Nusantara ini bahkan menyebut studinya dengan nama filologi Nusantara.

Studi naskah di Nusantara memang tidak dapat disamakan dengan filologi di Eropa, Barat, atau latin dimana asal usul filologi berkembang. Begitupun kajian naskah Nusantara tidak dapat disamakan dengan studi filologi di Arab (ilmu tahqiq). Karena itu, Nusantara mempunyai kekhasannya sendiri, termasuk naskah-naskah di daerah. Kajian naskah di wilayah yang besar cakupannya, seperti Jawa, Melayu atau Batak, ternyata juga memunculkan filologi tersendiri, maka lahirlah filologi Jawa, filologi Melayu, dan filologi Batak.

Kajian naskah semacam itu, terutama naskah keagamaan Islam, mengingatkan penulis pada gagasan Gus Dur tentang pesantren sebagai sub-kultur dan pribumisasi Islam. Pesantren sebagai warisan Islam Nusantara hari ini juga mempunyai kontribusi besar terhadap dinamika filologi Nusantara, karena di pesantren juga mempunyai kekhasan sendiri yang berbeda dengan filologi Jawa dst. Karena itu, penulis juga pernah mengusulkan perlunya kajian filologi pesantren. Terlebih lagi, apabila dikaitkan dengan pribumisasi Islam dari Gus Dur, maka semakin lengkaplah kajian Islam Nusantara itu.

Berangkat dari catatan-catatan tersebut, kiranya, “Mengapa Islam Nusantara”, baik dari sisi historis maupun untuk kepentingan saat ini, dapat disingkat sebagai berikut:

1. Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk beberapa kitab tertentu tetap menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya berbasis lokalitas, seperti karya Kyai Jampers Kediri.
2. Praktik keislaman Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu karakter Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan.
3. Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik hidup yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi, sehingga ajaran Ahlus sunnah wal jamaah dapat diterapkan.  Tradisi yang baik tersebut perlu dipertahankan, dan boleh mengambil tradisi baru lagi, jika benar-benar hal itu lebih baik dari tradisi sebelumnya.
4. Manuskrip (catatan tulisan tangan) tentang keagamaan Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan ajaran fikih, dst. sejak abad ke-18/20 merupakan bukti filologis bahwa Islam Nusantara itu telah berkembang dan dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama dan masyarakat, terutama di komunitas pesantren.
5. Tradisi Islam Nusantara, ternyata juga trdapat keserupaan dengan praktik tradisi Islam di beberapa Negara Timur Tengah, seperti Maroko dan Yaman, sehingga Islam Nusantara dari sisi praktik bukanlah monopoli NU atau umat Islam Indonesia semata, karena jejaring Islam Nusantara di dunia penting dilakukan untuk mengantisipasi politik global yang terkesan bagian dari terorisme global.
6. Karakter Islam Nusantara, seperti disebut sebelum ini, tidaklah berlebihan jika dapat menjadi pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam.
7. NU sebagai organisasi yang dilahirkan untuk mengawal tradisi para ulama Nusantara, terutama saat keemasannya, Walisongo, penting kiranya untuk tetap mengawal dan menegaskan kembali tentang Islam Nusantara, yang senantiasa mengedapkan toleran, moderat, kedamaian dan memanusiakan manusia.

Selamat dan Sukses Muktamar NU ke-33, semoga benar-benar dapat merumuskan secara teoritis dan praktis tentang Islam Nusantara, sehingga dapat diaktualisasikan secara nyata di tengah masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya bagi umat Islam Indonesia.

Catatan pendek ini sebagai pengantar diskusi Halaqah pra-Muktamar NU ke-33 di PBNU, “Mengapa Islam Nusantara?”, diselenggarakan kerja sama Gus Durian, Panitia Muktamar dan Pasca Sarjana STAINU Jakarta, 10 April 2015. Draft only.

*Mahrus eL-Mawa, teman Belajar Mahasiswa Pasca Sarjana STAINU Jakarta dan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Saat ini, sedang menulis disertasi tentang filologi naskah Cirebon di FIB UI.

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,58821-lang,id-c,kolom-t,Teks+dan+Karakter+Islam+Nusantara-.phpx

Wednesday, April 1, 2015

Arabisasi, Samakah dengan Islamisasi?

NU.or.id, Rabu, 16/04/2014 19:01

Oleh KH Abdurrahman Wahid
Beberapa tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan datang pada penulis di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Bhutto masih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk membacakan surah Al-Fatihah bagi keselamatan Bangsa Pakistan. Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Bhutto yang berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda “celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan”? Penulis menjawab bahwa hadits tersebut disabdakan pada Abad VIII Masehi di Jazirah Arab. Ini berarti diperlukan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?

Pada tempat dan waktu Rasulullah masih hidup itu, konsep kepemimpinan bersifat perorangan -di mana seorang kepala suku harus melakukan hal-hal berikut: memimpin peperangan melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam persoalan antar para keluarga yang berbeda-beda kepentingan dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi membuat dan sekaligus melaksanakan hukum.

Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemimpin, baik ia presiden maupun perdana menteri sebuah negara, konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/diinstitusionalisasikan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Bhutto tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan melalui sidang kabinet yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet juga tidak boleh menyimpang dari Undang-undang (UU) yang dibuat oleh parlemen yang mayoritas beranggotakan laki-laki. Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang membentuk Mahkamah Agung (MA), yang anggotanya juga lakilaki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi menjadi masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah dilembagakan/ di-institusionalisasi-kan. “Anda memang benar,” demikian kata orang alim Pakistan itu, “tetapi tolong tetap bacakan surah Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan”.

***

Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya. Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi. Sebagai contoh, nama-nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga di-Arabkan; kata syarî’ah untuk hukum Islam, adab untuk sastra Arab, ushûluddin untuk studi gerakan-gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan fakultas keputrian dinamakan kulliyyat al-banât. Seolah-olah tidak terasa ke-Islaman-nya kalau tidak menggunakan kata-kata bahasa Arab tersebut.

Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Universitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula nama-nama berbagai pondok pesantren. Kebiasaan masa lampau
untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren (PP) Lirboyo di Kediri, Tebuireng di Jombang dan Krapyak di Yogyakarta, seolah-olah kurang Islami, kalau tidak menggunakan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipakailah nama PP Al-Munawwir di Yogya -misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.

Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. Kalau dahulu orang awam menggunakan kata “Minggu” untuk hari ketujuh dalam almanak, sekarang orang tidak puas kalau tidak menggunakan kata “Ahad”. Padahal kata Minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, “jour dominggo”, yang berarti hari Tuhan. Mengapa demikian? Karena pada hari itu orang-orang Portugis —kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum muslimin menggunakan hari tutup kantor tersebut sebagai pusat kegiatan kolektif dalam ber-Tuhan?

***

Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai persangkaan bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam menghadapi “kemajuan Barat”. Seolah-olah Islam akan kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali ke “akar” Islam, yaitu kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis agama Islam yang dikenal dengan sebutan dalil naqli, menjadi superficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari terorisme yang kita tolak yang menggunakan nama Islam?

Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Islam itu, juga mengakibatkan sikap sempit yang menolak segala macam penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious subject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan dalam waktu yang sangat panjang. Para “Pemurni Islam” (Islamic puritanism) seperti itu, juga membuat tudingan salah alamat ke arah tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan selama berabad- abad. Memang ada ekses buruk dari pengalaman perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya bukanlah berbentuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran membersihkan Islam dari ekses-ekses yang keliru tersebut.

Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, seperti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontrareformasi semenjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang kemudian berujung pada teologi pembebasan (liberation theology), merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat (ikhtilâful a’immah rahmatul ummah).” Adagium tersebut bermula dari ketentuan kitab suci al-Qur’ân: “Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal (Wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS al-Hujurat(49):13). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama Islam.

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).

Friday, March 20, 2015

Menghidupkan Kembali Ajaran Autentik Islam Nusantara

NU.or.id, Rabu, 20/03/2013 12:35

M. ULINNUHA KHUSNAN*

Islam masuk ke Indonesia atau lebih luas wilayah Nusantara dengan jalan damai. Kedamaian itu terjadi karena para penyebar Islam kala itu menggunakan metode yang jitu dan arif. Metode inilah yang disebut oleh Abdul Muchith Muzadi (2006:34) sebagai metode dakwah persuasif bukan konfrontatif.
Tidak heran bila Islam Indonesia pada awal kemunculannya tidak mengenal kekerasan dan ekstrimisme, baik ekstrimisme kiri atau kanan. Ajaran Islam Nusantara sejatinya juga tidak condong kepada gerakan Islam radikal juga tidak permisif pada gerakan Islam liberal.

Sikap moderat seperti itu antara lain disebabkan kelihaian para penyebar Islam dalam memformulasi ajaran Islam dengan tradisi lokal. Walisongo misalnya, menjadikan tradisi wayang, gending, ziarah dan pertunjukan silat sebagai sarana dakwah yang paling jitu dan spektakuler. Dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya, Walisongo berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Jawa dengan damai tanpa perlawanan yang berarti dari penduduk pribumi.

Metode dan sikap yang arif dan bijak tersebut dirumuskan oleh para pendakwah Islam, khususnya Walisongo, dari ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw, kemudian diformulasikan menjadi sebuah ajaran Islam Indonesia yang khas dan membumi yang dikenal dengan ajaran tepo seliro. Ajaran tepo seliro ini ternyata dibangun di atas empat prinsip ajaran Islam yaitu prinsip at-tawassuth (moderat), at-tawâzun (seimbang), al-i’tidal (adil) dan at-tasâmuh (toleran) (Ahmad Shiddiq, 1979;40-44). Ajaran Tepo Seliro yang terbangun dari empat prinsip inilah yang penulis sebut sebagai ajaran autentik Islam Indonesia.

Upaya Menghidupkan Ajaran Islam Nusantara

Hilangnya ajaran autentik Islam Indonesia dari generasi bangsa berdampak cukup serius. Tidak saja memberangus nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin, tapi dalam skala tertentu, dikhawatirkan akan memporandakan kesatuan NKRI. Pada titik inilah, penulis mengusulkan beberapa upaya kongkrit untuk menghidupkan kembali ajaran autentik Islam Indonesia.

Pertama, mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Karakter bangsa ini mengandaikan sikap dan jati diri yang kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh trend dan isu-isu dari luar. Pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai etika luhur kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Nilai-nilai etika luhur itu diambil dari berbagai norma yang ada, khususnya norma agama yang berkembang di Indonesia. Kemudian dimasukkan ke dalam mata pelajaran sekolah. Pendidikan karekter bangsa juga dapat dikembangkan dari kearifan budaya lokal. Budaya-budaya lokal seperti gotong royong, saling menghormati, suka bekerja keras dan rasa malu harus dihidupkan kembali dalam berbagai lini kehidupan bangsa. Dengan melakukan hal ini, karakter kebangsaan rakyat Indonesia akan kembali tumbuh dan bangsa ini akan menemukan kembali jati dirinya yang asli.

Kedua, merevitalisasi peran dan fungsi pesantren. Jamak diketahui bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di negeri ini. Ia telah melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang santun, arif dan berkarakter. Namun belakangan nama pesantren tercoreng karena peristiwa beberapa oknum yang terlibat dalam gerakan terorisme. Oleh karena itu, sudah saatnya peran dan fungsi pesantren/surau/dayah dioptimalkan kembali sebagai kawah candradimuka pendidikan Islam di Indonesia. Juga sebagai benteng pembangunan akhlak bagi generasi bangsa.

Ketiga, meningkatkan kajian dan penelitian tentang Islam Indonesia. Penelitian dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti LIPI atau Litbang Kementerian Agama dan Kemendiknas, juga bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, terutama yang ada di perguruan tinggi Islam. Penelitian itu difokuskan pada penggalian khazanah keilmuan ulama Indonesia, manuskrip-manuskrip kuno, arsitektur dan artefak peninggalan para leluhur bangsa. Hasil penelitian itu kemudian disosialisikan ke semua lapisan masyarakat secara terprogram dan berkesinambungan, agar mereka mengetahui kekayaan intelektual dan kearifan ajaran para ulama dan pendiri bangsa.

Ketiga upaya di atas harus mendapat dukungan dari semua pihak, baik lembaga pemerintah maupun swasta, baik dilakukan secara individual maupun kelompok. Dengan bersama-sama melakukan empat hal di atas secara serius, terprogram dan berkesinambungan, harapan besar untuk menghidupkan kembali ajaran autentik Islam Indonesia yang khas di tengah arus gelombang modernisasi akan terwujud di negeri ini.

Penutup

Gerakan liberalisme dan radikalisme yang belakangan muncul di Indonesia bukanlah ajaran asli Islam Indonesia. Gerakan tersebut bersifat transplanted (cangkokan) dari luar; liberalisme berasal dari tradisi kritis Barat, sementara radikalisme bersumber dari fundamentalisme Timur Tengah dan Afghanistan.

Dua kutub pemikiran dan gerakan tersebut sejatinya berada pada titik yang sama-sama ekstrim. Yang satu ekstrim ke kiri dan yang lain ekstrim ke kanan. Ekstrimitas ini tentu tidak sejalan dengan ajaran Islam. Sebab ajaran Islam menekankan moderatisme, sikap tengah-tengah antara berbagai titik ekstrim yang ada. Inilah yang antara lain tergambar dari kata “ummatan wasathan” dalam QS. Al-Baqarah [2]:143. Dalam ajaran Islam, ekstrimisme atau ta’ashshubiyah dengan berbagai variannya adalah sesuatu yang dikecam dan dilarang, karena ia dapat menghancurkan eksitensi alam dan kemanusiaan (QS. Al-Maidah [5]:77).

Jika ditilik dari sejarah pemikiran dan gerakan Islam Indonesia, dua aliran ekstrim di atas juga merupakan sesuatu yang tidak pernah dikenal. Para pendakwah awal Islam Indonesia tidak menggunakan ekstrimitas, baik kanan atau kiri, dalam strategi dakwah mereka. Justru kearifan dan kematangan ilmu, berhasil mengantarkan mereka pada titik keyakinan tertinggi bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta. Oleh karena itu, mereka merumuskan ajaran tepo seliro sebagai landasan dakwah Islam di Indonesia. Ajaran tepo seliro ini terbangun dari empat prinsip ajaran Islam, yaitu; at-tawassut (moderat), at-tawâzun (keseimbangan), al-i’tidâl (keadilan), dan at-tasâmuh (toleransi).

Ajaran tepo seliro yang terkonstruk dari empat prinsip mulia inilah yang penulis sebut sebagai ajaran autentik Islam Indonesia. Sebuah ajaran yang tidak saja memiliki akar kuat dari Al-Qur’an dan Hadis, tapi juga membumi ke dalam tradisi lokal yang ada di negeri zamrud katulistiwa ini.

Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan ajaran autentik Nusantara, yaitu; mengembangkan pendidikan karekter bangsa, merevitalisasi peran dan fungsi pesantren, dan meningkatkan kajian dan penelitian tentang Islam Indonesia. Dengan menghidupkan kembali ajaran adiluhung itu melalui tiga upaya tersebut, diharapkan umat Islam Indonesia akan tercerahkan dan kembali kepada jati diri dan karakteristiknya yang asli; ramah, santun, berkarakter dan berwibawa.
Jika hal ini dapat dilakukan secara terstruktur dan berkesinambungan, maka cita-cita luhur untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan terealisasi di negeri tercinta ini. Wallahu al-Muwaffiq Ilâ Aqwam ath-Thariq, Wallahu A’lam.



* Dosen, Asisten Direktur Pascasarjana Program Magister (PPM) Islam Nusantara STAINU Jakarta

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43202-lang,id-c,kolom-t,Menghidupkan+Kembali+Ajaran+Autentik+Islam+Nusantara-.phpx

Monday, June 9, 2014

Islam and the 2014 Indonesian Elections

Although Islamic parties were deemed to be on the decline in Indonesia, the parliamentary election in April has shown their resilience. This is especially so for the parties affiliated with the country’s two largest Islamic organisations, the traditionalist Nahdlatul Ulama (NU) and the reformist Muhammadiyah. Indeed, both the National Awakening Party (PKB) and the National Mandate Party (PAN) managed to mobilise respectively in NU and Muhammadiyah circles to establish themselves as mid-sized parties. They are now considered as key players in the coalition-building process led by front-runners of the upcoming presidential elections, Joko Widodo (Jokowi) from the Indonesian Democratic Struggle Party (PDIP) and Prabowo Subianto from the Gerindra Party.

Indeed, the probable Jokowi-Prabowo showdown seems more and more to be drawing a line between Islamic Traditionalists and Puritan-Reformists, with the former vying for PDIP (Indonesian Democratic Party Struggle) and the latter for Gerindra Party (Great Indonesian Movement Party). Could this signify the return of Aliran (‘streams’) politics in Indonesia? Do these alliances reflect contesting views on the role of Islam in public life? Will the state’s secularist foundations and religious pluralism risk being challenged? To answer these essential questions, this seminar will host two Indonesian scholars -- Dr. Ahmad Najib Burhani (LIPI - Indonesian Institute of Sciences) and Dr. Sumanto Al Qurtuby (University of Notre Dame in Indiana). They will provide insights on the latest developments on the national political scene and the internal dynamics within the Traditionalist and Puritan-Reformist currents in this crucial period for Indonesia.

http://www.iseas.edu.sg/ISEAS/upload/files/Seminar%20Notice%282%29.pdf

Saturday, May 17, 2014

The Reformasi '98 and the Arab Spring: A Comparative Study of Popular Uprisings in Indonesia and Tunisia

Asian Politics & Policy
Volume 6, Issue 2, pages 199–215, April 2014

Ahmad Najib Burhani†

Abstract
By comparing popular uprisings in Indonesia and Tunisia, this article intends to answer the questions: What kind of condition made the Islamists successfully take over the state in Tunisia, while they failed to do so in Indonesia? What are the similarities and differences between the uprisings in these two countries? This article argues that the historical and sociopolitical position of Islamists during the authoritarian regimes determined the fate of Islamist parties after the uprisings. The role of Ennahda party as a symbol of opposition has contributed to its rise after the Tunisian Spring, while the involvement of Islamists in the regime during the last years of Suharto's rule contributed to the decline of Islamist parties in Indonesia. However, the strongest argument for the decline of Islamist parties in Indonesia is the fading away of political streams. Furthermore, the role of Muslim scholars in desacralizing Islamist parties in Indonesia has significantly challenged and undermined the identification of Islam with Islamist parties.

Keywords: Ennahda party; political Islam; politik aliran; Rachid Ghannouchi; secularism

†Ahmad Najib Burhani is a researcher at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta. He received his PhD in Religious Studies from the University of California-Santa Barbara, USA. His academic interests include “minority religions in Islam,” “Islamic movements in Southeast Asia,” and “cosmopolitan sufism.”

Link: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/aspp.12113/abstract

Thursday, December 19, 2013

Muslims, Hindus get together for ‘topat’ war in Lombok

Panca Nugraha, The Jakarta Post, West Lombok | Archipelago | Thu, December 19 2013, 8:38 AM
Praise God and pass the ammunition: Women from the Sasak Muslim community carry topat before the start of the topat war at the Pura Lingsar Temple complex in West Lombok on Tuesday. (JP/Panca Nugraha)

Hundreds of Muslim and Hindu residents engaged in the traditional Perang Topat or topat war at the Pura Lingsar Temple complex in Lingsar village, West Lombok, West Nusa Tenggara (NTB), on Tuesday.

The topat war has become a symbol of brotherhood and unity among residents of the different faiths. Topat, or ketupat, are parcels of rice cooked in coconut leaf.

An atmosphere of merriment filled the Pura Lingsar Temple complex on Tuesday afternoon, when hundreds of youths, men and women and even children were divided into two groups and positions, some of them at the Pura Gaduh Hindu Temple compound, while others gathered in front of the Kemaliq building, a place sacred to the indigenous Muslim Sasak community in Lombok.

After the whistle marking the commencement of hostilities was blown, both groups immediately attacked each other.

The atmosphere became more frenzied as they ran around to avoid topat being tossed at them by their opponents. They then returned to their positions to toss topat back at their rivals.

The tradition, which has been carried out for hundreds of years in Lingsar village, has strengthened ties among the Muslim and Hindu communities there.

The locals believe that the topat used in the war bring blessings.

“The tradition has been handed down by our ancestors. It is usually carried out after a good harvest, as an expression of thanks to God and with the hope that the coming planting season will be fertile. It also strengthens social ties with our Hindu friends,” Ramlan, 38, guardian of the Kemaliq building, told The Jakarta Post.

According to Ramlan, after the event, the remaining topat become a bone of contention and people will fight to bring them home.

They usually scatter the topat in their fields in the hope that their crops will be plentiful, or place them in their shops to boost business.

The Pura Lingsar complex is a temple built in 1759 during the era of Anak Agung Gede Ngurah, a descendant of the Karangasem king of Bali, who ruled parts of Lombok Island during the 17th century.

Pura Lingsar is located around 9 kilometers east of the NTB provincial capital Mataram.

The temple complex is unusual in that it is home to two buildings used by different faiths; the Pura Gaduh temple, a Hindu place of worship, and the Muslim Kemaliq building still used for a number of Sasak Muslim rituals.

The two buildings were built in a Balinese architectural style. The Pura Lingsar complex has been designated as a cultural heritage site by the government due to its uniqueness.

The community in Lingsar village always hold the ritualized topat war on the 15th day of the seventh month of the Sasak Lombok calendar, or the 15th day of the sixth month of the Balinese calendar.

This year, it fell on Tuesday (Dec. 17) precisely during a full moon. The topat war always commences at around 5 p.m.

On the day, members of the Hindu community celebrate the odalan, or the anniversary of the Pura Lingsar, by carrying out the Pujawali ritual to pay respect to Batara Gunung Rinjani, Batara Gunung Agung and Batara Lingsar, personifying God.

At the same time, members of the Muslim community hold an event to commemorate Raden Mas Sumulir, a Muslim cleric from Demak, Central Java, believed to have brought Islam to Lombok in the 15th century.

In the Pura Gaduh temple, Hindu followers, led by temple elders prepare offerings for Pujawali, while at Kemaliq, Sasak Muslims, prepare the kebon odek (small earth), or offerings in the form of various fruit and crops.

The item which cannot be left out, of course, is the topat made by members of both the Muslim and Hindu communities in the village.

The offerings are then paraded around the Kemaliq building accompanied by the playing of traditional musical instruments.

“Perhaps, this is the only event in which members of the Muslim and Hindu communities carry out their rituals at the same place and time simultaneously, although our versions are different,” said Lingsar village chief Muhammad Abdul Hadi.

The topat war has a spot on the NTB administration’s list of special events as part of its efforts to attract more tourists to the province.

On Tuesday, dozens of local tourists and foreigners swarmed the area to witness the unique event.

Besides the topat war, the visitors could also enjoy a number of other traditional performances.

http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/19/muslims-hindus-get-together-topat-war-lombok.html

Monday, July 29, 2013

Madrais, Menyemai Tradisi Menuai Diskriminasi

Beberapa tokoh nasionalis dipahami secara keliru. Bahkan oleh bangsanya sendiri. Sebagai akibat rekayasa penjajah Belanda yang menyebarkan cerita dan fakta keliru terhadap tokoh-tokoh nasionalis pribumi. Sebab keberadaan mereka membahayakan posisi kolonialis.

Oleh Ali Romdhoni
Kiai Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat (m. 1939) dari Cigugur, Kuningan merupakan nasionalis. Namun karena sejarah ia pernah dipahami secara keliru dan dimusuhi oleh komunitasnya sendiri.
Awal September 2012 lalu penulis mendengar sosok Madrais melalui penuturan para penganutnya. Adalah tokoh pendiri sekaligus penyebar ajaran—untuk tidak menyebutnya ‘agama’—Sunda Wiwitan (Sunda permulaan; lama).
Menurut cerita, Madrais masih memiliki hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Oleh ibunya, anak yang belum genap satu tahun itu kemuian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput dari kejaran Belanda.
Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah. Ia kemuian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik dengan cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan. Komunitas itu ia wadahi dalam satu lembaga bernama perguruan (paguron), ada juga yang menyebutnya dengan pesantren.
Selama hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang lokasinya di Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran sesat. Namun tokoh ini berhasil pulang ke kampung halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan kepada rakyat pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.
Salah satu ajaran Madrais yang popular di kalangan penganut Sunda Wiwitan adalah makan dan minumlah dari hasil keringat sendiri. Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah menerima uluran belas kasihan orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak senang dengan Madrais, ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini mengharuskan para pengikutnya untuk menghisap keringat sang guru.
Sadar Kebangsaan
Madrais hidup sekitar tahun 1832 sampai 1939, ketika seluruh kekayaan bangsa Indonesia: sumber daya alam, ilmu pengetahuan, agama, budaya, hingga akal sehat sudah hilang dari manusianya.
Dalam kondisi yang demikian, Madrais tampil sebagai putera pribumi yang sadar dan merasa harus bangkit dari kehancuran sebagai bangsa. Kritik yang disampaikan Madrais, yang selanjutnya menjadi ajaran yang ia tanamkan kepada para pengikutnya adalah: tidak adanya tatanan sosial untuk menciptakan keadilan di masyarakat, tidak berfungsinya agama-agama dalam melahirkan manusia yang saling menghargai kedaulatan sebagai bangsa, dan hilangnya kepercayaan diri sebagai bangsa yang berdaulat di muka bumi.
Tiga hal ini, menurut saya, menjadi saka guru ajaran Kiai Madrais. Pangeran Madrais mengajarkan pentingnya kesadaran sebagai manusia dan bangsa yang mengenal cara dan ciri manusia, antara lain, welas asih (cinta) kepada sesama, tata kerama, berbudaya, berbahasa, beraksara dan wiwaha danaraga (mempertimbangkan segala keputusan dan perilaku dalam hidup). Sebagai manusia harus sadar atas keberadaannya sebagai ciptaan Sang Maha Kuasa. Cara-ciri ini, rupa, bahasa dan budaya tidak bisa dihindari. Karena merupakan karunia Tuhan, maka harus disyukuri, dijaga dan dilestarikan.
Eksistensi Ajaran Madrais
Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Di tempat ini juga terdapat gedung Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga adat dan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini.
Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu. Ritual-ritual penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek paseban. Salah satu kegiatan tahunan yang digelar dengan cukup meriah dan melibatkan berbagai komunitas adalah upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka menyongsong datangnya tahun baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di event ini sebagian masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk iarak dalam satu episode pawai yang meriah.
Di komplek gedung Paseban TPT juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Ini merupakan ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini: setiap manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga.  Pangeran Jatikusuma, pimpinan ajaran Sunda Wiwitan saat ini juga membangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka umum.
Perjalanan para penganut ajaran Sunda Wiwitan tidak selamanya mulus. Ada lembaran-lembaran kelam yang meninggalkan trauma tersendiri bagi warga adat dan penganut ajaran Kiai Madrais. Salah seorang anak Jatikusuma, Gumirat Barna Alam harus berurusan dengan pengadilan Jakarta Timur pada 1997. Gumirat ingin menikah dengan cara adat dan ajaran yang mereka yakini. Namun saat itu kantor catatan sipil tidak mengizinkan, sampai akhirnya harus diselesaikan di meja hijau.
Sejarah yang Kabur
Perjalanan sejarah terkadang bisa memutar-balik fakta. Pada satu waktu seseorang diproklamirkan sejarah sebagai sosok agung, dan pada masa berikutnya orang yang sama dijatuhkan—juga oleh sejarah itu sendiri—ke derajat pecundang.
Demikian yang terjadi pada Pangeran (Kiai) Madrais saat ini. Citra yang menempel pada sosok bangsawan keturunan keraton Gebang lama ini adalah seorang pemberontak, penyebar aliran sesat, orang yang tidak beragama, sampai anak haram. Selain itu juga ada masyarakat yang meyakininya sebagai bangsawan, kiai (agamawan), cendekia, tokoh pembela rakyat dalam menghadapi penjajah, sampai orang sakti yang rendah hati.
Menurut pendapat rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon, Khozin Nasuha, misalnya, Madrais sejatinya seorang pimpinan pesantren. Bahkan nama Madrais, menurut salah seorang warga Cigugur, merupakan pengucapan dari nama muslim, Ahmad Rais. Namun komentar ini disanggah oleh para cucu Madrais sendiri. Dewi Kanthi menegaskan, kakek buyutnya bukan seorang muslim. Memang ia pernah belajar keislaman di pesantren, tetapi itu karena minatnya yang besar dalam hal ajaran keagamaan dan kemanusiaan yang universal.
Kita patut bangga memiliki pendahulu seperti Pangeran Madrais. Wallahu a’lam bis-shawab.
-Ali Romdhoni MA, Peneliti dan dosen di STAI Mathali’ul Falah Pati, Jawa Tengah.

From: http://amanat-online.com/madrais-menyemai-tradisi-menuai-diskriminasi/