Local Variants of Islam in Indonesia: Minority Religions and Religious Sects with Islamic Origin or Influence
Wednesday, August 11, 2010
Menemukan Kembali Islam Autentik Indonesia
Oleh Azhari Akmal Tarigan
Salah satu perkembangan Islam Indonesia yang menarik untuk dicermati, khususnya setelah era reformasi adalah kemunculan Islam radikal, Islam Fundamental, Gerakan Salafi Militan atau Islam garis keras. Islam radikal muncul tidak saja dalam bentuk pemikiran yang kaku (rigid) dan tekstualis, tetapi juga menjelma menjadi sebuah gerakan yang bersifat massal. Fenomena Islam radikal sesungguhnya tidak dikenal dalam sejarah perkembangan Islam Indonesia. Di dalam buku-buku teks sejarah Islam Indonesia –sepanjang yang penulis ketahui- kita tidak akan menemukan pembahasan berkenaan Islam radikal dengan segala variasinya. Berbeda tentunya dengan aliran sesat atau aliran yang diduga sesat, yang memang sejak lama telah muncul di Indonesia. Tidaklah mengherankan, jika banyak pengamat Islam terhenyak menyaksikan fenomena yang benar-benar baru ini.
Berangkat dari tela’ah historis, penulis ingin menyatakan, Islam radikal atau Islam garis keras sebenarnya bukanlah aliran yang tumbuh dari rahim peradaban Islam Indonesia. Berbagai penelitian yang telah dilakukan banyak ahli, Islam radikal merupakan gerakan dari luar (Timur Tengah dan Afghanistan) yang selanjutnya masuk ke Indonesia. Bahkan banyak gerakan Salafi militan (GSM)–istilah yang dipakai oleh M. Syafi’i Anwar- yang memiliki pusat organisasi bukan di Indonesia tetapi di luar negeri. Contoh yang cukup dekat di sini adalah HTI. GSM lebih tepat dilekatkan kepada HTI ketimbang sebutan Islam radikal apa lagi Islam garis keras. Tanpa disadari, ketimbang gerakan Islam lainnya, HTI lebih menunjukkan gerakan yang menarik bagi banyak orang. dalam hal-hal tertentu, HTI tampil dengan sangat simpatik.
Lepas dari itu, Penulis ingin menyebut dua penelitian penting berkenaan dengan geneologi Islam radikal Indonesia. Pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Greg Fealy dan Anthony Bubablo yang berjudul, Joining the Caravan: The Middle East, Islamism and Indonesia. Oleh penerbit Mizan buku ini diterjemahkan menjadi, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2007). Di antara kesimpulan yang diberikan oleh Greg Fealy adalah sebagai berikut: “Beragam aliran dalam Islamisme dan neofundamentalisme menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Sebagian besar gagasan ini sering diimpor oleh kelompok Islamis Indonesia dalam rangka mencari model pemikiran baru tentang hubungan antara Islam, politik, dan masyarakat atau model aktivisme yang betul-betul baru. Beragam mekanisme telah berfungsi sebagai vektor-vektor yang membawa gagasan-gagasan ini, dari mahasiswa Indonesia yang melakukan studi di Timur Tengah hingga kalangan Jihadis yang turut berjuang di Afghanistan pada era 1980-an dan 90-an, dan bahkan hingga sumber informasi Islamis yang berkembang di internet dan TV satelit. Namun vektor-vektor ini telah berfungsi memediasi transmisi beragam gagasan, dari pemikir ikhwan al-muslimin yang lebih mainstream hingga salafisme Jihadis Al-Qaeda”.
Pernyataan di atas menunjukkan paling tidak tiga hal penting. Pertama, Islam radikal, neo fundamentalis, Islam garis keras, Islam militan atau sederetan nama lainnya bukanlah gerakan asli Islam Indonesia. Gagasan yang membentuk warna Islam tersebut adalah sesuatu yang diimpor dari luar Indonesia. Kedua, jika ditelusuri geneologinya, maka setidaknya ada dua poros geneologi Islam Radikal; Timur Tengah khususnya gerakan ikhwan al-muslimin dan mantan pejuang di Afghanista era 1980-1990-an. Ketiga, proses transformasi ideologi Islam garis keras atau setidaknya inspirasi Islam garis keras juga diperoleh lewat jaringan tekhnologi, seperti internet dan TV satelit. Termasuk juga di dalamnya buku-buku yang menyuarakan Islam kaffah, jihad, kehebatan Islam dan sebagainya.
Buku kedua adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh M Zaki Mubarak yang berjudul, Genealogi Islam Radikal Di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2008). Buku ini sesungguhnya berasal dari tesis penulis di Program Migister Ilmu Politik FISIP UI yang pada awalnya berjudul, “Islam Fundamentalis Radikal: Gerakan dan Pemikiran FPI, Laskar Jihad, Majlis Mujahidin dan Hizbut Tahrir Indonesia” Tahun 1998-2003. Senada dengan buku Greg Flealy di atas, bagi Zaki Mubarak, geneologi Islam Radikal juga dapat ditelusuri sampai ke Timur Tengah. Gerakan-gerakan ikhwanul Muslimin, Wahabiyah, Hizbul Islam, adalah organisasi yang memberikan isnpirasi bahkan motivasi bagi Islam Radikal di Indonesia. Tidak itu saja, muslim Indonesia yang ikut berjuang di Afghanistan juga memberi warna bahkan sangat dominan bagi terbentuknya Islam radikal dan Islam garis keras di Indonesia. Zaki malah mencatat, pengakuan Ja’far Umar Thalib sebagai Panglima Laskar Jihad sendiri mengakui kemampuan teknik kemiliteran yang dimilikinya adalah hasil didikan selama berada di Afghanistan bersama kelompok mujahidin. (hal. 351).
Dua buku di atas menurut penulis cukup memadai untuk menyebut gerakan Islam radikal atau Islam fundamental Indonesia sebagaimana yang kita saksikan saat ini adalah sebuah gerakan yang diimpor dari luar. Satu sisi, jika kita berbicara tentang Islam Indonesia, tentu tidak ada yang autentik. Alasannya, Islam itu sendiri adalah agama yang turun di Timur Tengah tepatnya di Makkah yang selanjutnya menyebar ke saentero dunia, termasuk di Indonesia. Namun jika kita bicara negara yang paling sedikit mengalami Arabisasi, Indonesia adalah jawabannya.
Dengan kata lain, penulis ingin mengatakan, Islam Radikan merupakan sebuah gerakan yang paling sedikit dipengaruhi oleh “alam dan kultur Indonesia” kendatipun ia tumbuh dan beraktivitas di sini. Berbeda dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama serta beberapa ormas lainnya, yang meskipun sedikit banyaknya dipengaruhi oleh Islam Timur Tengah, namun bentuk dan warnanya sangat bernuansa Indonesia. Pada NU misalnya, kita dapat melihat bagaimana Islam bertemu dengan budaya Jawa lalu akhirnya membentuk ciri khas sendiri. Demikian juga Muhammadiyah ketika bertemu dengan “alam Miangkabau” yang memiliki karakter dinamis. Bagi saya sulit menjawab, budaya Indonesia manakah yang mempengaruhi gerakan Islam Radikal di Indonesia?
Bagi penulis adalah penting untuk menemukan kembali Islam autentik Indonesia. Tentu saja tidak menafikan gerakan Islam radikal sekalipun. Islam Radikal sebagaimana ormas lainnya, memiliki hak yang sama untuk hidup di Indonesia. Namun bagi penulis, sangat berbahaya jika Islam Radikal yang mendominasi dan membentuk warna Islam Indonesia. Sebabnya hanya satu, Indonesia bukan negara Islam. Indonesia adalah negara yang sangat plural baik dari segi suku, agama dan ras. Apa yang terjadi jika Islam radikal mendominasi bahkan menguasai gerakan Islam Indonesia. Penulis khawatir saja, mudah-mudahan salah, akan terjadi disharmonisasi antar kehidupan umat beragama. Bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan disintegrasi bangsa.
Oleh sebab itu, melihat Indonesia yang sangat pluralistik, gerakan Islam Indonesia yang relevan pada masa depan adalah gerakan yang selama ini diperankan oleh NU, Muhammadiyah, Al-Washliyah dan ormas lainnya. Secara sederhana ormas-ormas ini mengusung Islam kultural, Islam yang damai dan sejuk namun dinamis. Sayangnya, hari ini semuanya tenggelam dalam buritan sejarah dan tidak lagi mampu menyuarakan seperti apa yang diperjuangkan Islam Radikal. Salah satu sebabnya adalah ormas-ormas Islam lebih tertarik untuk terjun pada “dunia politik” ketimbang memikirkan umat.
Mereka sibuk mengurusi diri sendiri dan melupakan masalah mendasar bangsa. Jangan heran, jika banyak orang yang melihat perjuangan Islam radikal lebih jelas dan tegas. Kalaupun kita ingin mengkritik Islam radikal itu hanya menyangkut cara yang mereka gunakan. Islam radikal kerap menggunakan cara-cara kekerasan dan cenderung memaksakan kehendaknya. Jika cara ini dirobah menjadi lebih santun dan sejuk, penulis yakin, organisasi Islam Radikal jauh lebih diminati ketimbang Ormas Islam yang “gagal” tersebut. Wallahu A’lam.
Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah IAIN-SU Medan dan Koordinator Tim Penulis Tafsir UTS Sumatera Utara.
Retrieved from: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=22733:menemukan-kembali-islam-autentik-indonesia&catid=33&Itemid=98 (August 11, 2010)
Monday, August 9, 2010
Ahmad Suaedy dan Ekspresi Islam Indonesia
Oleh M Zaid Wahyudi*
Islam di Indonesia memiliki ciri khas berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Lingkungan multikultur sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya Islam Indonesia membuat Islam tampil menjadi nilai dan pandangan hidup yang erat dengan tradisi lokal.

Kondisi inilah yang melahirkan ekspresi Islam Jawa, Islam Banjar, Islam Minangkabau, Islam Ternate, dan berbagai ekspresi lainnya yang selaras dengan budaya setempat.
Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID Institute, meyakini semua ekspresi Islam di seluruh dunia, termasuk di Arab Saudi, tidak dapat dipisahkan dengan budaya dan tradisi lokal daerah atau negara. Karena itu, Islam yang ada di Timur Tengah merupakan ekspresi Islam yang lekat dengan budaya Arab.
Munculnya Islam dengan ekspresi yang penuh kekerasan sehingga dicap sebagai Islam radikal atau Islam fundamental juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh radikalisme yang muncul di setiap negara. Garangnya citra Islam di Afganistan dan Palestina tidak terlepas dari konflik yang terus-menerus mendera kedua wilayah itu.
Ekspresi Islam Indonesia sendiri cukup beragam. Nilai-nilai Islam di Indonesia berpadu dengan tradisi lokal, sehingga melahirkan corak Islam yang khas pada setiap suku bangsa.
Damainya ekspresi Islam Indonesia, juga tidak terlepas dari proses penyebarannya yang melalui jalur perdagangan dan budaya. Di Jawa, Wali Sanga mengajarkan Islam dengan mengubah istilah-istilah yang kental nuansa Arab dengan anasir-anasir lokal yang mudah dipahami masyarakat tanpa menghilangkan esensi ajaran Islam sendiri, seperti istilah puasa dengan shaum.
Islam di Indonesia selama ratusan tahun juga mampu hidup berdampingan dengan berbagai keyakinan yang ada, mulai dari berbagai jenis aliran kepercayaan lokal hingga agama-agama besar dunia lainnya. Kondisi multikultur ini melahirkan Islam yang terbuka dengan pengaruh dari negara-negara lain. Kondisi ini jelas terlihat dalam arsitektur sejumlah masjid tua di Indonesia, yang memadukan arsitektur gaya Hindu, Cina, India, Persia, maupun Arab.
Keterbukaan Islam Indonesia juga berlangsung hingga kini dengan bebas masuknya berbagai pemikiran keislaman ala Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Asia Selatan. Kondisi inilah yang seharusnya mendorong Muslim Indonesia untuk turut menyebarkan Islam khas Indonesia ke seluruh penjuru dunia.
”Islam Indonesia menjadi sangat kontekstual untuk dikembangkan saat ini. Sebuah ekspresi Islam yang damai, dialogis, dan multikultural,” kata Suaedy.
Islam Indonesia memang sangat kurang terpublikasi ke dunia internasional. Bahkan, di tingkat Asia Tenggara pun, publikasi tentang Islam Indonesia kalah dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura.
Literatur ekspresi Islam lokal Indonesia sangat jarang, termasuk dalam skripsi hingga disertasi mahasiswa jurusan agama. Jarang cendekia Indonesia yang mengungkap kearifan dan cara pandang pemimpin agama maupun tradisi lokal umat Islam Indonesia.
Dalam literatur global, Islam di Timur Tengah masih menjadi acuan utama. Para cendekia Barat masih memandang Islam dari penampilan formalnya sehingga ekspresi Islam non-Arab dianggap sebagai bagian dari kultur lokal, bukan bagian dari ekspresi Islam yang telah beradaptasi dengan nilai-nilai lokal.
”Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, ekspresi Islam justru tidak pernah diapresiasi,” katanya.
Kurangnya publikasi Islam Indonesia sebenarnya sejalan dengan perkembangan kondisi ekonomi, teknologi informasi, kualitas manusia, serta tingkat pendidikan masyarakat Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia cenderung lebih suka menjadi konsumen, termasuk dalam mengekspresikan keagamaannya dan membuat gerakan Islam.
Kondisi ini harus didobrak agar Indonesia tidak sekadar menjadi konsumen terhadap segala produk luar negeri, termasuk dalam pemikiran. Sikap rendah diri yang membuat segala sesuatu dari luar negeri dianggap lebih baik harus diubah.
”Islam Indonesia harus mampu menguasai teknologi dan kemodernan lainnya sehingga bisa mewartakan ekspresi Islam Indonesia ke seluruh dunia,” katanya.
Indonesia sebenarnya memiliki cukup potensi untuk menyebarkan ekspresi Islam Indonesia ke seluruh dunia. Pesantren, kelompok masyarakat madani, perguruan tinggi agama milik pemerintah, dan sejumlah ormas Islam merupakan sumber daya besar yang dapat digunakan untuk menggaungkan Islam Indonesia.
Namun, lembaga pendidikan dan kelompok masyarakat madani itu masih sangat sedikit yang menghasilkan karya-karya tentang Islam Indonesia. Mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Timur Tengah pun sulit mengembangkan Islam khas Indonesia. Hal itu terjadi karena selama di Indonesia mereka kurang dibekali dengan pemahaman tentang Islam Indonesia.
Akibatnya, saat belajar di Timur Tengah, mereka lebih banyak mengadopsi pemikiran Islam Timur Tengah. Pengadopsian itu—seperti juga yang dilakukan terhadap pemikiran Barat maupun Timur lainnya—takkan menimbulkan masalah jika dibarengi dengan kultur Indonesia.
Pemerintah perlu lebih serius menyikapi kondisi ini. Perkembangan pemikiran di Indonesia yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa dapat mendorong disintegrasi bangsa akibat diabaikannya multikulturalisme dan pluralisme.
”Sebagai bagian dari nilai budaya, pengekspresian Islam ala Timur Tengah yang tidak disesuaikan dengan tradisi Indonesia dapat mengganggu tatanan sosial yang ada,” lanjut Suaedy.
Tekanan
Selain sulit untuk mengampanyekan Islam ala Indonesia ke luar negeri, di dalam negeri pun Islam Indonesia banyak mengalami tekanan. Banyak kelompok umat Islam yang hanya menjadi distributor dari pemikiran dan ekspresi Islam di luar Indonesia untuk diterapkan secara mentah. Distribusi pemikiran dan ekspresi Islam luar negeri ini terentang luas, mulai dari Islam yang radikal fundamental hingga Islam yang liberal progresif.
”Yang liberal progresif ingin mengekspresikan Islam seperti di Eropa atau AS, sedangkan yang radikal fundamental ingin ber-Islam dengan gaya Timur Tengah atau Afganistan. Semua sama-sama menafikan nilai-nilai keislaman lokal,” ujar Suaedy.
Bagi sebagian kalangan, Islam Indonesia dianggap bukanlah Islam yang murni seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Islam Indonesia dianggap sudah terkontaminasi dengan berbagai tradisi lokal yang sudah telanjur dicap tidak Islami.
Menurut Suaedy, kondisi itu akibat adanya kesenjangan antara Islam sebagai gagasan yang ideal dan Islam yang menghadapi realitas sosial. Kelompok yang menganggap Islam Indonesia tidak murni selalu ingin menampilkan Islam ala Timur Tengah yang dianggap murni. Kampanye Islam yang dianggap murni itu tanpa disadari telah turut menyebarkan kultur budaya Timur Tengah yang berbeda dengan kultur di Indonesia.
Inspirator
Pandangan keagamaan Suaedy tak terlepas dari pemikiran mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Abdurrahman Wahid. Konsep ”pribumisasi Islam” yang senantiasa didengungkan Wahid dinilai Suaedy sebagai konsep Islam yang lengkap.
Pribumisasi Islam merupakan sebuah konsep Islam yang menyatukan Islam, masyarakat, dan negara bangsa. Padahal, dalam berbagai pemikiran dan literatur Barat yang ada, ketiga pilar itu sering diulas terpisah.
”Konsep inilah yang mengajarkan bagaimana menjadi orang Indonesia yang beragama Islam dan orang Islam yang asli Indonesia. Konsep ini juga memadukan berbagai nilai-nilai budaya modern, seperti HAM, sehingga tidak diperlukan istilah HAM Islam,” lanjutnya.
Suaedy besar di pesantren. Ia menamatkan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah di Pesantren Islahiyah Kediri. Setelah itu, ia kembali ke Kebumen dan mengulang pendidikannya mulai dari kelas I SMP. Ia melanjutkan ke madrasah aliyah di Kebumen sambil nyantri di Pesantren Lirap. Di kedua pesantren di Kebumen itu, ia khusus mempelajari Nahwu dan Shorof yang mengkaji tata bahasa Arab.
Dunia pesantren yang tradisional membuat Suaedy kecil tidak terlalu banyak mengenal bacaan dan literatur Islam modern. Perkenalannya dengan berbagai pemikiran Islam kontemporer dimulai ketika dirinya kuliah di Jurusan Tafsir Hadits Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Pemikir Islam lainnya yang ia kagumi antara lain almarhum Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, hingga Masdar F Mas’udi. Sedangkan pemikir mancanegara yang mengilhami pemikirannya antara lain Hassan Hanafi dari Mesir dan Fazlul Rahman dari Pakistan.[]
** Wartawan Kompas
Kosakata Arab dalam Bahasa Indonesia
Tempo, 09 Agustus 2010
Agung Y. Achmad
WartawanKEHADIRAN para saudagar Arab di bumi Nusantara, yang diperkirakan terjadi sejak abad pertama Masehi, telah meninggalkan jutaan kosakata. Kata-kata Arab ini di kemudian hari menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Sejarah panjang kontak dagang dan akulturasi antara para saudagar Arab dan masyarakat Melayu di bumi Nusantaralah yang membentuk kenyataan itu.
Asimilasi budaya selalu mengandaikan intensitas peristiwa linguistik. Dari sana, lahirlah kosakata, istilah, dan nomenklatur baru hingga akhirnya jutaan kosakata Arab berhasil memperkaya bahasa Melayu. Penetrasi damai kultur Arab, terutama melalui perkawinan di bumi Nusantara, merupakan penjelasan tak terpisahkan tentang bagaimana proses pengayaan nomenklatur Arab terhadap bahasa Melayu itu berlangsung secara mulus.
Hatta, ketika wilayah Nusantara menjadi sebuah negara modern pada 1945, nomenklatur Arab konon telah mengisi sekitar 30 persen khazanah kosakata Indonesia. Karena itu, wajarlah bila ada anggapan bahwa keberadaan bahasa Melayu merupakan bukti sejarah pengaruh bahasa dan kultur di Asia Timur. Kosakata seperti sultan, wajah, ikrar, kimia, dunia, dan zaman menjadi bagian dari bahasa Indonesia karena pengaruh bahasa Arab. Jutaan kosakata itu kini telah menjadi kesepakatan bersama masyarakat bahasa di negeri heterogen ini, tak hanya bagi kalangan muslim. Bahasa adalah salah satu unsur pembentuk peradaban yang mampu melintasi sekat-sekat identitas tertentu semisal agama.
Belakangan, kontak peradaban itu membawa nomenklatur Islam. Dalam catatan Azyumardi Azra (2002), kontribusi Islam cukup besar dalam memajukan perkembangan historiografi (baca: historiografi linguistik-pen.), karena ajaran agama tersebut mampu membangkitkan kesadaran sejarah masyarakat Nusantara. Tidak hanya menyerap kosakata baru, bahasa Melayu juga memperkaya bahasa Arab, setidaknya melalui terminologi kafur. Bahkan, dalam Al-Quran kata itu disebut, yakni pada surat Al-Insan ayat 5: "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kapur."
Dalam suatu orasi ilmiah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 11 Desember 2001, Nurcholish Madjid menyebutkan, "... Yang dimaksud 'kafur' di situ adalah kapur dari Barus (Tapanuli Tengah-pen.), yang saat itu sudah merupakan komoditas yang sangat penting di Timur Tengah, bahkan ada indikasi sejak zaman Nabi Sulaiman." Karena itu, adalah hal normal belaka bila kata kafur masuk ke kesadaran linguistik masyarakat Arab-basis bahasa Al-Quran-kala itu.
Namun fakta historis yang elok itu kini mengalami kemunduran dalam spirit kultural. Ada tren "puritanisme" dalam penggunaan kata serapan bahasa Arab-Islam. Kata "shalat", misalnya, sering ditulis orang sesuai makhraj dalam bahasa asalnya dan tidak kursif. Padanan "shalat" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah salat. Ada kesan bahwa penulisan adzan dan akhlaq-tidak miring-itu lebih utama secara makna ketimbang menyajikan kata azan atau akhlak.
Media massa Indonesia umumnya tidak melakukan koreksi yang berarti terhadap kekeliruan itu. Sulit dijumpai di surat kabar kosakata baku seperti bidah, insaf, zalim, musala, atau duafa. Hampir semua lembaga Islam juga mengukuhkan kecenderungan tersebut. BAZIS, umpamanya, lazim ditulis sebagai akronim Badan Amal Zakat Infaq Shadaqah (lihat www.bazisdki.go.id). Gejala tersebut tentu saja kontraproduktif bila mengingat pertemuan peradaban Arab-Melayu telah menghasilkan jutaan kosakata dan istilah yang mencerminkan simbol-simbol sosio-antropologis masyarakat Nusantara.
Simak penggunaan kata "silaturahim", dan bukan silaturahmi (KBBI), misalnya. Saya pernah bertemu seorang sarjana lulusan sebuah universitas di Madinah yang membenarkan penggunaan "silaturahim" itu. Cara berbahasa semacam itu bisa dijumpai pada hampir semua media atau buku Islam yang ditulis tidak dalam semangat kultural atau tinjauan akademik memadai.
Padahal, sang sarjana itu, sebagaimana jutaan masyarakat Indonesia penggemar sepak bola, permisif terhadap nama Zlatan Ibrahimovic. Semua mafhum, di dalam tubuh pemain di klub Barcelona itu mengalir darah (baca: kultur) Iran dan Cekoslowakia (Eropa Timur), sebagaimana Zainuddin Yazid Zidan yang, lantaran pertautan budaya Aljazair dan Prancis, disapa Zinedine Zidane, atau seperti Mohammed "Momo" Sissoko dan Franck "Bilal" Riberry lantaran latar belakang kultural mereka masing-masing.
Fenomena "Ibrahimovic" yang khas Indonesia dalam berbagai variasi pendekatan (fonetis dan morfologis) juga banyak, seperti Dawam Rahardjo, Thamrin Tamagola, Mochtar Lubis, Dul, Hanapi, atau Saepudin. Nama-nama tersebut sulit diingkari bukan hasil dari asimilasi budaya.
Sunday, August 8, 2010
Hermeneutika Otentisitas atau Politik Identitas?
Judul: Mencari Islam Autentik dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, Penulis: Robert D Lee, Penerjemah: Ahmad Baiquni, Penerbit: Mizan, Bandung, Edisi: Februari 2000, Tebal: 279 halaman termasuk indeks.
KETIKA kemajuan sebuah kebudayaan dituntut agar setia dengan karakter primordialnya, maka tema tentang "hermeneutika otentisitas" bergaung keras di situ. Sebuah problem tentang cara memahami tradisi dan kemampuan direktifnya bagi kehidupan masa kini.
Bagaimanakah menghadapi perubahan zaman berdasar konsepsi diri yang otentik, yang setia pada warisan tradisi? Bagaimana pula warisan tradisi harus diaktualisasi sebagai orientasi nilai bagi masa kini?
Persoalannya adalah (orang semacam M Arkoun paham betul hal ini) bahwa tradisi bukanlah sehimpun norma yang dapat dengan gampang ditunjuk. Ibarat rambu, tradisi adalah tanda yang acuannya tidak tentu, remang dan kabur. Makna dari tanda itu tergantung pada siapa yang menafsirkannya. Dan itulah soalnya: penafsiran. Maka, ketika ada banyak tafsir tentang tradisi, ada beragam versi tentang otentisitas Islam, manakah di antaranya yang paling benar? Apakah suatu tafsir dapat menjadi lebih unggul dibanding yang lainnya, dan apa kriterianya? Ataukah tradisi harus tetap terbuka dan biarlah muncul pluralitas tafsir tentangnya? Lalu, bila demikian, mana tafsir yang otentik dan mana yang tidak?
Sayangnya, setiap tafsir memiliki kecenderungan yang sama untuk menjadi otoriter dan intoleran. Penafsiran ternyata bukan cuma soal pemahaman dan rumusan; tetapi juga seleksi dan penyisihan. Dalam kata-kata Michel Foucault, penafsiran adalah proses yang mesti dijelaskan "melalui apa, atau siapa, yang ia kecualikan atau tidak dibenarkan masuk".
Dalam proses tersebut, sejumlah kemungkinan makna segera disingkirkan. Dan satu pengertian tertentu, yang menguntungkan, ditahbiskan sebagai kebenaran. Kwok Pui Lan, sebagaimana dikutip SJ Samartha (1994), menyebutnya sebagai "politik kebenaran". Sebuah hujah bahwa tentang tafsir landasannya tidak pernah terbatas pada level epistemologis semata, namun lebih pada konteks relasi-relasi kuasa yang ada dan beroperasi dalam masyarakat. Jadi jelasnya, ihwal penafsiran ini cenderung merupakan soal "siapa yang berkuasa menafsirkan" ketimbang soal "kebenaran penafsiran" itu sendiri.
Jika demikian, apakah damba akan keotentikan dan hasrat untuk realisasi diri, ini menjadi sesuatu yang sia-sia? Cuma soal pemaksaan kehendak pihak yang lebih kuat?
Apakah setiap pencarian otentisitas akan selalu berarti "politik identitas" yang berakhir pada pertentangan secara antagonistik? Ataukah ada sebuah hermeneutika tentang otentisitas yang membawa semua keragaman tafsir ini pada wilayah dialog dengan melalui pengkajian yang bersifat kritis dan reflektif?
BUKU Robert D Lee ini menarik karena berhasil menempatkan problem otentisitas di kalangan umat Islam sebagai problem yang bersifat universal dan plural; tidak khas Islam dan tidak pula tunggal dan linear. Dengan begitu, pengalaman Islam dapat ditempatkan sebagai bagian dari diskusi yang lebih luas tentang problem sejenis yang di Barat sendiri sudah dibicarakan semenjak dua abad lalu.
Hal ini sekaligus dapat meloloskan Lee dari stereotip konvensional Barat tentang Islam yang biasa memahami fenomena itu sebagai fenomena tunggal dalam kategori-kategori semacam tradisionalisme, fundamentalisme, bahkan reaksionisme.
Dalam bukunya Lee mengulas empat pemikir Muslim yang dianggapnya paling menonjol menyuarakan tema otentisitas ini, yaitu M Iqbal, Ali Syariati, Sayyid Qutb, dan M Arkoun. Keempat pemikir ini menurut Lee telah berupaya menegakkan kembali landasan-landasan religius untuk membangun kehidupan yang bermakna, efektif dan modern, serta mengonstruksi masyarakat.
Kendati begitu, keempatnya mendapati bahwa tak satu pun model Islam yang dominan saat ini, entah Sunni atau Syiah, mampu memenuhi tugas ini. Mereka semua mengkritik pemikiran arus utama itu karena kekolotan, fragmentasi, dan ketakacuhannya terhadap persoalan kehidupan modern.
Bagi Iqbal, otentisitas harus berpangkal pada kesadaran individu sebagai kesadaran yang unik. Keotentikan mengimplikasikan bahwa pencarian kebenaran harus dimulai dari pengalaman manusia dalam keunikannya yang tak berhingga. Penekanan pada keunikan ini justru dapat mengantarkan pada sumber semua individualitas, yakni Tuhan.
Kedua "iman" ini bagi Iqbal tidaklah bertentangan tetapi justru saling memperkuat: kebenaran Islam lahir dari kesesuaiannya dengan intuisi potensi diri untuk mengada secara otentik. Dengan kata lain, Islam merupakan jalan yang dengannya seseorang dapat menemukan keunikan dan universalitasnya. Dengan menemukan esensi "diri", seseorang menemukan wujud yang ia miliki bersama dengan Tuhan dan semua makhluk lainnya.
Sama dengan Iqbal, Qutb juga berpandangan bahwa penyelesaian problem otentisitas membutuhkan transformasi diri dan masyarakat. Bedanya, Iqbal berkonsentrasi pada bagian pertama permasalahan itu: pemulihan eksistensi diri dari bahaya kepasifan, stagnasi, ritualisme dan dominasi asing. Qutb, sebaliknya, atau kelanjutannya, menggarap masalah transisi dari pemulihan individu menjadi dominasi masyarakat. Dia berusaha mendorong kelompok untuk melakukan tindakan dan menjabarkan alasan rasional bagi kelompok untuk melakukan revolusi melawan masyarakat yang telah ada. Dengan demikian bagi Qutb titik tolaknya bukanlah keunikan diri atau ego tetapi "fitrah" manusia; keumuman kodrat dan bukan individuasi. Setiap orang cuma perlu kepekaan terhadap totalitas alam, bukannya pemahaman terhadap ego, untuk merasakan insting religius. Melalui fitrah yang seragam inilah manusia akan memberikan tanggapan yang serupa dengan menyerahkan kemampuannya untuk mengikuti kehendak Allah.
Sementara itu, posisi Syariati dalam memandang problem otentisitas penuh dengan ambiguitas dan kontradiksi --sesuatu yang bukan mencerminkan kekurangannya sebagai pribadi melainkan tingginya tingkat kesulitan upaya yang digelutinya. Sama dengan semua penganjur keotentikan, Syariati memandang pentingnya penelusuran terhadap akar-akar budaya sendiri sebagai dasar bagi pemahaman diri dan landasan bagi aksi massa.
Untuk itu Syariati melakukan telaah terhadap figur-figur sejarah Syiah dan peristiwa-peristiwa keagamaan seperti haji sehingga orang-orang Iran bisa memiliki model yang lebih detail, lebih bernuansa bagi perilaku "otentik". Metode Syariati adalah induktif tetapi hasilnya adalah pemikiran yang sangat abstrak dan umum tentang ihwal kondisi manusia.
Namun, di atas semua ini, Syariati mesti dipandang sebagai seorang internasionalis, seseorang yang karya-karyanya merupakan ajakan bagi penemuan kembali pertalian manusia melalui penjelajahan atas akar-akar kebudayaan yang berbeda. Meskipun penekanannya adalah tradisi Islam, khususnya warisan budaya Syiah, namun tujuan dan sasaran Syariati tetaplah pembebasan, bukan saja bagi Syiah atau Muslim pada umumnya saja, namun bagi umat manusia dari semua jenis, kebudayaan dan keimanan.
Dimensi "universal" ini semakin menonjol dalam model otentisitas yang ditawarkan Arkoun. Ketimbang mencari landasan otentisitas ini pada penggalan-penggalan historis Islam secara semena demi sebuah kenyamanan ideologis, Arkoun mengajak untuk kembali pada apa yang disebutnya "fakta Quran".
Dari sini Arkoun menunjukkan pada kerangka pemahaman yang lebih umum, yaitu kesamaan instingtif religius bukan saja di antara masyarakat-masyarakat Muslim namun dalam masyarakat-masyarakat Ahli Kitab secara keseluruhan. Jadi, Arkoun memandang wahyu sebagai hal yang fundamental, tetapi ia memaksa kita untuk tidak menelaah tradisi Islam secara ekslusif melainkan dalam konteks wahyu yang diterima Ahli Kitab dan dalam konteks fenomena wahyu pada umumnya.
MELALUI uraiannya atas konsep otentisitas menurut keempat pemikir Muslim tersebut, Robert D Lee berhasil menunjukkan geliat kaum Muslim dalam ikhtiarnya untuk tetap otentik dan pada saat yang sama menjadi modern. Lee juga berhasil menyusun tema-tema yang dibicarakan dalam konsep otentisitas itu secara rinci dan mengonstruksikannya sebagai sebuah dialog tentang problem kemanusiaan uniersal, bukan saja di antara umat Islam sendiri tetapi juga seluruh umat manusia.
Kendati begitu, ada beberapa persoalan yang dibiarkan tetap terbuka oleh Lee, misalnya, soal dilema esensialisme dan kecenderungan untuk menjadi landasan universal yang membayangi keempat konsep keotentikan tersebut. Padahal, klaim otentisitas menuntut keunikan ketimbang universalitas, kekonkretan daripada abstraksi, dan keragaman ketimbang kesatuan. Menurut Lee, pencarian keotentikan akhirnya terjebak pada paradoks pengesahan dimensi-dimensi yang bertentangan dengan tuntutan otentisitas itu sendiri. Dilema otentisitas adalah bagaimana bisa menjadi diri sendiri tanpa harus menolak pluralitas dan mengesampingkan "unsur lain". Apakah ini berarti bahwa otentisitas harus berakhir pada relativisme karena setiap orang adalah "anak haram sejarah", seperti kata Salman Rushdie. Apakah otentisitas harus menyediakan keragaman tanpa batas; sebuah (dalam kata-kata Rushdi lagi) "perayaan pemblasteran dan mempertakuti kemutlakan Kemurnian".
Setiap pencarian otentisitas rupanya selalu dibuntuti oleh dilema-dilema yang terus menggayut.
Retrieved from: http://media.isnet.org/islam/Etc/Otentisitas.html (August 8, 2010)Wednesday, July 28, 2010
Mencari yang Autentik
SEJARAH manusia dimulai dengan pertumpahan darah ketika dorongan ambisi dan iri hati tumpah ke segala arah mengalahkan jiwa yang bersih. Qabil mengawali tragedi klasik itu ketika membunuh saudara kembarnya, Habil, yang memutus matarantai generasi terbaik Adam alaihissalam di muka bumi.
Tragedi Qabil dan Habil ini membenarkan sebagian tafsir tentang watak anak cucu Adam yang bernama manusia sebagaimana dicemaskan malaikat, yang suka berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, ketika Allah memaklumatkan untuk menjadikan khalifah di muka bumi. Allah mengabadikan kisah buram Bani Adam ini dalam Al-Quran ayat ke 27, 29, 30, dan 31 Surat Al-Maidah sebagai ibrah bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.
Dengki dan ambisi Qabil bergelora menyaksikan saudara kembarnya memperoleh pasangan yang cantik dan sukses bekerja sebagai pemerah susu sapi, sehingga membangkitkan naluri primitifnya untuk melenyapkan karier hidup saudara kembarnya sendiri. Hawa nafsu Qabil telah mendorong dirinya begitu mudah membunuh, demikian penegasan Tuhan dalam Al-Quran (QS 5: 30).
Nafsu fuzara ( jahat ) telah mengalahkan jiwa muttaqa ( baik ). Nafsu yang tidak siap berkompetisi secara sehat menyaksikan saudaranya menggapai keberuntungan sehingga harus dipotongnya dengan cara biadab. Dari tragedi Qabil itulah lahir inspirasi paling klasik dan primitif tentang sebuah model perilaku menghalalkan segala cara demi meraih tujuan dalam pergumulan hidup anak cucu Adam sepanjang zaman di persada dunia ini.
Keberagamaan autentik
Tuhan sungguh memuliakan anak cucu Adam. Karena itu, Adam dan generasi keturunannya diberi amanat untuk menjadi khalafah di muka bumi. Manusia pun berbeda dari binatang dan makhluk Tuhan yang lain, diberi anugerah rohani dan akal pikiran agar pandai menimbang-nimbang segala perilaku dan tindakannya. Allah bahkan Mahakasih Sayang kepada manusia sehingga diturunkan Rasul dan Kitab Suci untuk membimbingnya ke jalan yang benar dan tidak terperosok pada jalan sesat. Tapi, manusia sering menyia-nyiakan Rahman-Rahim dan anugerah Tuhan itu, lalu terperosok pada tindakan-tindakan nista.
Karena itu, diperlukan ikhtiar terus-menerus untuk membangkitkan kembali dua fitrah terpenting dalam diri manusia itu, agar tidak liar seperti perilaku Qabil. Pertama, fitrah yang melekat dalam diri manusia, yakni al-qalbu al-salim ( hati yang autentik ) yang diberikan manusia sejak awal ( fitrah maqbulah ). Fitrah yang kedua ialah Kitab Suci sebagai fitrah yang diturunkan Tuhan melalui Nabi ( fitrah munajalah ) selaku pedoman hidup manusia. Keduanya harus dirawat dan ditumbuhsuburkan sehingga selalu menjadi pelita hidup yang mencerahkan. Jangan biarkan hidup meluap hanya dengan dorongan-dorongan primitif yang liar ke segala arah.
Bawalah agama pada setiap langkah dan pengambilan keputusan hidup. Agama jangan dibawa hanya ketika selaras dengan kepentingan, sementara ketika tak sejalan kemudian ditinggalkan. Agama bukan hanya urusan ilmu pengetahuan, tetapi tak kalah pentingnya adalah keyakinan dan tindakan. Tidak sedikit orang yang ilmu agamanya paripurna plus segala atribut gelar dan kehormatan, tetapi laku dan langkahnya jauh panggang dari api. Lisan berkata indah tentang nilai-nilai agama, tetapi perbuatan tak menggambarkan keberagamaan yang autentik. Inilah bentuk sekularisme terselubung. Bryan R Wilson telah lama meyakini bahwa sesungguhnya sekularisme yang mutlak itu tidak pernah ada dan agama di negeri-negeri sekuler sekalipun tetap hidup sebagai pilihan. Weber menyuarakan etika Protestan sebagai bentuk inspirasi agama dalam perkembangan kapitalisme, yang mengandung pengakuan akan fungsi agama bagi kehidupan modern. Islam pun kini mekar di negeri-negeri Barat, yang menunjukkan antitesis sekularisme.
Namun, ada peringatan dini dari Naisbitt. Melalui Megatrends 2000 Naisbitt mengingatkan tentang hadirnya spiritualitas agama yang melampaui formalisme agama. Bahwa di alam modern dan kehidupan dunia yang semakin kompleks saat ini diperlukan fungsi agama yang masuk ke jantung hati manusia, bukan sekadar melekat di kulit luar. Agama yang hadir secara substantif, yang dapat menjiwai denyut nadi kehidupan, sekaligus melahirkan model perilaku yang autentik dan utama. Bukan yang manis di bibir dan retorika, tetapi miskin rohani dan tindakan.
Rohani autentik
Ketika manusia berperilaku buruk dan jahat, sesungguhnya tindakan itu mengoyak fitrahnya yang autentik. Manusia itu pada dasarnya makhluk yang utuh dan mulia, lebih-lebih bagi orang beriman. Tapi, sering memerosokkan dirinya pada kehinaan hingga jatuh diri, fi-asfala safilin. Sabda Nabi, dalam diri manusia itu terdapat segumpal darah, apabila gumpalan itu dibersihkan maka bersihlah seluruhnya, sebaliknya manakala kotor maka kotorlah seluruh dirinya, itulah kalbu atau hati-nurani.
Kalbu manusia pada dasarnya juga bersih, bahkan mengandung potensi fitrah yang bening dalam sinar ke-Ilahian. Namun, sering karena berbagai situasi dan gelora nafsu yang tak terbendung, akhirnya kebeningan kalbu dikalahkan oleh seribu satu ambisi hawa nafsu sehingga manusia terperosok pada tindakan-tindakan anarkis dalam hidupnya. Manusia menjadi tidak manusiawi lagi. Manusia menjadi kehilangan autentisitas diri dan fitrahnya. Akhirnya, terjadi paradoks dalam perilaku manusia.
Formal beragama, berilmu agama, dan bernurani tetapi substansial kehilangan makna dan fungsi yang sublim atau bening. Kalbu atau hati nurani yang hidup sekadar berornamen luar laksana spiritualitas kembang api, tetapi menusuk ke jantung terdalam pada nurani yang autentik. Lahiriah bicara fasih tetang kebaikan, tetapi praktiknya jauh panggang dari api. Lisan indah berkata-kata tentang ikhlas dan ihsan, tetapi tindakan penuh kalkulasi matematika duniawi. Retorika agama melambung hingga ke angkasa raya, sementara bumi tempat berpijak kering makna hakiki karena demikian meluapnya orientasi hidup serba indrawi. Lalu, agama dan iman pun kehilangan kecerdasan rohaniahnya yang paling autentik atau fitri.
Karena itu, rohani beragama tampaknya penting untuk dicerdaskan dan dicerahkan kembali. Rohani yang cerdas tidak memancarkan spiritualitas kembang api, tetapi melahirkan kekayaan perilaku yang mempraktikkan kebaikan, kebenaran, dan keutamaan yang nyata. Menyisihkan duri di jalan, sabda Nabi, adalah bentuk dari iman. Bukan malah menyebarluaskan duri di sepanjang jalan kehidupan. Duri bukan sekadar fisik, tetapi dapat bermakna simbolis sebagai segala bentuk laku dan tindakan yang merusak tatanan kehidupan. Korupsi, menindas, menghalalkan segala cara, dan segala bentuk perilaku buruk adalah duri bagi kehidupan yang berlawanan dengan rohani yang fitri.
Rohani yang cerdas dan cerah memberi inspirasi pada otak, intelektualitas, dan psikomotor untuk berbuat ihsan kepada sesama. Ihsan yang fitri, yang tidak kulit luar dan dibuat-buat. Ihsan yang melahirkan amal saleh dan amal sahih, yang tidak berhenti di lisan dan retorika. Ihsan yang memancarkan perilaku baik, tulus, jujur, terpercaya, kata sejalan tindakan, halus budi, berkarakter kuat, peduli, dan berbagai tindakan ma’ruf dalam hidup. Bukan perilaku yang nifaq, lain di mulut lain di laku, kasar, buruk sangka, iri, dendam, menghalalkan segala cara, dan berbagai tindakan munkar dalam hidup.
Rohani yang cerdas dan cerah tidak membiarkan otak dan tindakan liar, yang oleh Allah disebut berperilaku hewaniah yang sesat. Rohani yang melahirkan kelembutan dan kedamaian, bukan kekerasan. Rohani yang toleran terhadap perbedaan, dengan tetap merawat iman dan prinsip hidup. Rohani yang melahirkan jalan lurus, yang ingin meraih sukses tanpa harus bertindak zalim terhadap sesama.•••
ØØØ
Dari : Refleksi Republika, Ahad, 25 Juli 2010
Monday, July 19, 2010
Studi Islam, Kristen dan Orientalisme di Negeri Barat
Mengapa Anda merasa perlu belajar Islam ke Barat?
Saya punya beberapa alasan. Pertama, selama ini banyak kalangan beranggapan studi Islam di Barat lebih unggul dibanding Timur Tengah, terutama dalam hal metodologi. Nah, saya ingin membuktikan sendiri sejauh mana kebenaran asumsi tersebut. Apakah itu sekedar mitos, atau kenyataan. Kedua, saya juga ingin membuktikan apakah benar yang sering dikatakan selama ini, bahwa orientalis mengkaji Islam untuk menghancurkannya. Nah, agar tidak dituduh bersikap a priori oleh para pendukung orientalis, saya merasa perlu mempunyai pengalaman sendiri, ‘first-hand experience’, bahwa saya pernah belajar sama orientalis. Ini penting, agar tidak kena kata pepatah “man jahila syay’an ‘âdâhu”, orang yang belum mengenal sesuatu cenderung memusuhinya. Terakhir, untuk legitimasi dan otoritas. Sebab, diakui atau tidak, bangsa kita masih percaya kalau ‘jebolan’ luar negeri, apalagi Amerika atau Eropa, maka lebih faham, lebih menguasai, lebih qualified ketimbang lulusan dalam negeri atau lulusan Timur Tengah. Karena itu, menurut saya, ada untungnya kalau kita pernah studi di Barat, terutama ketika menghadapi para pengagum Barat yang arogan dan merasa ‘superior’. Seperti kata hadis, sombong kepada orang sombong adalah sedekah.
Apa sih sebenarnya yang Anda pelajari di sana?
Rencana semula saya mau belajar paleografi dan filologi, khususnya yang berkaitan dengan tehnik dan seluk-beluk penyuntingan manuskrip, Handschriftkunde istilahnya. Sekaligus mempelajari metodologi riset orientalis. Untuk itu saya rencana mau mengedit kitab Abkâr al-Afkâr karya Sayfuddin al-Amidi, yang juga pengarang kitab al-Ihkâm fi Ushûli l-Ahkâm. Jadi, dirâsah wa tahqîq, gitu lah. Sebagian besar manuskripnya sudah saya teliti waktu di Istanbul. Namun rencana tersebut berubah, karena belakangan saya dapat info, ternyata kitab tersebut sudah diterbitkan di Kairo. Akhirnya saya memutuskan untuk mengkaji satu bagian saja dari kitab tersebut, yakni Qa’dah ke-4, seputar masalah-masalah teologi. Saya beruntung, karena pembimbing saya, Professor Hans Daiber, tidak banyak ‘cing-cong’ soal topik dan judul yang saya pilih.

Anda belajar dengan orientalis. Apa tidak terpengaruh?
Pengaruh apa dulu? Kalau yang Anda maksud pengaruh positif, seperti keseriusan dan ketelitian dalam mengkaji suatu masalah, justru saya harapkan. Tapi kalau pengaruh negatif, seperti sikap arogan, double-standard, pedantik, reduksionistik, biased dan lain sebagainya yang melatarbelakangi berbagai asumsi dan pendapat mereka, tentu saya berharap tidak. Memang tidak sedikit yang terpengaruh, bahkan mengusung dan menyebarkan pikiran-pikiran dan gagasan mereka setelah kembali ke tanah air. Contohnya cukup banyak. Namun yang ‘kebal’ terhadap ‘virus’ mereka pun banyak juga. Misalnya, Syaikh Abdul Halim Mahmud lulusan Sorbonne, Muhammad Mustafa al-A’zami lulusan Cambridge, atau Syed Muhammad Naquib al-Attas lulusan London. Mereka ini justru sangat kritis terhadap tulisan dan pandangan orientalis. Jadi, sebenarnya masalah terpengaruh atau tidak, menurut saya, tergantung orangnya. Kalau kita ‘ignorant’, tidak mengerti tentang agama kita sendiri dan buta akan tradisi intelektual kita, apalagi kalau sudah mengidap penyakit ‘inferiority complex’ alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian mereka. Ulâ’ika alladzîna isytrawû dh-dhalâlata bi l-hudâ. Pendek kata, jangan sampai seperti istrinya Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh tukang sihir.


Menurut pengamatan Anda, bagaimana kondisi kajian Islam/orientalis di sana?
Kalau di Barat secara umum, yakni Eropa, orientalisme dalam arti kata kajian terhadap kebudayaan dan peradaban Timur telah bermula ribuan tahun yang lalu, paling tidak semenjak terjadi kontak dan interaksi antara orang-orang Yunani (Greek) dengan orang Mesir kuno, Babylonia dan Persia. Di abad Pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari karya-karya ilmuwan Islam. Ex Oriente Lux, kata mereka: Cahaya berasal dari Timur. Lalu sejak zaman Renaissance, orientalisme meluas skupnya, tapi menyempit tujuannya. Sejak itu yang mereka pelajari tidak hanya bahasa, agama dan peradaban Mesir kuno, Parsi, Zoroaster, Arab dan Islam (yang mereka namakan Timur Dekat), tapi juga bahasa dan peradaban India dan Cina (yang mereka sebut Timur Jauh) dengan agama Hindu dan Buddha-nya. Namun motif dan tujuannya menyempit: sebagai alat dan senjata untuk menjajah, menguasai dan mempengaruhi objeknya, yakni bangsa dan peradaban Timur. Slogan mereka tersimpul dalam 3 G: gold, god and glory. Jadi ada motif ekonomi, politik, dan agama di situ. Maka lahirlah orang-orang semacam Snouck Hurgronje, Goldziher, Noeldeke, Caetani, Zwemmer, Torrey, Lammens, Schacht, Wansbrough, Jeffery dan Luxenberg. Mereka ‘take and give’ dengan penguasa dan gereja. Saya yakin sampai sekarang pun motif-motif semacam itu masih ada, kalau bukan justru dipelihara, meskipun manifestasinya tidak se‘vulgar’ dulu. Belakangan cara mereka lebih halus. Contohnya karya Gerald Elmore, The Concept of Sainthood in the Fullness of Time, terbitan E. J. Brill, Leiden. Buku ini penampilannya luar dalam ‘wah’, tetapi isinya beracun. Pembaca digiring pada kesimpulan bahwa Ibnu Arabi sebenarnya adalah pengikut Yesus. Buku ini berasal dari disertasinya dibawah supervisi Gerhard Boewering di Yale University, salah satu pusat kajian orientalis terkemuka di Barat saat ini. Ini cuma satu contoh kasus. Ada banyak Elmore, Brill, Boewering dan Yale-yale lain yang masih dan akan terus aktif melakukan hal serupa, baik di Amerika, Eropa maupun Australia. Di Jerman sendiri pusat-pusat kajian Islam terus berjalan dan berkembang, di bawah naungan universitas dengan nama macam-macam: bisa Semitistik, Orientalistik, Arabistik, ataupun Islamwissenschaft. Namun yang ditekankan sama, yaitu penguasaan bahasa-bahasa utama seperti Arab, Parsi, Turki, Hebrew dan Syriac. Ini penting, menurut mereka, agar bisa mengkaji literatur langsung dari sumber aslinya.



Bagaimana ISTAC dibandingkan dengan pusat-pusat kajian Islam yang ada di Barat?
Saya melihat ada beberapa kesamaan dan perbedaan antara ISTAC dengan pusat-pusat kajian Islam di Barat. Kesamaannya antara lain terletak pada penekanan terhadap penguasaan bahasa. Di ISTAC semua mahasiswa wajib mempelajari dan menguasai minimal dua bahasa, Arab dan Parsi, yang ditawarkan setiap semester, plus bahasa-bahasa Eropa selain Inggris, seperti Greek, Latin, Perancis dan Jerman. Kedua, terletak pada pengadaan fasilitas riset yang memadai, terutama perpustakaan yang merupakan jantung setiap lembaga pendidikan tinggi. Dalam bidang kajian pemikiran dan peradaban Islam, Barat dan Timur, koleksi perpustakaan ISTAC boleh dikata adalah yang paling lengkap di Asia Tenggara. Adapun perbedaannya terletak pada misi dan kurrikulumnya. Kalau studi Islam di Barat misinya sudah jelas, untuk mempertahankan hegemoni intelektual mereka. Sementara misi ISTAC adalah untuk membangun kembali peradaban Islam dan jatidiri Umat Islam yang porak-poranda akibat hegemoni Barat. Dan ini tercermin dalam kurikulumnya yang unik, dimana mata-kuliah yang ditawarkan dikelompokkan dalam tiga bagian: Islamic Thought, Islamic Science dan Islamic Civilization. Dengan begitu mahasiswa ISTAC diarahkan dan dibentuk untuk menjadi ilmuwan yang mampu melihat dan memahami persoalan dari berbagai sudut pandang.


Apa yang Anda dapat belajar dengan al-Attas di ISTAC dan belajar dengan Daiber di Jerman?
Saya belajar banyak dari Profesor al-Attas. Beliau termasuk intelektual Muslim kelas dunia yang sangat prihatin terhadap kondisi Umat Islam saat ini. Berbeda dengan kebanyakan cendekiawan lainnya, al-Attas dikenal sangat berani dan konsisten. Pemikirannya jelas dan sistematis. Beliau tidak pernah tunduk pada orientalis, Yahudi maupun Kristen. Tidak mau kompromi dalam masalah-masalah usuluddin. Sangat kritis terhadap pandangan-pandangan sekuler dan liberal. Tetapi secara personal sikapnya terbuka dan toleran. Kalau dari Daiber yang patut diteladani adalah keseriusan dan ketelitiannya. Saya juga terkesan dengan sikapnya yang ramah dan murah-hati. Tetapi dalam soal pemikiran, Daiber tidak bisa diikuti. Sikap intelektualnya cenderung skeptis. Jadi, kalau didesak bagaimana pendapatnya tentang suatu masalah, dia tidak mau mengambil posisi, giving no commitment. Sikap semacam inilah yang dikecam al-Attas. Menurut beliau, seorang intelektual harus punya pendirian, tidak boleh skeptis, harus jelas sikapnya, tidak boleh mengambang, dan harus konsisten, tidak boleh plintat-plintut.
Bagaimana sikap orang Barat dan Jerman khususnya terhadap agama mereka?
Secara umum sikap masyarakat Barat modern terhadap agama cenderung apatis, masa bodoh dan tidak peduli. Semakin banyak yang bersikap skeptis dan agnostis terhadap doktrin-doktrin agama. Efeknya makin sedikit yang betul-betul mengamalkan ajaran agamanya. Sebaliknya, makin banyak yang memilih keluar atau bahkan menjadi atheis. Namun kemudian mereka merasakan ada sesuatu yang hilang. Mereka yang putus asa, merasa life is meaningless, memilih jalan pintas bunuh diri. Mereka yang bertahan, berusaha mengisi kekosongan jiwanya dengan cara masuk agama lain seperti Islam, ikut pseudo-agama dan aliran-aliran sempalan seperti Theosophy, Anthroposophy, Baha’i, atau pun praktek-praktek meditasi spiritual seperti Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaya Yoga dan lain sebagainya. Sebagaimana kata ahli sosiologi agama Peter L. Berger, trendnya sekarang ini adalah setiap orang akan memilih sendiri apa yang ia inginkan, sesuai dengan kebutuhan dan kesukaannya. Istilah sosiologinya: patchwork religion, agama bikinan sendiri, hasil ‘comot’ sana-sini.


Fenomena semacam itu juga terjadi di Jerman. Menurut data REMID (Religionswissenschaftlicher Medien- und Informationsdienst e.V), dua per tiga penduduk Jerman adalah penganut Kristen, dengan komposisi Katolik kurang lebih 26,6 juta dan Protestan 26,3 juta orang. Tetapi dari jumlah ini, hanya 12% yang mempercayai doktrin trinitas, dan cuma sekitar 10% yang aktif dan rutin ke gereja. Pada tahun 1988, hampir separuh pejabat pemerintah Jerman menolak bersumpah dengan nama Tuhan. Mereka enggan mengucapkan “so wahr mir Gott helfe”. Menurut jajak pendapat yang dilakukan McKinsey baru-baru ini, kredibilitas gereja di Jerman merosot drastis. Setiap tahun, gereja kehilangan rata-rata 300.000 anggotanya. Juga semakin banyak yang menolak bayar sumbangan wajib untuk gereja melalui potongan gaji per bulan 8% hingga 10%. Seorang karyawan yang tidak ingin disebut namanya, misalnya bilang, dia bayar ke gereja setiap bulan tidak kurang dari 100 Euro. Kalau dikalikan dengan 53 juta orang, berati dana yang masuk ke gereja bisa mencapai 5,3 Milyar Euro (sama dengan 53 Trilyun Rupiah!). Mengapa meninggalkan gereja? Jawaban yang dilontarkan orang Jerman adalah: “Viele sind vom Christentum enttaeuscht” (Banyak yang kecewa dengan Kristen), “Religion und Kirche sind zwei verschiedene Dinge” (Agama dan gereja adalah dua hal yang berlainan, maksudnya harus dipisahkan), “Das Problem der Kirchen ist, dass sie schon lange keines mehr sind” (Masalahnya adalah gereja sudah lama tidak punya arti apa-apa lagi). Situasi konkritnya digambarkan oleh Heiner Koch, salah seorang pengurus gereja di Koln: “Banyak orang di Jerman sekarang ini menyamakan gereja dengan toko atau supermarket. Mereka beli produk-produknya, semisal TK, SD dan upacara-upacara tertentu. Sementara pendeta dan aturan hukumnya diabaikan saja. Mereka bayar iuran gereja di kasir, lalu menunggu jasa pelayanan segera. Besoknya, pergi ke toko sebelah, lihat produk apa yang dijual oleh astrologi, psikoterapi atau buddhisme. Lalu minggu depan, belanja lain di toko lain”.


Sikap mereka terhadap Islam dan orang Islam?
Sikap orang Jerman terhadap Islam agak sulit digeneralisir. Pada dasarnya mereka cukup toleran dan liberal, tidak oppressif dan tidak memusuhi. Sikap semacam ini merupakan buah dari gerakan reformasi, pencerahan (Aufklarung), dan sekularisasi yang dimulai sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Orang Jerman menghargai kebebasan beragama (Glaubensfreiheit). Ini memberikan ruang kepada agama-agama non-Kristen termasuk Islam sehingga bisa berkembang. Sekarang ini jumlah Muslim di Jerman diperkirakan mencapai 4 juta orang, kurang lebih seperempat dari total jumlah Muslim se-Eropa, yaitu sekitar 16 juta orang. Ini angka yang cukup signifikan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Wajar kalau kemudian kalangan gereja, pemerintah, maupun intelektual mulai bimbang dan bersikap ambivalent. Di satu sisi mereka berusaha toleran, liberal dan sekuler. Di sisi lain mereka tidak mau Eropa di-islamkan. Ada kekhawatiran apa yang terjadi pada Kristen di Anatolia dan Afrika Utara pada abad ke-7 dan 8 Masehi akan terulang di Eropa, ungkap Klaus Berger, staf pengajar Teologi Perjanjian Baru di Universitas Heidelberg (“Unsere Situation erinnert an die der christlichen Laender Anatolien und Nordafrika im 7. und 8. Jahrhundert, als ein morsches Christentum einfach ueberrannt wurde”). Muncullah gagasan “EuroIslam” atau Islam versi Eropa, yang tidak fundamentalis dan tidak fanatik, tetapi liberal dan sekuler. Jangan Eropa yang di-islamkan, tapi Islamlah yang harus di-eropakan. Begitu kira-kira mau mereka. Gagasan ini kelihatannya ditanggapi serius oleh pemerintah Jerman. Maka pada 22 Agustus 2004 kemarin, sebuah pusat pendidikan guru agama Islam diresmikan di Universitas Muenster. Tujuannya, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Dikdasmen, Ute Schaefer, untuk mengontrol pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah, agar siswa-siswa tidak diajarkan ‘macam-macam’ (“Islamunterricht unter staatlicher Aufsicht bietet ausserdem die Gewaehr dafuer, dass jungen Menschen keine Inhalte vermittelt werden, die nicht mit der Weltordnung des Grundgesetzes vereinbar sind”). Adapun sikap ambivalent agamawan tercermin, misalnya, dalam oposisi mereka terhadap rencana pembangunan masjid Turki di Kassel. Partai Kristen Demokrat (CDU) setempat beralasan, masjid itu bisa jadi sarang kaum fundamentalis, juga bisa menggoyahkan kultur Kristen-Barat yang ada (“dies koennte die christlich-abendlaendische Leitkultur ins Wanke bringen”). CDU pula yang mengusulkan agar kamera pemantau dipasang di setiap masjid di seluruh Jerman.


Anda mengikuti perkembangan kasus Luxenberg?
Ya. Saya yakin Luxenberg itu tidak sendirian. Indikatornya cukup banyak. Media Barat mengeksposnya besar-besaran, dari Frankfurter Allgemeine (koran terkemuka Jerman), Le Monde (Paris), the Guardian (London), New York Times, hingga Gatra di Indonesia, membuat laporan tentang bukunya, die Syro-aramaeische Lesart des Koran. Kalangan akademis meresponnya dengan sikap hypokrit dan ‘malu-malu kucing’; kritis tapi juga mendukung. Maka Institute for Advance Study, Berlin, bekerja sama dengan Seminar fuer Semitistik und Arabistik, Freie Universitaet Berlin, belum lama ini menggelar symposium tentang buku Luxenberg itu. Kemudian Radio Jerman (DeutschlandFunk) menyiarkan dialog interaktiv dengan nara sumber Professor Manfred Kropp, direktur Deutsches Orient Institut Beirut, dan Professor Claude Gilliot, pakar studi al-Qur’an dari Universitas Aix-en-Provence, Perancis. Dan, tentu saja, lembaga-lembaga Kristen menyambutnya dengan sangat antusias, apalagi lembaga semacam Mar Gabriel-Verein zur Unterstuetzung der syrischen Christen e.V., University of St. Thomas, dan lain-lain. Jadi, apa yang dia lakukan sebenarnya sudah menyerupai movement, gerakan menghabisi al-Qur’an secara programatis. Christoph Luxenberg itu nama samaran. Nama sebenarnya Ephraim Malki. Dia ini dosen di Universitas Saarbruecken. Asalnya dari Libanon, tapi sudah warganegara Jerman. Dalam wawancaranya baru-baru ini dengan koran Jerman Tageszeitung, dia mengatakan bahwa terjemahan Inggrisnya segera terbit dan edisi keduanya sedang digarap dan diperkirakan siap terbit akhir tahun ini. Ketika heboh soal pelarangan jilbab di Perancis dan Jerman kemarin, dia menulis di koran, bahwa ayat 31 surah an-Nur itu telah dibaca keliru dan disalah-artikan. Menurut dia, kalimat “wal yadhribna bi-khumurihinna” mestinya diartikan “hendaklah mereka mengikat sabuk mereka dipinggang”, bukan “menutup kain kudung ke dada mereka”. Alasannya, dari bahasa Syro-aramaic “qmara” yang artinya ikat pinggang. Lalu kata-kata “juyuub” dalam ayat itu dirubah bacaannya menjadi “junuub”. Itu hasil utak-atiknya. Jadi dia masih aktif sekali. Kasus Luxenberg ini juga membuktikan bahwa orientalis yang anti-Islam masih banyak berkeliaran. Benarlah firman Allah swt: “wa-lan tardhaa ‘anka ’l-yahuudu wa-la an-nashaaraa hattaa tattabi‘a millatahum!”


Apakah akan ada gemanya di Indonesia?
Tentu ada. Kan baru-baru ini heboh soal buku “Jihad Kristen” karangan pendeta Josias Lengkong. Argumennya mirip argumen Luxenberg. Dia bilang istilah jihad sudah dikenal oleh kaum Nasrani sebelum Islam karena ada dalam Bibel bahasa Arab. Saya melihatnya sebagai reworking dari tesisnya Luxenberg. Orang kita kan memang suka barang impor, suka latah dan ikut-ikutan. Seringkali tanpa mengerti maksud dan latarbelakangnya. Orang Barat sekuler, ikut sekuler. Mereka liberal, ikut liberal. Mereka kritik Bibel, kita kritik Qur’an. Nanti, mereka hancur, kita pun ikut hancur.
Bagaimana mengantisipasinya?
Kita harus mengenal diri kita, mengenal agama kita, tradisi intelektual kita, secara mendalam dan menyeluruh, kalau bisa. Kita harus punya self-confidence, atau “pede” kata anak sekarang. Tidak minder dan silau melihat pencapaian orang Barat. Kita juga harus melawan mereka dengan cara-cara yang rasional dan ilmiah. Sekarang ini hegemoni politik, ekonomi dan budaya sudah ditangan mereka. Dalam bidang keilmuan dan intelektual, mereka juga berhasil menciptakan imej bahwa otoritas ada pada mereka. Bahwa mereka lebih pakar dan lebih tahu tentang Islam daripada orang Islam sendiri. Menurut saya, salah satu langkah konkrit untuk mengkounter upaya-upaya seperti yang dilakukan oleh Luxenberg adalah dengan memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah Islam, sejarah al-Qur’an, sejarah Hadis dan Hukum Islam, serta mempelajari sejarah Kristen dan Yahudi, plus menguasai bahasa-bahasa semitik selain Arab, seperti Hebrew, Aramaic dan Syriac.
Anda melihat perlunya cendekiawan Muslim belajar bahasa-bahasa Semitik selain Arab. Untuk apa?
Sebab kelemahan kita memang di situ. Mereka tahu sejarah kita, sementara kita buta sejarah mereka. Mereka menguasai segudang bahasa, semitik maupun non-semitik, sementara kita tidak. Sehingga mereka bisa mengatakan: “What you know, we know. What we know, you don’t know!” (Yang elu tau, gue tau. Tapi yang yang gue tau, elu nggak tau!).

Keterangan Foto:
1. Perpustakaan McGill Institute of Islamic Studies
2. Situs Orientalisches Seminar Tübingen
3. Kampus ISTAC Kuala Lumpur
Sumber: Google
Retrieved from: http://inci73.multiply.com/reviews/item/20 (August 9, 2010
Monday, July 12, 2010
Studi Islam di Barat? Apakah Salah?
Oleh Muhammad As’ad
Belajar Islam di barat versus belajar Islam di timur. Perdebatan ini sebenarnya sudah muncul sejak mulai banyaknya mahasiswa Indonesia belajar Islamic studies di negara-negara barat, apakah itu di Eropa, Australia ataupun di Amerika. Yang paling massif adalah di dua Universitas yang memang memberikan beasiswa master secara kontinu pada akhir tahun 80-an hingga sekarang, yaitu Universitas Leiden, Belanda dan Universitas Mcgill, Kanada. Sejak saat itu pula mulai banyak wacana muncul di permukaan mempertanyakan otoritas barat dalam bidang Islamic studies.
Berangkat dari dua pendekatan yang berbeda
Perbedaan yang ada antara studi Islam di barat dan di timur berawal dari dua metode pendekatan yang berbeda. Menurut Azyumardi Azra ada dua pendekatan dalam kajian Islam, yaitu pendekatan teologis dan pendekatan sejarah agama (1994:2). Dengan perbedaan pendekatan tentu akan diperoleh hasil yang berbeda. Pendekatan teologis banyak digunakan oleh negara-negara Islam pada umumnya terutama di timur tengah. Pendekatan ini lebih mengutamakan sisi normatif Islam, dari mulai penghafalan, penyebaran dan pengamalan ajaran Islam. Sedangkan pendekatan sejarah agama lebih banyak dilakukan pada studi Islam di barat. Mereka lebih menitik beratkan kepada aspek kritisisme dan empirisme. Dalam kacamata ini Islam ditinjau dengan parameter ilmiah yang ketat atau bahkan mungkin bisa dikatakan “sadis”.
Pada umumnya, ada dua hal yang selalu muncul di logika kawan-kawan yang menolak “Islamic studies” di barat. Yang pertama adalah anggapan bahwa bahwa Islamic studies ataupun layaknya studi asia atau timur jauh muncul sebagai bagian dari kolonialisme barat. Kita sering menamakannya sebagai studi orientalisme. Adalah benar bahwa studi-studi tersebut pada awalnya berpretensi untuk menjustifikasi serta mencari kelemahan untuk kepentingan kolonial. Contoh mudah yang seringkali digunakan adalah bagaimana seorang Snouck Hurgronje yang merupakan professor bahasa Arab dan ahli Islam di bumi pertiwi di Universitas Leiden disamping bekerja secara “ilmiah” untuk meneliti Islam Indonesia terkhusus studi dia terhadap aceh pada karyanya the Atjehnese juga digunakan untuk kepentingan kolonial. Ini kemudian dijadikan senjata dengan membuat generalisasi bahwa seluruh studi Islam di barat bertujuan untuk melemahkan dan menghancurkan Islam. Padahal sejak munculnya era nation-state dan dihapuskannya era penjajahan, paradigma ini jauh berubah. Studi-studi Islam di barat sudah banyak belajar dari kesalahan tersebut dan berusaha untuk menjadi lebih objektif
Kedua, studi Islam di barat menjadikan mahasiswa Islam menjadi liberal. Salah satu alasannya, karena belajar Islam di barat tidak menjadikan mahasiswa menjadi seorang yang alim. Adalah benar belajar studi Islam di barat tidak menjadikan seseorang menjadi alim karena hanya kepada orang Islam yang alim-lah kita bisa menjadi alim. Kalau kita minta orang barat menjadikan kita alim adalah salah kaprah. Karena itu hanya bisa didapatkan dari seorang muslim yang alim. Tetapi juga harus diingat bukan berarti mahasiwa yang belajar di barat tidak alim. Patut diketahui bahwa hampir semua mahasiwa Islamic studies di barat telah mengenyam pendidikan Islam sejak mereka berada di bangku sekolah dasar, apakah itu pondok pesantren ataukah yang lainnya. Bahkan tidak jarang mahasiswa S2 Islamic studies di barat menamatkan strata satu di timur tengah semisal Universitas al-Azhar. Artinya mereka semuanya terus berproses untuk menjadi seorang yang alim. Disamping terus mengamalkan ilmu-ilmu yang didapat ketika dulu di pesantren atau yang lainnya, mahasiswa Islamic studies mendapatkan tambahan pengetahuan berupa metodologi yang sebagian besar belum lengkap ataupun tidak diberikan oleh Universitas berbasis Islam. Intinya berusaha mendapatkan ilmu metodologi modern dari barat dengan tetap mengamalkan kaidah-kaidah Islam yang telah dipelajari selama ini (al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
Tentang dosen-dosen non muslim semakin menjadikan mahasiswa keluar dari ajaran Islam menurut hemat penulis tidak dapat dibenarkan. Pertama, mereka memahami betul tradisi kita sebagai seorang muslim, apakah itu puasa, sholat ataupun merayakan hari raya. Mahasiswa Islamic studies di Leiden selalu diberikan kelonggaran waktu untuk beribadah. Bahkan pada perayaan hari raya idul fitri tahun kemarin semua mahasiswa Islamic studies diberi libur meski itu bukan hari libur nasional di Belanda. Kedua, paradigma yang selalu digunakan oleh para pengajar tersebut adalah paradigma value free (bebas nilai), artinya mereka tidak menggunakan kepercayaan mereka untuk memengaruhi kepercayaan mahasiswa. Karena mahasiswa sudah dinilai mempunyai pemahaman keagaaman yang mendalam. Realita dilapangan yang memang penulis alami sendiri adalah adanya proses timbal balik. Artinya, mereka juga semakin mengenal bentuk Islam melalui proses belajar-mengajar yang dilakukan. Tidak ada proses mendelegitimasi bahwa Islam yang kita pahami salah. Mereka pun semakin paham bahwa Islam yang sesungguhnya bukanlah Islam yang sebagaimana digambarkan oleh media barat yang bersifat politis. Satu sisi positif dengan adanya studi Islam di barat adalah bangsa barat bisa mengenal Islam dengan lebih akademis dan objektif sehingga asumsi apriori yang bersifat propagandis tentang Islam sebagai agama yang menunjang kekerasan dan terorisme bisa segera dihilangkan .
Untuk menutup tulisan ini saya ingin mengutip salah satu pernyataan Harun Nasution yang ditulis di jurnal Ulumul Qur’an tahun 1994. Edisi tersebut membahas tentang pro-kontra studi Islam di barat. Menurut Harun Nasution mengirim mahasiswa Indonesia ke timur tengah untuk belajar studi Islam adalah penting karena disanalah terdapat sumber-sumber ilmu Islam dan bahasa Arab, sedangkan mengirim mahasiswa Indonesia ke barat juga baik karena akan semakin mengasah pemahaman Islam mereka dengan metodologi modern (Ulumul Qur’an:1994:29). Dengan mengacu pendapat tersebut, menurut hemat penulis tidaklah tepat untuk mempertentangkan dua pendekatan ini, menegasikan antara satu pendekatan dengan pendekatan lain akan kontraproduktif dengan masa depan umat Islam Indonesia. Alahkah baiknya dua pendekatan ini saling melengkapi demi kemajuan dan kedewasaan berpikir umat Islam Indonesia. [] Wallahu ‘alam bissawab
Retrieved from: http://muhammadasad.blogdetik.com/2009/11/24/studi-islam-di-barat-apakah-salah/ (August 9, 2010)