Oleh Bambang Aroengbinang . Kuningan . 28 July, 2012
Paseban Tri Panca Tunggal adalah sebuah cagar budaya nasional di daerah Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang menyerupai sebuah padepokan dan tempat menimba ilmu budi dan kebatinan serta seni budaya, yang didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, pewaris tahta Kepangeranan Gebang, Cirebon Timur, pada tahun 1840.
Adalah karena berkali-kali melawan kehendak VOC, maka pada awal abad ke-18 Kepangeranan Gebang diserbu dan dibumihanguskan oleh VOC, gelar kepangeranan pun dicabut, dan wilayah Gebang yang mencakup daerah Ciawi sampai ke perbatasan Cilacap akhirnya dibagi-bagi untuk Keraton Kanoman, Kacirebonan dan Kasepuhan.
Bangunan gedung Paseban Tri Panca Tunggal, dengan atap bertingkat dan di puncaknya terdapat tonggak ulir berujung kelopak dan bulir bunga berbentuk bulat gemuk lonjong yang menyerupai roket terbalik. Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal ini telah mengalami renovasi pada 1971 dan 2007.
Foto di atas adalah ruangan bagian depan sebelah kiri yang disebut Pendopo, dengan payung kerajaan di sebelah kanan. Di tengah terdapat lambang burung Garuda yang tengah mengepak sayap, berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf Sunda “Purwa Wisada”, yang disangga oleh sepasang naga bermahkota yang ekornya saling mengait. Di tengah lingkaran terdapat sebuah simbol, yang tampaknya merupakan lambang Tri Panca Tunggal.
Tidak lama setelah kami masuk ke dalam gedung Paseban Tri Panca Tunggal, seorang wanita muda berparas ayu menemui kami, dan memperkenalkan diri bernama Juwita Jati, dengan nama panggilan Tati. Pangeran atau Kyai Madrais, adalah kakek buyut Tati. Ayah Tati, Pangeran Jati Kusumah, adalah yang sekarang memimpin Paseban Tri Panca Tunggal.
Menurut penuturan Tati, Pendopo menggambarkan keadaan ketika manusia sudah lahir di alam dunia. Karenanya tangga pada pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini aslinya ada 5 buah, melambangkan panca indera yang harus menjadi saringan bagi manusia, baik yang bersumber dari dalam ke luar atau pun dari luar ke dalam.
Ruang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini ditopang oleh 11 pilar, dengan dasar tiang berbentuk lingkaran. Ruangan lain di Paseban Tri Panca Tunggal adalah Ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja Pangeran Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih direnovasi, terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di atasnya terdapat hiasan mahkota.
Di sebelah belakang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal terdapat ruang Sri Manganti yang digunakan sebagai tempat pertemuan, seperti persiapan upacara Seren Taun yang diselenggarakan setahun sekali. Ruang Sri Manganti Paseban Tri Panca Tunggal juga dipergunakan sebagai tempat untuk menerima tamu, dan upacara pernikahan. Tati bertutur bahwa ruang Sri Manganti di Paseban Tri Panca Tunggal adalah ruang rasa di mana manusia harus menemukan sebuah kebijakan dalam hidup.
Relief Resi Wisesa Sukmana Tunggal yang berada di ruang Jinem. Setelah Kepangeranan Gebang dibumihanguskan oleh VOC, satu-satunya putra mahkota yang masih hidup adalah Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, yang ketika itu masih kanak-kanak.
Pangeran Madrais kemudian dititipkan pada Ki Sastrawardhana yang tinggal di Cigugur, dengan pertimbangan keamanan dan karena Cigugur pernah pula digunakan oleh Tentara Mataram sebagai basis ketika menyerang VOC di Batavia. Di usia 18 tahun, di tahun 1840, Pangeran Madrasi membangun gedung Paseban ini.
Dua gadis remaja yang masih menggunakan seragam sekolah menengah pertama tampak tengah belajar menari, dibimbing oleh seorang pelatih di Ruang Jinem. Ruang Jinem, menurut Tati, menggambarkan proses penciptaan, dimana ada karakter dan pengaruh 4 unsur, yaitu tanah, air, angin, dan api. Ruangan Jinem ini cukup luas dengan empat buah soko guru berukuran besar terbuat dari beton dengan umpak berukir, dan beberapa pilar kayu yang juga berukir halus di beberapa bagiannya.
Seperangkat gamelan yang berada di ruang Jinem Paseban Tri Panca Tunggal. Pada tahun 1978, Paseban Tri Panca Tunggal ditetapkan oleh pemerintah sebagai Cadar Budaya Nasional, dan uniknya Paseban Tri Panca Tunggal mendapatkan dana renovasi dari Dinas Pekerjaan Umum, bukan dari dinas yang lain.
Sebuah ukiran kayu unik yang berada di bagian sebelah kanan ruang Jinem Paseban Tri Panca Tunggal. Menurut penuturan Tati, nama Paseban Tri Panca Tunggal berasal dari kata Paseban yang berarti tempat pertemuan, Tri yang terdiri rasa – budi – pikir, Panca adalah panca indera, dan Tunggal adalah yg Maha Tunggal.
Arti filosofisnya, ketika manusia bisa mengharmoniskan, menyelaraskan atau menyeimbangkan rasa – budi – pikir, lalu menerjemahkannnya melalui panca indera ketika mendengar, melihat, berbicara, bersikap, bertindak, melangkah, maka itulah yg akan memanunggalkan manusia dengan Yang Maha Tunggal.
Sisi pandang lain dari ruang Jinem. Semasa hidupnya Pangeran yang lebih dikenal sebagai Kyai Madrais itu memberi ajar kerohanian dan agama, namun sempat bermasalah karena adanya perbedaan dengan ajaran baku, dan setelah identitasnya diketahui oleh Belanda ia pun difitnah dan diasingkan ke Merauke pada tahun 1901-1908.
Ukiran di atas pintu masuk Paseban Tri Panca Tunggal. Konon pada 1936, ketika Gunung Ceremai sedang aktif-aktifnya, Kyai Madrais naik ke puncak gunung bersama 200 pengikutnya untuk meredakannya secara mistik. Kyai Madrais meninggal tahun 1939, dan dimakamkan di Pemakaman Pasir, Cigugur. Paseban Tri Panca Tunggal kemudian dipimpin oleh Pangeran Tedjabuwana Alibasa sampai tahun 1964, dan dilanjutkan Pangeran Djati Kusumah, sampai akhirnya diserahkan ke Pangeran Gumirat Barna Alam, satu-satunya saudara laki-laki Tati.
Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan
GPS: -6.96929, 108.45660
Retrieved from: http://thearoengbinangproject.com/2010/12/paseban-tri-panca-tunggal-kuningan/
Paseban Tri Panca Tunggal adalah sebuah cagar budaya nasional di daerah Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang menyerupai sebuah padepokan dan tempat menimba ilmu budi dan kebatinan serta seni budaya, yang didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, pewaris tahta Kepangeranan Gebang, Cirebon Timur, pada tahun 1840.
Adalah karena berkali-kali melawan kehendak VOC, maka pada awal abad ke-18 Kepangeranan Gebang diserbu dan dibumihanguskan oleh VOC, gelar kepangeranan pun dicabut, dan wilayah Gebang yang mencakup daerah Ciawi sampai ke perbatasan Cilacap akhirnya dibagi-bagi untuk Keraton Kanoman, Kacirebonan dan Kasepuhan.
Bangunan gedung Paseban Tri Panca Tunggal, dengan atap bertingkat dan di puncaknya terdapat tonggak ulir berujung kelopak dan bulir bunga berbentuk bulat gemuk lonjong yang menyerupai roket terbalik. Bangunan Paseban Tri Panca Tunggal ini telah mengalami renovasi pada 1971 dan 2007.
Foto di atas adalah ruangan bagian depan sebelah kiri yang disebut Pendopo, dengan payung kerajaan di sebelah kanan. Di tengah terdapat lambang burung Garuda yang tengah mengepak sayap, berdiri di atas lingkaran bertuliskan huruf Sunda “Purwa Wisada”, yang disangga oleh sepasang naga bermahkota yang ekornya saling mengait. Di tengah lingkaran terdapat sebuah simbol, yang tampaknya merupakan lambang Tri Panca Tunggal.
Tidak lama setelah kami masuk ke dalam gedung Paseban Tri Panca Tunggal, seorang wanita muda berparas ayu menemui kami, dan memperkenalkan diri bernama Juwita Jati, dengan nama panggilan Tati. Pangeran atau Kyai Madrais, adalah kakek buyut Tati. Ayah Tati, Pangeran Jati Kusumah, adalah yang sekarang memimpin Paseban Tri Panca Tunggal.
Menurut penuturan Tati, Pendopo menggambarkan keadaan ketika manusia sudah lahir di alam dunia. Karenanya tangga pada pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini aslinya ada 5 buah, melambangkan panca indera yang harus menjadi saringan bagi manusia, baik yang bersumber dari dalam ke luar atau pun dari luar ke dalam.
Ruang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal ini ditopang oleh 11 pilar, dengan dasar tiang berbentuk lingkaran. Ruangan lain di Paseban Tri Panca Tunggal adalah Ruang Jinem, Pasengetan, Pagelaran, Sri Manganti, Mega Mendung (ruang kerja Pangeran Jatikusumah), dan Dapur Ageng. Di Dapur Ageng yang saat itu masih direnovasi, terdapat tungku perapian berhias naga di keempat sudutnya dan di atasnya terdapat hiasan mahkota.
Di sebelah belakang pendopo Paseban Tri Panca Tunggal terdapat ruang Sri Manganti yang digunakan sebagai tempat pertemuan, seperti persiapan upacara Seren Taun yang diselenggarakan setahun sekali. Ruang Sri Manganti Paseban Tri Panca Tunggal juga dipergunakan sebagai tempat untuk menerima tamu, dan upacara pernikahan. Tati bertutur bahwa ruang Sri Manganti di Paseban Tri Panca Tunggal adalah ruang rasa di mana manusia harus menemukan sebuah kebijakan dalam hidup.
Relief Resi Wisesa Sukmana Tunggal yang berada di ruang Jinem. Setelah Kepangeranan Gebang dibumihanguskan oleh VOC, satu-satunya putra mahkota yang masih hidup adalah Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, yang ketika itu masih kanak-kanak.
Pangeran Madrais kemudian dititipkan pada Ki Sastrawardhana yang tinggal di Cigugur, dengan pertimbangan keamanan dan karena Cigugur pernah pula digunakan oleh Tentara Mataram sebagai basis ketika menyerang VOC di Batavia. Di usia 18 tahun, di tahun 1840, Pangeran Madrasi membangun gedung Paseban ini.
Dua gadis remaja yang masih menggunakan seragam sekolah menengah pertama tampak tengah belajar menari, dibimbing oleh seorang pelatih di Ruang Jinem. Ruang Jinem, menurut Tati, menggambarkan proses penciptaan, dimana ada karakter dan pengaruh 4 unsur, yaitu tanah, air, angin, dan api. Ruangan Jinem ini cukup luas dengan empat buah soko guru berukuran besar terbuat dari beton dengan umpak berukir, dan beberapa pilar kayu yang juga berukir halus di beberapa bagiannya.
Seperangkat gamelan yang berada di ruang Jinem Paseban Tri Panca Tunggal. Pada tahun 1978, Paseban Tri Panca Tunggal ditetapkan oleh pemerintah sebagai Cadar Budaya Nasional, dan uniknya Paseban Tri Panca Tunggal mendapatkan dana renovasi dari Dinas Pekerjaan Umum, bukan dari dinas yang lain.
Sebuah ukiran kayu unik yang berada di bagian sebelah kanan ruang Jinem Paseban Tri Panca Tunggal. Menurut penuturan Tati, nama Paseban Tri Panca Tunggal berasal dari kata Paseban yang berarti tempat pertemuan, Tri yang terdiri rasa – budi – pikir, Panca adalah panca indera, dan Tunggal adalah yg Maha Tunggal.
Arti filosofisnya, ketika manusia bisa mengharmoniskan, menyelaraskan atau menyeimbangkan rasa – budi – pikir, lalu menerjemahkannnya melalui panca indera ketika mendengar, melihat, berbicara, bersikap, bertindak, melangkah, maka itulah yg akan memanunggalkan manusia dengan Yang Maha Tunggal.
Sisi pandang lain dari ruang Jinem. Semasa hidupnya Pangeran yang lebih dikenal sebagai Kyai Madrais itu memberi ajar kerohanian dan agama, namun sempat bermasalah karena adanya perbedaan dengan ajaran baku, dan setelah identitasnya diketahui oleh Belanda ia pun difitnah dan diasingkan ke Merauke pada tahun 1901-1908.
Ukiran di atas pintu masuk Paseban Tri Panca Tunggal. Konon pada 1936, ketika Gunung Ceremai sedang aktif-aktifnya, Kyai Madrais naik ke puncak gunung bersama 200 pengikutnya untuk meredakannya secara mistik. Kyai Madrais meninggal tahun 1939, dan dimakamkan di Pemakaman Pasir, Cigugur. Paseban Tri Panca Tunggal kemudian dipimpin oleh Pangeran Tedjabuwana Alibasa sampai tahun 1964, dan dilanjutkan Pangeran Djati Kusumah, sampai akhirnya diserahkan ke Pangeran Gumirat Barna Alam, satu-satunya saudara laki-laki Tati.
Paseban Tri Panca Tunggal
Kampung Wage, Kelurahan Cigugur,Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan
GPS: -6.96929, 108.45660
Retrieved from: http://thearoengbinangproject.com/2010/12/paseban-tri-panca-tunggal-kuningan/
No comments:
Post a Comment