Thursday, October 13, 2011

Islam Arab atau Islam Cina?

Majalah Historia, Kamis, 12 Agustus 2010 - 13:00:46 WIB

Teori klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan Islam.

BEBERAPA teori menyangkut hadirnya Islam di Kepulauan Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Ada dua teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Pertama, dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang menyebutkan kalau Islam dibawa oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah teori pedagang Gujarat yang diusung oleh Pijnapel dan kemudian diteliti lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan Schrieke.

Agaknya teori-teori klasik itu menyandarkan validitasnya pada lapoan perjalanan yang ditulis Marcopolo yang menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari. Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

M.C. Ricklefs memiliki serangkaian intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam kasus batu nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan itu hanya pemberat kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan setelah muslimah itu meninggal. Dan batu itu tidak memberikan kejelasan apa-apa mengenai mapannya agama Islam di tengah-tengah penduduk Indonesia.

Sampai dengan awal abad ke-14 M, Islamisasi secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.

Kekuatan politik itu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.

Menarik juga mengamati kisah-kisah pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional. Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga tentang batu nisan Malik as-Salih bertarikh 1297 M. Dalam hikayat ini diceritakan tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan mengirimkan sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa suatu saat akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita tentang proses penganutan Islam oleh raja Samudra: Marah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri padanya dan sekonyong meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan Islam serta sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.

Cerita yang kurang lebih sama juga ditemui dalam Sejarah Melayu. Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman Raja Malaka. Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya, demikian pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya cara mengucapkan dua kalimat syahadat.

Hal yang unik justru terjadi pada kitab Babad Tanah Jawi. Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu ditandai dengan adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita pengislaman Jawa yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi memberikan kesan suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.

Naskah Babad Tanah Jawi menuturkan tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (wali sanga). Di sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis yang mengacu pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama kisah di dalamnya.

Dari keseluruhan historiografi tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal penyebaran agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar kemungkinan hal ini dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi agama Islam untuk masuk ke Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam akan lebih sahih jika dibawa dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.

Kembali kepada persoalan diskursus teori klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu sebagai dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke Nusantara.

Juga perlu dicatat kiranya tentang dua dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah satu naskah yang berisi tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap hal-hal yang diperdebatkan, kemudian naskah dinisbahkan oleh G.W.J. Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh Bari.

Naskah kedua berisi tentang primbon yang berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid ulama terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus mencerminkan mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan kelak Islam di Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa selanjutnya mendorong munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX dan XX.

Dalam historiografi Indonesia, teori klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal itu bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang mengintervensi penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet Muljana yang pernah mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar Islam. Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran yang memiliki banyak varian. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana.

Pelarangan versi Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina dalam peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang saat itu, sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah Islam Nusantara.

Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan fakta bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang ditulis Sumanto tidak dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru tumbang. Namun sejauh mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan secara jelas. [BONNIE TRIYANA]

Retrieved from: http://www.majalah-historia.com/berita-289-islam-arab-atau-islam-cina.html

Monday, September 5, 2011

Indonesian Islam: A History in the Making with Prof. Michael Laffan



2010 Spring Lecture Series
March 31, 2010, 01:00 PM (Johnson Center 3rd Floor, Meeting Room F)

It is often said that Indonesian Islam can lay claim to a special tradition of tolerance and syncretism unparalleled in the Muslim world. In this talk, based on Dr. Michael Laffan’s forthcoming book, The Makings of Indonesian Islam, Dr. Laffan suggests that such a narrative is the result of a specific period of interaction between Dutch colonial scholarship and Islamic reformist scholarship during the late nineteenth-century. Such an engagement also includes confrontation between the European colonial power and various Sufi orders in Indonesia. Dr. Laffan's motivation for his research stems from his

"dissatisfaction or frustration whenever the topic of Indonesian Islam comes up. Because whenever people say 'Indonesian Islam' it conjurs up [images and ideas] of a more ironic Islam [and] of a more tolerant Islam."

He also argues the story of Indonesian Islam is not dominated by one narrative and its ending is not yet determined.

Michael Laffan is an Assistant Professor at Princeton University’s Department of History. He teaches on Southeast Asia and is interested in the intersections of colonialism and Islamic discourse in the region across the 19th and 20th centuries.

Retrieved from: http://vimeo.com/14247370

Saturday, September 3, 2011

Islam Aboge, Ajaran Warisan Raden Rasid Sayid Kuning

KOMPAS/MUHAMAD BURHANUDIN

Jemaah Islam Aboge di Desa Sawangan, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, saat menggelar kenduri seusai Salat Id tahun 2010.

Kompas, Kamis, 1 September 2011 | 09:10 WIB

KOMPAS.com - Hari ini, Kamis (1/9/2011), penganut Islam Aboge baru merayakan Hari Raya Idul Fitri 1432 H. Ratusan orang menggelar Salat Id di sejumlah masjid di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Di Kabupaten Banyumas terdapat ratusan penganut Islam Aboge yang tersebar di sejumlah desa, antara lain Desa Cibangkong (Kecamatan Pekuncen), Desa Kracak (Ajibarang), Desa Cikakak (Wangon), dan Desa Tambaknegara (Rawalo). Selain itu, di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, juga terdapat ratusan penganut Islam Aboge.

Penganut Islam Aboge atau Alif-Rebo-Wage (A-bo-ge) merupakan penganut aliran yang diajarkan Raden Rasid Sayid Kuning. Perhitungan yang dipakai aliran Aboge telah digunakan para wali sejak abad ke-14 dan disebarluaskan oleh ulama Raden Rasid Sayid Kuning dari Pajang.

Para penganut Islam Aboge meyakini, dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim Akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari dengan hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.

Dalam hal ini, hari dan pasaran pertama pada tahun Alif jatuh pada Rabu Wage (Aboge), tahun Ha pada Ahad/Minggu Pon (Hakadpon), tahun Jim Awal pada Jumat Pon (Jimatpon), tahun Za pada Selasa Pahing (Zasahing), tahun Dal pada Sabtu Legi (Daltugi), tahun Ba/Be pada Kamis Legi (Bemisgi), tahun Wawu pada Senin Kliwon (Waninwon), dan tahun Jim Akhir pada Jumat Wage (Jimatge).

Terkait penetapan 1 Syawal 1432 H, tokoh masyarakat Islam Aboge, Sulam, Kamis (1/9/2011), mengatakan, hal itu berdasarkan cara perhitungan yang telah diyakini sejak ratusan tahun silam.

Menurutnya, penganut aliran Aboge meyakini jika tahun 1432 H merupakan tahun Ba/Be dengan tanggal 1 Muharam jatuh pada hari Kamis pasaran Legi sehingga muncul hitungan Bemisgi (tahun Be-Kemis/Kamis-Legi).

Menurut dia, hitungan Bemisgi tersebut selanjutnya menjadi patokan perhitungan untuk menentukan hari-hari penting lainnya di tahun Be ini. "Kamis merupakan hari pertama di tahun Be. Demikian pula Legi merupakan pasaran pertama di tahun Be," katanya.

Untuk menetapkan 1 Syawal, kata dia, penganut Aboge menggunakan rumusan Waljiro (Syawal-Siji-Loro) yang berarti 1 Syawal pada hari pertama dengan hari pasaran kedua yang diturunkan dari hitungan Bemisgi. Dengan demikian, kata dia, 1 Syawal 1432 H bagi penganut Islam Aboge jatuh pada hari Kamis Legi, 1 September 2011.

Dari hitungan tersebut, penganut Islam Aboge juga sudah menetapkan, 1 Syawal 1433 H bagi penganut Islam Aboge akan jatuh pada hari Senin Legi, 20 Agustus 2012.

Hari ini Sulam baru pertama kali menjadi imam dalam Salat Id di Masjid Saka Tunggal menggantikan ayahnya yang telah lanjut usia, yakni Kiai Sopani. "Kami, para penganut Islam Aboge saat ini hanya berusaha meneruskan ajaran dari leluhur," katanya.

Ia menuturkan, hanya sebagian generasi muda Islam Aboge yang masih mempertahankan tradisi leluhur. Kata dia, para generasi muda komunitas Islam Aboge sedang berada dalam persimpangan jalan, yakni meneruskan ajaran leluhur atau mengikuti ajaran Islam yang berkembang di masyarakat secara umum.

http://regional.kompas.com/read/2011/09/01/09100193/Islam.Aboge...Ajaran.Warisan.Raden.Rasid.Sayid.Kuning

Friday, September 2, 2011

Kudi Pacul, Ritual Lebaran Islam Aboge

Taufik Budi - SUN TV
OkeZone.com, Jum'at, 2 September 2011 00:05 wib
detail berita
Yatbani bersama Istri melakukan ritual Kudi Pacul. (Foto: Taufik Budi/SunTV )

BLORA - Warga Islam aliran Aboge di Blora, Jawa Tengah, mempunyai cara tersendiri untuk merayakan Lebaran Idul Fitri yang baru jatuh pada hari ini. Mereka menggelar selamatan dan ritual Kudi Pacul, yakni menjamas alat-alat pertanian.

Ritual dilakukan dengan mengumpulkan satu per satu alat-alat pertanian, berupa sabit, parang, linggis, dan cangkul, yang ditumpuk di atas keranjang bambu yang terbalik. Selain itu benda pusaka, seperti keris dan tombak, juga berada di atas keranjang tersebut.

Seperti yang dilakukan oleh seorang penganut Islam Aboge, Sastro Wijoyo Yatbani, warga Dukuh Jagong, Desa Pengkoljagong, Kecamatan Doplang.

Saat ditemui, Kamis (1/9/2011), lelaki berusia 90 tahun ini sedang melakukan ritual tersebut. Menyan, kembang tujuh rupa dibakarnya di atas tumpukan alat pertanian, dan benda pusaka.

Untuk menyempurnakan ritual Kudi Pacul, Yatbani juga menggelar selamatan berupa nasi tumpeng. Nasi tumpeng itu sebagai perlambang wujud syukur kepada Tuhan.

Dituturkan Yatbani, Kudi Pacul merupakan cara warga Islam Aboge merayakan Idul Fitri. Ritual ini dilakukan warga Islam Aboge secara turun temurun.

Kudi Pacul, merupakan bentuk penghargaan, tidak hanya kepada manusia, namun juga kepada mahluk lain. Warga Islam Aboge meyakini, kehidupan manusia di dunia tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan mahluk lain yang gaib.

Agar tidak mengganggu kehidupan manusia, Warga Aboge juga melakukan tabur bunga di lahan pertanian maupun tempat lain yang dianggap menjadi tempat tinggal mahluk gaib.

Warga Islam Aboge berpandangan, ritual Kudi Pacul dapat mendatangkan berkah keselamatan. (hri)

Wednesday, August 10, 2011

Mehamahami Islam Nusantara Melalui Manuskrip dan Kitab: Sebuah Refleksi

Oleh Oman Fathurrahman
-------
Disampaikan dalam saresehan “Penguatan Kajian Islam Nusantara” di Lakpesdam PCINU, Kairo, Mesir, Kamis 21 Juli 2011
------

“…It is works such as these that the Muslim elite wrote for themselves and each other. It is from a study of such works in their regional settings that a clearer and perhaps more worthy understanding of Islam in Southeast Asia may be won…” (Johns 1976: 55).

Mempertimbangkan perkembangan kajian-kajian Islam Nusantara, hingga kini ada bidang kajian yang sesungguhnya potensial dan menarik tetapi belum mendapat perhatian serius dari kalangan akademisi kajian Islam (Islamic studies). Bidang tersebut adalah kajian Islam yang berbasiskan pada manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.

Yang dimaksud dengan manuskrip di sini adalah semua rekaman informasi yang ditulis tangan oleh seseorang tiga sampai empat ratus tahun yang lalu. Pengertian ‘manuskrip’ dalam konteks ini merupakan lawan kata dokumen yang diproduksi melalui mesin cetak atau alat sejenis.

Berdasarkan penelitian awal atas sejumlah koleksi, manuskrip Islam Nusantara memang dijumpai dalam jumlah besar, dan ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, Sunda, Wolio, dan lainnya, selain tentu saja manuskrip berbahasa Arab. Umumnya, secara fisik manuskrip-manuskrip tersebut kini dalam kondisi memprihatinkan dan sangat rentan mengalami kemusnahan, baik karena faktor alam maupun akibat kecerobohan manusia.

Kajian terhadap manuskrip-manuskrip Islam Nusantara mempunyai beberapa keuntungan strategis sekaligus:

Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan masyarakat Muslim lokal, karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan bahasa Arab, ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makasar-Mandar, Jawa & Jawa Kuna, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuna, Ternate, Wolio, Bahasa-bahasa Indonesia Timur, Bahasa-bahasa Kalimantan, dan Bahasa-bahasa Sumatra Selatan, sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam ‘jalan pintas’ untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal di Nusantara, yang tentunya menjadi kekayaan intelektual tersendiri.

Kedua, kajian atas manuskrip-manuskrip Islam Nusantara dengan sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian (preservation) benda cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan, kebangsaan, dan menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu.

Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Nusantara bukanlah wilayah pinggiran (peripheral part), melainkan bagian tak terpisahkan (integral part), dari dunia Islam secara keseluruhan.

Sejarah Kebudayaan Indonesia selama berabad-abad telah mewariskan khazanah tertulis berupa manuskrip-manuskrip Nusantara yang jumlahnya sangat berlimpah. Merujuk pada Undang-undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, sebuah manuskrip tulisan tangan dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya bila telah berusia minimal 50 (lima puluh) tahun, serta memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.

Kandungan isi manuskrip Nusantara sendiri memang sangat luas dan tidak terbatas pada kesusastraan saja, tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, politik kesultanan, resolusi konflik, adat istiadat, obat-obatan, teknik, dan lain-lain, sehingga akan sangat relevan sebagai bahan pengetahuan umum dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Sejumlah upaya inventarisasi dan katalogisasi berkaitan dengan dunia pernaskahan Nusantara yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa kategori manuskrip keagamaan Islam (Islamic manusripts) terdapat dalam jumlah besar, dan dijumpai dalam berbagai bidang keilmuan Islam, seperti tafsir, hadis, tauhid, fikih, tasawuf, kalam, dan lain-lain.

Terbukti pula bahwa jaringan lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti surau di Minangkabau, dayah di Aceh, dan pesantren di Jawa, ternyata juga menyimpan khasanah manuskrip keagamaan Islam tersebut dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Melayu, Jawa, Sunda, dan bahasa-bahasa lokal Indonesia lainnya.

Dalam konteks masyarakat akademik internasional, manuskrip Islam telah mendapatkan perhatian besar, baik untuk bidang pelestariannya sebagai benda cagar budaya, maupun sebagai sumber primer penelitian dan kajian. The Islamic Manuscript Association (TIMA) yang bermarkas di Cambridge University, UK, misalnya, merupakan salah satu asosiasi akademik terkemuka yang mendapatkan dukungan finansial penuh dari the Prince Alwaleed Bin Talal Centre of Islamic Studies untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas akademik, seperti konferensi internasional, scholarship, grant, penelitian, penerbitan, dan berbagai aktifitas lainnya.

Sayangnya, cakupan aktifitas TIMA tampaknya belum menjangkau khazanah manuskrip Islam Nusantara, yang sesungguhnya diakibatkan oleh kurangnya informasi dan publikasi internasional berkaitan dengan kekayaan warisan peradaban Islam Nusantara tersebut. Ada beberapa kemungkinan mengapa informasi tentang kekayaan khasanah manuskrip Islam Nusantara ini belum banyak diketahui:

Pertama, kurangnya penelitian-penelitian yang mendalam tentang kekayaan khazanah manuskrip Islam Nusantara oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri yang sesungguhnya memiliki pengetahuan memadai, baik berkaitan dengan bahasa lokal yang digunakan maupun substansi keilmuan di dalamnya;

Kedua, mungkin saja sudah ada sejumlah kajian yang telah dilakukan, namun hasil kajian tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian dikomunikasikan menggunakan bahasa dunia akademik internasional;

Ketiga, belum adanya sebuah pusat kajian Islam yang memberikan perhatian pada kajian manuskrip Islam Nusantara secara komprehensif, dikelola secara profesional, serta melakukan kajian terus menerus, dan akhirnya dapat dijadikan sebagai rujukan para sarjana dalam mengkaji manuskrip Islam Nusantara;

Keempat, masih minimnya dukungan finansial untuk upaya-upaya pelestarian khasanah manuskrip Islam Nusantara semacam ini, sehingga minat masyarakat akademik untuk menekuninya pun sangat rendah dan mengalami kendala.

Dalam hal ini, banyak sarjana Muslim Nusantara yang sesungguhnya memiliki potensi untuk masuk dalam kajian Islam Nusantara yang berbasiskan pada manuskrip tersebut, setidaknya karena dua alasan:

Pertama, para sarjana Muslim Nusantara merupakan sumber daya manusia (human resources) yang memiliki potensi besar dalam memadukan kajian bidang-bidang keislaman dengan bidang umum termasuk Budaya dan Humaniora. Potensi tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa sebagian mereka berasal dari sebuah komunitas yang memiliki akar keilmuan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah, sehingga sangat menguasai topik-topik yang dibahas dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.

Kedua, banyak sarjana Muslim Nusantara memiliki kemampuan bahasa yang banyak digunakan dalam manuskrip, yakni bahasa Arab. Apalagi berbagai manuskrip dalam bahasa daerah pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (Jawi dan Pegon), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat penting. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas manuskrip-manuskrip Islam tersebut, sehingga tidak mengherankan jika puluhan ribu manuskrip Nusantara berbahasa Arab lebih banyak “ditelantarkan”.

Karenanya, melalui refleksi ini, sangat besar harapan bahwa di masa mendatang, berbagai hasil inventarisasi yang terbukti berhasil menunjukkan peradaban tinggi Islam Nusantara, dapat memicu dilakukannya berbagai kajian Islam Nusantara melalui manuskrip dan kitab yang pernah ditulis oleh para pengarang masa lalu, sehingga para sarjana pribumi dapat mengembangkan sendiri kesarjanaan berstandar internasional di bidang kajian manuskrip Islam Nusantara tersebut. Semoga!


Retrieved from: http://naskahkuno.blogspot.com/2011/08/memahami-islam-nusantara-melalui.html

Wednesday, August 3, 2011

Wetu Telu: Mixture of islam and adat

Islam Wetu Telu is a religion in which Islamic influences have been mixed with older elements of animism and ancestral worship. The number of Wetu Telu-followers on Lombok is hard to number: the religion is not officially recognized in the census. Estimations say that there are about 30,000 Wetu Telu supporters.

The relations between the Wetu Telu-followers and the more orthodox Sasak-Muslims (Wetu Lima), especially the conservative sect Nahdatul Wahtan, have never been good, and the first were periodically pressured to conform to more 'respectable' form of islam. What happened is that the religion of the Wetu Telu now takes place illegally, in fear of actions only a few want to tell they support the religion.

Balinese Hinduism, Buddhism, Catholicism, Islam, Protestantism and Confucianism are the six religions which are formally recognized. The first of the five 'ground rules', on which the Indonesian constitution is bases tells: 'Believe in one almighty God'. Non-monotheistic religions - like ancestor worshiping - are officially discouraged. The Balinese Hinduism is a special case; by means of doctrinal nice talks the hindu-gods were brought together in one god, Sang Hyang Widi.

For the Islam Wetu Telu, 1965 was the 'year of living dangerously' (tahun vivere pericoloso; the expression is from Soekarno) an important year. In the chaos that followed on the failed coup d'etat by six generals, supporters of the communist party were killed across the archipelago , on accusation of involvement in the coup.

Who didn't belong to a recognized religion had the risk to be seen as an 'atheist', similar to 'communist'. During the terror of 1965, several orthodox Sasak Muslims described Wetu Telu as an 'unacceptable' religion, with several drastic consequences. In different locations in Indonesia, there were non-recognized religions as well, for example on West-Sumba, on Kalimantan and Papua. There it lacked fanatics which wanted to start killing; there no people were killed.

The orthodox Islam on Lombok

In the 19th century, purist reforms took place in the Arabic world, which were copied on Lombok by Sasak pilgrims which had been to Mecca and Medina. Upset by the slackness of their fellow inhabitants they tried to purify their religion by suppressing all sings of animism and by praising strict Quranic rules. On Lombok, the Islam also had a political side, which caused the Sasak in the east to unite against the Balinese rulers in the western part of the island.

Around the turn of the century (1900), when the Dutch took over colonial power, the colonial government demanded the slow down of fanatic Sasak-Muslims. The Islamic reforms from the end of the 19th and the start of the 20th century faded away into friendly persuasion. They aimed at local developments of the religious school system Muhammadiyah, which brought strongly orthodox Islamic students.

After the war and the independence, the Nahdatul Wahtan-movement was founded, which had it's base in Selong, the capital of the district East-Lombok. This organization, lead by Haji Zainuddin Abdul Majid, was especially founded to battle the Wetu Telu. Haji Zainuddin got much influence during the drought of 1966 when he helped out the hungry with rice which came from the soils from his followers. With his cooperation, the then government party (GolKar) managed to get an overwhelming majority in the elections of 1971 and 1977.

Religious Controversies

Islam Wetu Telu is a mixture of adat (traditional uses and believes) and a superficial layer of Islam. The religion concludes a high level of respect for nature and her gifts, as well as village ancestors and other spirits. The most important rituals take place when using new fields, births, circumcisions, weddings and funerals. The followers share the rules of the Wetu Telu, but on details there are reasonable differences, which relate with the different traditions in different part of the islands. All this is something which orthodox Muslims don't like, as well as the fact that Islam entered Lombok via Bayan, one of the main important locations of Wetu Telu. But they also don't like the old palm-leaf manuscript which describes the missionaries which introduced Islam.

The lontar tells that Pangeran Senopati brought islam to Lombok and his oldest son founded the Wetu Lima, while his youngest son founded the Wetu Telu. The followers of the oldest son were struck by all kinds of bad luck, illnesses and hunger. That's why the Wetu Lima rules were put in a iron box and thrown into the sea. Next everyone was blessed by Allah, after which they lived in prosperity.

The orthodox Muslims bring up doctrine complaints that the Wetu Telu supporters don't pray five times a day and that some only fast for three days during Ramadan. Supporters of the Wetu Telu (lit. Thee times Islam) often do things in three ways; they believe in three fundamental rules (obedience to God, the leaders of the community and parents) and know three fundamental transitional rites (birth, lift and death).

Habits of the Wetu Telu

The penghulu (religious leader) of Bayan, Pak Raden Singaderia, the ritual life of the Wetu Telu is all about ceremonies to honor the ancestors, naming the children, weddings, funerals, the construction of new houses and the creation of new sawah's. Once a year there is a homage to the old mosque Bayan Beleq. The exact age is not known by the penghulu; he pointed to Raden Kosari in Jakarta, which is said to determine age by smelling it.

The ritual cycle of the Wetu Telu contains eight year. The most important ceremony in this period i the Alip-festival, in which the 'Highest Being' is honored. This festivity is written about by anthropologist J. van Baal in his book 'The Alip Festival in Bayan'.

Pak Raden Singaderia showed a document which names several of the special things of the Wetu Telu-adat. The bridal treasure for a woman with royal blood demands the following: 650,000 kepeng (old Chinese coins which a square hole in the middle), seven water buffalo's, a big basket of rice with another 244 kepeng and 25 javelins.

The text tells about three kinds of infringements against communal habits, of which the least severe is punished by a fine of 10,000 kepeng, the more severe with a fine up to 49,000 kepeng. A infringement which falls under the category 'criminal offence', is entering the private areas of a woman without permission. When a woman speaks with someone else than her husband in the night after the marriage, then se commits the same 'crime'. 'Heavy criminal offences' are also: harassing a woman by a man until she cries for help; a man which is caught with a woman which is not his wife; parents which force their daughter too much to marry someone of their choice.

Shortly after the introduction of Islam in the 16th century several residents which didn't want to adopt the new religion fled to the mountains to life the way their ancestors did. These people, called Boda, are influenced by local ancestor worship as well as by Hinduism. They settled in the mountains of North-Lombok and several villages in the south;. Maybe the Boda were the ancestors of the current Wetu Telu supporters.

When the Balinese took power over Western Lombok in the 18th century, the local Sasak were integrated in the different layers of the population of the rulers. The Wetu Telu participated in Balinese rituals, which were more related with their original religion than the Islamic; they married with their conquerors and adapter voluntary to the subak-system, which regulated the division of water for irrigation of the rice fields.

Even nowadays there are several similarities between the Balinese Hinduism and Wetu Telu: sacrifices to and the worship of ancestors, whether or not in the form of mountains, some high trees, sources, waterfalls and unusual rock formations and living in harmony with nature. Some supporters of Wetu Telu and members of the Balinese minotiryu on Lombok see Gunung Rinjani as the house of ancestors and the most powerful spirits, among them the 'Highest Being'. The Balinese bring sacrifices to the volcanic lake of Rinjani and some Wetu Telu supporters spend three nights on the mountain with full moon to gain some spiritual power.

Last revised on December 14, 2009

Retrieved from: http://indahnesia.com/indonesia/LOMWET/wetu_telu.php

Sunday, July 3, 2011

Komunitas Wetu Telu Islam Yang Unik Di Lombok

Sabtu, 29 September 2007 00:00 Budi Kurniawan

Indonesia adalah negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia. Namun agama Islam dijalankan dengan berbagai cara oleh sejumlah komunitas.

Seperti komunitas Wetu Telu Islam yang tinggal di kaki gunung Rinjani, Lombok.

Mereka menggabungkan animisme kuno dengan Islam. Budi Kurniawan mengunjungi komunitas itu belum lama ini dan laporannya disampaikan Sri Lestari.

Suara Kiai Kagungan melantunkan ayat Qu’ran dengan logat Sasak yang kental, membahana di sebuah desa yang sejuk di kaki Gunung Rinjani. Sore itu ia sedang memimpin upacara Roh Sambi atau syukuran panen padi.

Upacara berlangsung khidmat di atas sawung Iranof, si empunya hajat.

“Artinya syukuran. Padi sudah dimasukan ke lumbung, diselamatkan. Syukuran. Tujuan sykuran mengumpulkan keluarga. Acaranynya beersama-sama. Acaranya seperti ini. Teman-teman, keluarga kumpul.”

Untuk acara syukuran hari itu, Iranof memotong 6 ekor ayam dan membawa semua hasil palawija untuk dimasak. Acara Roh Sambi itu ia gelar sekali dalam setahun.

Upacara Roh Sambi adalah salah satu acara adat yang selalu dilakukan masyarakat Suku Sasak. Ada banyak lagi upacara adat lain, seperti upacara syukuran kelahiran, perkawinan, sampai lingkungan.

Islam diperkenalkan di daerah in sekitar abad ke-16. Dan kini komunitas itu menggabungkan anemisme dengan Islam. Orang-orang menyebutnya Islam Wetu Telu.

Mereka juga setia merawat berbagai tradisi yang bertahun-tahun diturunkan oleh nenek moyang mereka. Termasuk juga berbagai kearifan lokal yang ada di dalamnya.

Namun oleh orang luar, istilah Wetu Telu seringkali diartikan sebagai waktu tiga. Hal ini karena mereka dianggap hanya mengerjakan sholatnya tiga waktu saja.

Beda dengan umat Islam umumnya yang mengerjakan sholat lima waktu. Belum lagi dengan banyaknya ritual adat yang mereka lakukan.

Komunitas Islam Wetu Telu kerap dipandang sesat dan tidak sempurna Islamnya.

Raden Gedarip, pemangku adat di Bayan menjelaskan.

“Wetu Telu menghayati Islam sama dengan Islam yang biasa. Artinya yang dianggap Islam sejati atau Islam yang sempurna, yaitu yang mengerjakan sembahyang lima kali sehari. Sedangkan adat ini hanyalah adat dunia saja. Artinya memperbaiki kekurangan yang ada di dunia untuk mencapai kemakmuran di dunia. Itu saja upacara yang terlalu banyak dianut adat Wetu Telu ini.

Jadi Wetu Telu bukan berarti Sholat 3 kali sehari. Wetu Telu berarti tiga kemunculan, yakni beranak, bertelur, dan tumbuh. Proses-proses itulah yang membentuk dunia.

Bahkan karena tudingan sesat itu, pada masa Orde Baru, Komunitas Wetu Telu pernah mengalami intimidasi. Mereka pernah dipaksa tobat dan memeluk Islam sebagaimana Islam umumnya. Raden Gedarip, pemangku adat di Bayan.

“Pernah dipanggil tokoh adat Wetu Telu, termasuk oleh Kodim. Di masa Orde Baru. Mengatakan begini. Tapi dijawab -saya juga termasuk dipanggil. ‘Kita kan orang Islam.’ Cuma kalau bapak yang mengatakan ini kurang baik kurang beres, silahkan. Kami menerima saja. Mereka waktu itu nanya? Supaya adat Wetu Telu tidak ada lagi. harus agama melulu yang dilaksanakan.”

Menurut Raden Gedarip, waktu itu kyai-kyai Wetu Telu dikumpulkan jadi satu di sebuah mesjid. Di sana mereka diceramahi tentang Islam yang benar versi pemerintah saat itu.


Setelah itu mereka dipaksa keluar pemahaman Islam Wetu Telu.

Budayawan Lombok, Agus Faturrahman, mengatakan kepercayaan Wetu Telu telah ada di masyarakat Sasak sejak lama, sebelum agama Islam masuk.

Dulu, agar Islam diterima masyarakat setempat, para penyebar agama Islam saat itu menyebarkannya melalui ajaran Wetu Telu.

“Umumnya masyarakat Nusantara, memiliki kepercayaan awal. Dan kepercayaan awal inilah yang dikendarai Islam. Nah di masyarakat Sasak ada kepercayaan Wetu Telu. Ini yang digunana Islam masuk dengan naskah-nakah Sufisme, seperti naskah Jati Swaera, naskah Tapal Adam, naskah Nur Sane, Nur Cahye Nursade. ini naskah-naskah Sufisme yang diadaptasi dari naskah Jawa.”

Islam Wetu Telu nampaknya akan terus bertahan.

Namun, sementara saya berjalan di beberapa desa terdekat, warga menyebut komunitas Islam Wetu Telu sebagai tidak Islami.

Tapi Raden Sawinggih, 30 tahun mengatakan, generasinya masih mempertahankan upacara kuno. Dia menaksir 80 persen warga di Bayan saat ini masih menganut Islam Wetu Telu.

Zaman sudah berbeda, listrik dan televisi telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari komunitas Wetu Telu. Namun, mereka masih menjalankan upacara budaya seperti yang dilakukan pada sore hari tadi.

Terakhir Diperbaharui ( Rabu, 24 Februari 2010 15:36 )

http://asiacalling.kbr68h.com/in/arsip/1169-lomboks-unique-wetu-telu-islam