Oleh Mustafid Sawunggalih
Cigugur adalah sebuah desa di lerang
Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan atau bahkan
kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan,
Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon,
atau sekitar 168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian
700 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 26,80 mm dan
suhu udara rata-rata sekitar 26°C. Duapuluh tahun yang lalu, ketika
penelitian dilakukan, luas wilayahnya adalah 511.120 ha, yang terdiri
dari 105.680 ha digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, seluas
116.120 ha sawah, seluas 279.975 ha merupakan tegalan, kolam dan empang
seluas 2.860 ha, lapangan seluas 1.180 ha, dan sisanya digunakan sebagai
kuburan, jalan raya, pengairan, dan lain-lain. Data ini pasti sudah
jauh berubah, tidak hanya dalam komposisi peruntukan lahannya, tetapi
juga struktur kepemilikannya.
Pada tahun 1848 di tempat
ini berdiri sebuah aliran kepercayaan yang dikenal dengan nama Agama
Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai Madraisme mengambil
nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa Widjaja Ningrat, yang
dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang Pangeran Alibasa I. Sedangkan
menurut cucunya yang masih hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais
berasal dari Muhammad Rais, sebuah nama yang identik dengan kultur
Islam. Pada usia muda Pangeran Madrais mendapat pendidikan pesantren,
ini merupakan pengaruh kakek dari pihak ibu yang pengasuhnya. Namun dari
beberapa catatan yang diketahui, ia menunda pelajarannya dan pergi
mengembara ke berbagai “paguron” yang ada di Jawa Barat. Kisah
pengembaraan pendiri ADS tersebut dapat tergambar dalam tulisan berikut:
“…Dina burej keneh nalika
juswa antawis 10 ka 13 taun, mantenna masantren. Nanging kapaksa nunda
teu diladjengkeun kumargi nampi “wisikan gaib (ilham) nu maparin pituduh
mantenna kedah ngalalana sareng tatapa mulat salira. Teu talangke deui
ladjeng wae andjeuna angkat ngalalana mipir-mipir pasisian, mapaj-mapaj
padukuhan, kasuklakna-kasiklukna, lembur-lembur diasruk, desa-desa
disakrak, kota-kota pakemitan alit diungsi. Babakuna nu djadi djugdjugan
tempat-tempat nu kakotjap sanget, angker, sungil djadi pamundjungan,
pamudjaan djalma rea. Mantenna didinja tatapa ngisat salira. Teu kantun
paguron2 taja kalangkung, nungtik lari nyiar bukti ngudag kanjataan nu
jadi rasiah alam lahir bathin..”
“… Ketika masih kecil, yaitu
pada usia antara 10 sampai 13 tahun, ia tinggal di pesantren. Namun
terpaksa ditunda karena menerima “bisikan gaib” (ilham) yang memberi
petunjuk agar ia pergi, menelusuri dusun-dusun, baik besar maupun kecil.
Yang biasanya dituju adalah tempat-tempat yang dikenal umum sebagai
tempat angker yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Di tempat-tempat
itulah ia bertapa. Tempat bergurupun tak ada yang terlewat, dengan
maksud mencari bukti, mengejar kenyataan yang menjadi rahasia semseta
alam, baik lahir maupun batin...”
Pengembaraan Pangeran
Madrais merupakan babak penting dalam sejarah ADS, karena dari
pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok ajarannya lahir. Secara
teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-ajaran ADS merupakan hasil
ramuan tasawuf Islam dengan mistisme Jawa yang dibingkai dengan
unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dari Cigugur, ADS berkembang ke pelosok
Jawa Barat seperti Indramayu, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut,
Bandung, Padalarang, Bogor, Purwakarta, bahkan sampai DKI Jakarta.
Jumlah penganut ADS dipercaya pernah mencapai lebih dari 100.000 orang,
namun yang tercatat dalam buku cacah jiwa hanya sekitar 25.000 orang.
Selama masa penjajahan
Belanda, Pangeran Madrais dan ADS-nya dianggap sebagai kelompok radikal
dan berbahaya. Pimpinan ADS ditangkap untuk diadili di Kuningan dan di
Tasikmalaya, namun kemudian dibebaskan. Dari tahun 1901 sampai 1908
pimpinan ADS dibuang ke Meraoke dengan tuduhan sebagai pemberontak dan
pemeras rakyat. Setelah kembali dari pembuangan, pimpinan ADS membina
kembali para pengikutnya, yang ternyata menjadi semakin radikal dalam
memperjuangkan dan melaksanakan ajaran agamanya merki ditinggal oleh
pemimpinnya. Pemerintah Belanda menganggap ADS semakin berbahaya, karena
itu Pangeran Madrais kembali ditangkap dan dimasukan ke rumah sakit
gila di Cikeumeuh, Bogor. Penangkapan itu ternyata makin menambah
solidaritas kelompok ADS untuk tidak menyerah pada keadaan. Selama di
rumah sakit jiwa Pangeran Madrais ADS tidak berhenti mengajar, meski
yang diajarnya adalah pasien penyakit jiwa. Melihat itu, pimpinan ADS
dikeluarkan dari rumah sakit tersebut karena pemerintah khawatir pasien
rumah sakit terpengaruh oleh ajarannya yang dianggap radikal. Namun
demikian, pembebasan pimpinan ADS tersebut disertai dengan ancaman agar
tidak lagi melakukan kegiatan keagamaan. Untuk tujuan tersebut, rumah
kediaman pimpinan ADS, yang sekaligus merupakan pusat kegiatan ADS,
dijaga ketat selama duapuluh empat jam. Pada tahun 1926 semua petugas
Belanda di Cigugur ditarik dan dipindah-tugaskan. ADS-pun diperbolehkan
lagi melakukan kegiatannya secara legal, bahkan pada tahun 1927 tata
cara perkawinan ADS diakui secara hukum. Dari satu sisi masa-masa ini
dapat dianggap sebagai masa cerah bagi perkembangan ADS, karena mereka
tidak mendapat rintangan dari pihak pemerintah Belanda, namun di sisi
lain merupakan awal kesulitan baru, karena muncul anggapan bahwa
Pangeran Madrais dan ADS-nya bekerja sama dengan - bahkan dianggap
sebagai kaki tangan Belanda.
Pada tahun 1940, tepatnya
pada tanggal 18 Sura 1872 tahun Jawa, Pangeran Madrais yang adalah
pendiri dan pimpinan ADS, meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di
Kampung Pasir, sebuah bukit yang terletak di sebelah barat Cigugur.
Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh puteranya Pangeran Tedjabuana Alibasa
Kusuma Widjaja Ningrat. Dalam masa kepemimpinan puteranya inilah ADS
dihadapkan pada berbagai tantangan berat. Pertama, waktu Jepang masuk
Cigugur, tuduhan bahwa Madrais dan para pengikutnya adalah kaki tangan
Van der Plas semakin gencar. Di bawah ancaman penguasa militer Jepang,
pimpinan ADS dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pembubaran
ADS. Dengan mempertimbangkan keselamatan para penganutnya dari berbagai
penganiayaan, pimpinan ADS yang baru menyetujui penandatanganan surat
pernyataan tersebut. Ia sendiri beserta keluarganya mengungsi ke Bandung
dan kemudian pergi ke Tasikmalaya. Dari tempat pengungsian tersebut
itulah pimpinan ADS meminta ketegasan para pengikutnya untuk tetap
bertahan atau menyerah. Semangat para penganut ADS nampaknya tidak
luntur dengan tekanan. Hal ini terbukti dengan pendirian sebagian besar
dari mereka yang tetap menyatakan kesetiaannya kepada ADS, meskipun
berada di bawah tekanan. Mereka menjemput pimpinan ADS dari tempat
pengungsiannya untuk dibawa kembali ke Cigugur.
Para penganut ADS sering
menganggap penindasan penguasa Jepang sebagai hasil hasutan orang-orang
yang tak menyukai kehadiran mereka. Anggapan tersebut memperburuk
hubungan penganut ADS dengan umat Islam setempat. Namun jika melihat
strategi dasar Jepang yang menggunakan kekuatan Islam untuk kepentingan
ekspansinya di Asia, khususnya Indonesia, maka boleh jadi penindasan
terhadap ADS, bukan semata-mata sebagai hasil hasutan umat Islam, namun
lebih merupakan pelaksanaan strategi umum ekspansi Jepang seperti yang
juga dilakukan di Aceh. Setelah Jepang menyerah, dan Indonesia telah
menyatakan kemerdekaan, Belanda masih dua kali melakukan agresi militer.
Pada tahun 1947 Cigugur kembali dikuasai oleh tentara Belanda. Tanggal
21 Desember 1954, pusat kegiatan ADS diserang dan dibakar oleh tentara
DI/TII. Meski kebakaran tersebut tidak fatal karena hanya memusnahkan
bagian belakang gedung, namun secara psikologis cukup mengintimidasi.
Setelah peristiwa tersebut, Pangeran Tedjabuana dan keluarganya
memutuskan pindah ke Cirebon dan dari sanalah kepemimpinannya
dijalankan. Tahun 1955 ADS berhasil menjadi anggota Badan Kongres
Kebatinan Indonesia yang disingkat BKKI. Sejak itu pula para penganut
ADS dapat melakukan kegiatan keagamaan mereka nyaris tanpa halangan.
Namun akhirnya sepuluh tahun
kemudian di saat Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan asing,
tepatnya tanggal 21 September 1964, Pangeran Tedjabuana sebagai pimpinan
ADS ketika itu terpaksa harus membuat pernyataan bermeterai yang isi
pokoknya membubarkan organisasi ADS, ia dan keluarganya menyatakan diri
menjadi penganut Katolik. Selain menandatangani surat tersebut, pimpinan
ADS juga meminta para pengikutnya untuk tidak lagi meneruskan
organisasi ADS, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Hal
tersebut dilakukan oleh pimpinan ADS, sebagai akibat dari terbitnya
Surat Keputusan Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kabupaten
Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964, yang menetapkan bahwa perkawinan ADS
yang selama itu dianggap sah secara adat, adalah perkawinan liar dan
tidak sah lagi menurut hukum. Penetapan tersebut tertuang secara jelas
dalam Surat Keputusan No.01/SKPTS/BK.PAKEM/K.p./VI/64. Surat Keputusan
tersebut memang tidak secara langsung menyangkut pembubaran ADS, namun
pada kenyataannya membuat kesulitan bagi para penganutnya dalam
menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya ketika harus berurusan dengan
pemerintah, termasuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah. Oleh
karena itu, secara langsung atau tidak Surat Keputusan tersebut menuntut
para penganut ADS untuk menikah lagi secara hukum menurut tata cara
agama tertentu.
Sebagai akibat peristiwa
tersebut, terjadilah perpindahan masal para penganut ADS menjadi
penganut agama Katolik. Dan dengan demikian pula mulailah kegiatan
Gereja Katolik di Cigugur. Di samping melakukan pembinaan nilai-nilai
dan cara hidup Katolik, pihak gereja juga mengadakan kegiatan-kegiatan
yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan
dan ekonomi umat yang mendapat sambutan baik tanpa ada persoalan yang
berarti, baik yang datang dari pemerintah maupun masyarakat setempat.
Namun demikian, setelah lebih kurang 16 tahun Gereja Katolik melakukan
kegiatannya, tepatnya pada tahun 1981 Pangeran Djatikusumah yang adalah
cucu Pangeran Madrais, mendirikan sebuah aliran kepercayaan baru yang
diberi nama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang yang disingkat PACKU.
Secara politis berdirinya PACKU dimungkinkan oleh GBHN 1978, yang
mengakui eksistensi aliran kepercayaan dalam wilayah hukum NKRI di
samping lima agama yang telah lama diakui secara resmi oleh negara.
Setelah PACKU berdiri, sekitar 2.000 orang Katolik eks ADS di seluruh
daerah keuskupan Bandung mengajukan surat pernyataan mengundurkan diri
dan keluar dari Katolik yang kemudian masuk menjadi anggota PACKU. Surat
pernyataan tersebut ditandatangani atau diberi cap jempol oleh yang
bersangkutan dan ditujukan kepada pastor di masing-masing paroki.
Peristiwa masuknya sebagian umat Katolik eks ADS menjadi anggota PACKU
dibarengi dengan terjadinya pertentangan, bukan saja pada tingkat
perbedaan pendapat melainkan juga pertentangan sikap dan tindakan, di
antara mereka yang masuk PACKU dan mereka yang tetap tinggal menjadi
Katolik. Pertentangan tersebut menemukan bentuknya yang tragis ketika
hal tersebut terjadi di dalam konteks keluarga. Sebagai ilustrasi,
banyak suami-isteri yang mendadak ”perang dingin” karena sang suami
masuk PACKU tetapi isterinya tidak atau sebaliknya. Ada pula kasus di
mana kedua orangtua masuk PACKU tetapi anak-anaknya tidak, karena begitu
tegang hubungan mereka kedua orangtua tersebut tega menyetop uang saku
dan biaya sekolah anaknya yang ada di Bandung. Sebuah konflik internal
yang intens antar anggota keluarga mengenai suatu hal yang bersifat
hakiki, baik secara religius, ideologis maupun politis yang ternyata
juga terdeteksi oleh para perumus kebijakan negara.
Setahun setelah peristiwa
tersebut, tanpa diduga pemerintah menganggap PACKU sebagai neo-ADS yang
telah membubarkan diri pada tahun 1964, oleh karena itu PACKU kemudian
dilarang dengan Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
Nomor: Kep. 44/K.2.3/8/82. Sebagai akibat larangan tersebut, secara
hukum status sekitar 2.000 orang penganut PACKU tersebut menjadi ilegal
dan secara politik menjadi tidak benar (legally and politically
incorrect). Menghadapi situasi tersebut, sebagian besar dari mereka
segera kembali menjadi Katolik yang diterima kembali dengan penuh
curiga, sebagian kecil masuk Islam, beberapa masuk Kristen Pasundan,
sisanya termasuk Pangeran Djatikusumah beserta keluarganya tetap
menyatakan diri secara resmi sebagai penghayat aliran kepercayaan. Pada
saat penelitian dilakukan pada tahun 1986, secara statistik, jumlah
mereka ada 350 orang yang dicatat dalam tabel kependudukan sebagai
kelompok lain-lain. Meski saat ini jumlah mereka tidak berkembang,
namun baik secara politik dan secara hukum mereka mempunyai ruang dan
diakui sebagai bagian dari kekayaan masyarakat dan budaya bangsa,
khususnya sejak Abdurachman Wahid menjabat sebagai Presiden Republik
Indonesia.
Untuk mereka yang hirau dan
giat memperjuangkan terwujudnya kerukunan antar umat beragama di tanah
air, kisah komunitas religius ADS dari Cigugur memberi ilustrasi, betapa
rentan dan sensitifnya akibat sebuah kebijakan negara ketika melakukan
intervensi dalam kehidupan beragama. Ada dua kepentingan yang hampir
tidak pernah mesra, kepentingan negara dan kepentingan masyarakat,
khususnya masyarakat religius lokal seperti para penganut ADS. Hampir
semua kebijakan negara yang dibuat dalam kaitan dengan para pemeluk ADS,
baik kebijakan pemerintah kolonial Belanda, Jepang, maupun Indonesia,
hampir semuanya memihak pada kepentingan negara. Nyaris tidak ada
kebijakan negara yang menempatkan kepentingan para penganut ADS sebagai
bagian dari publik yang berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan
dari negara. Oleh karena itu, secara teoritik kasus Cigugur juga
menyisakan beberapa pertanyaan yang menarik sebagai bahan permenungan
secara akademik. Pertama, apakah pengalaman iman seseorang atau suatu
komunitas hanya merupakan urusan individu atau komunitas bersangkutan,
ataukah juga merupakan urusan publik yang menuntut campur tangan negara?
Kedua, jika hal tersebut merupakan urusan publik, sejauh mana
pemerintah dapat melakukan intervensi melalui kebijakan publik? Ketiga,
secara strategis bagaimana intervensi tersebut harus dilakukan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kesadaran orang pada beberapa
pemahaman teoritik mengenai agama dengan berbagai aspeknya. Tulisan ini
memfokuskan diri pada bagaimana agama dengan berbagai aspeknya dapat
difahami secara sosiologis, sehingga dapat memahami segala implikasi
yang mungkin terjadi, ketika sebuah intervensi harus dilakukan.
Setiap tahun pada tanggal 22
Rayagung (Dzul-hijjah), di Cigugur diadakan “Pesta Rakyat” semacam
Sekaten di Yogyakarta yang terkenal dengan nama “SEREN TAUN”. Acara ini
semula yang diprakarsai oleh keturunan Raden Sutawijaya dari Keraton
Cirebon yang pada jaman dahulu mengungsi ke Cigugur karena tidak mau
berkooperasi dengan pemerintah VOC. Seren
Taun merupakan tradisi permohonan syukur masyarakat khususnya Jawa
Barat sebagai masyarakat agraris kepada Sang Pencipta Kehidupan.
Referensi:
Strathof, Sadjarah Ngadegna Agama Djawa Sunda (ADS), Garut, 1970
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Pustaka Jaya, 1980
Ekadjati, Edi S. 1984.Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pusaka.
Hendropuspito, D, OC. 1983. Sosiologi Agama. Jogyakaarta: Yayasan Kanisius.
Kantapradja, Kamil.1985. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Masagung.Retrieved from: http://mustafidwongbodo.blogspot.com/2009/12/menyusur-agama-djawa-sunda-dari-cigugur.html
No comments:
Post a Comment