Fenwick, Stewart. 2011. "Yusman Roy and the language of devotion: 'innovation' in Indonesian Islam on trial". Studia Islamika : Indonesian Journal for Islamic Studies. 18 (3): 497-529.
Description
Artikel ini membahas perkembangan kontemporer kebebasan beragama di Indonesia dengan studi kasus penuntutan terhadap Yusman Roy pada tahun 2005 yang mempromosikan shalat dwi-bahasa. Tujuan artikel ini adalah mengkaji interaksi antara hukum dan agama dalam sebuah negara demokratis di mana agama memainkan peran signifikan dalam kehidupan publik.
Artikel ini secara khusus fokus pada keputusan-keputusan di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengadilan Negeri yang berkaitan dengan kebebasan beragama sebagai tempat pengujian baik bagi hak-hak asasi manusia maupun hukum kriminal. Keputusan dari pengadilan yang lebih rendah dalam kasus Roy memberi ruang untuk melihat secara lebih dekat penerapan dan penafsiran hukum yang mengatur serangan pada agama. Keputusan MK pada tahun 2010 tentang apa yang disebut undang-undang penodaan agama (PNPS 1/1965) memperlihatkan validitas wilayah hukum ini, dan menunjukkan penanganan Mahkamah kepada hak-hak individual dan komunal dalam ranah iman. Sebuah studi juga telah dilakukan terhadap konsep bid‘ah yang menjadi dasar bagi kritik doktrinal MUI terhadap praktik-praktik Roy. Pada pendapat beberapa komentator ada kecenderungan bid’ah dilihat sebagai kemurtadan.
Kondisi kasus tersebut dan respons Pengadilan Negeri memberi gambaran menarik tentang praktik kebebasan beragama. Artikel ini membahas secara detail peran yang dimainkan oleh MUI di tingkat lokal dalam kasus tersebut, termasuk dengan mengeluarkan fatwá serta keterlibatannya dengan pejabat resmi negara dan dalam proses-proses hukum dan administratif. Peran utama perwakilan MUI memperlihatkan bagaimana pandangan organisasi ini terhadap doktrin Islam mendukung pemerintah dalam berbagai aspek. Kaidah MUI dalam fatwá juga dipengaruhi secara langsung oleh polisi dan kejaksaan karena fatwá tersebut menjadi elemen kunci yang mendukung tuntutan terhadap Roy.
Artikel ini mengkaji bukti di pengadilan tentang isu kritis seputar shalat dwi-bahasa dan cara pengadilan merespons perbedaan-perbedaan dari kesaksian ahli. Pengadilan pada akhirnya tidak mendukung tuntutan penodaan agama, tapi keputusannya menunjukkan peran penting yang dimainkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan seputar agama. Artikel ini memperlihatkan bawah pengadilan tersebut pada akhirnya adalah sebuah pertarungan antara kelompok Islam konservatif dan Islam liberal, sebuah perdebatan yang tampil di arena publik secara lebih luas selama beberapa tahun.
Dalam kasus ini, Roy berhasil dituntut karena mempromosikan sebuah penafsiran praktis Islam yang tidak ortodoks, sementara perhatian terhadap bagaimana hak-haknya dapat dihargai relatif kecil. Artikel ini tidak mengkaji seluruh keputusan MK, tapi fokus pada keterangan dari MUI dan pertimbangan-pertimbangan pengadilan. MK yang mengambil metode konservatif dalam interpretasinya terhadap perlindungan konstitusional bagi hak-hak asasi manusia mengemukakan bahwa pasal 28J UUD 1945 mengizinkan pembatasan terhadap pengalaman individual dalam hak-hak asasi manusia khususnya ketika nilai-nilai agama dan keteraturan publik dipersoalkan. Interpretasi ini digunakan untuk mempertahankan status quo serta proses-proses hukum dan administratif pra-reformasi yang dibangun untuk memonitor kebebasan beragama dan ekspresinya dalam masyarakat.
Artikel ini berpendapat bahwa ketergantungan pada kaidah doktrinal oleh MUI dalam proses hukum memunculkan pertanyaan penting tentang watak demokrasi konstitusional di Indonesia. Akhirnya, situasi ini mengarah kepada pertanyaan penting tentang dasar negara dan penafsiran serta penerapan hak-hak dasar yang, dalam sebuah negara konstitusional, seharusnya tunduk pada interpretasi dan pengujian hanya oleh lembaga-lembaga negara yang tunduk pada pengawasan demokratis.
Description
Artikel ini membahas perkembangan kontemporer kebebasan beragama di Indonesia dengan studi kasus penuntutan terhadap Yusman Roy pada tahun 2005 yang mempromosikan shalat dwi-bahasa. Tujuan artikel ini adalah mengkaji interaksi antara hukum dan agama dalam sebuah negara demokratis di mana agama memainkan peran signifikan dalam kehidupan publik.
Artikel ini secara khusus fokus pada keputusan-keputusan di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) dan Pengadilan Negeri yang berkaitan dengan kebebasan beragama sebagai tempat pengujian baik bagi hak-hak asasi manusia maupun hukum kriminal. Keputusan dari pengadilan yang lebih rendah dalam kasus Roy memberi ruang untuk melihat secara lebih dekat penerapan dan penafsiran hukum yang mengatur serangan pada agama. Keputusan MK pada tahun 2010 tentang apa yang disebut undang-undang penodaan agama (PNPS 1/1965) memperlihatkan validitas wilayah hukum ini, dan menunjukkan penanganan Mahkamah kepada hak-hak individual dan komunal dalam ranah iman. Sebuah studi juga telah dilakukan terhadap konsep bid‘ah yang menjadi dasar bagi kritik doktrinal MUI terhadap praktik-praktik Roy. Pada pendapat beberapa komentator ada kecenderungan bid’ah dilihat sebagai kemurtadan.
Kondisi kasus tersebut dan respons Pengadilan Negeri memberi gambaran menarik tentang praktik kebebasan beragama. Artikel ini membahas secara detail peran yang dimainkan oleh MUI di tingkat lokal dalam kasus tersebut, termasuk dengan mengeluarkan fatwá serta keterlibatannya dengan pejabat resmi negara dan dalam proses-proses hukum dan administratif. Peran utama perwakilan MUI memperlihatkan bagaimana pandangan organisasi ini terhadap doktrin Islam mendukung pemerintah dalam berbagai aspek. Kaidah MUI dalam fatwá juga dipengaruhi secara langsung oleh polisi dan kejaksaan karena fatwá tersebut menjadi elemen kunci yang mendukung tuntutan terhadap Roy.
Artikel ini mengkaji bukti di pengadilan tentang isu kritis seputar shalat dwi-bahasa dan cara pengadilan merespons perbedaan-perbedaan dari kesaksian ahli. Pengadilan pada akhirnya tidak mendukung tuntutan penodaan agama, tapi keputusannya menunjukkan peran penting yang dimainkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan seputar agama. Artikel ini memperlihatkan bawah pengadilan tersebut pada akhirnya adalah sebuah pertarungan antara kelompok Islam konservatif dan Islam liberal, sebuah perdebatan yang tampil di arena publik secara lebih luas selama beberapa tahun.
Dalam kasus ini, Roy berhasil dituntut karena mempromosikan sebuah penafsiran praktis Islam yang tidak ortodoks, sementara perhatian terhadap bagaimana hak-haknya dapat dihargai relatif kecil. Artikel ini tidak mengkaji seluruh keputusan MK, tapi fokus pada keterangan dari MUI dan pertimbangan-pertimbangan pengadilan. MK yang mengambil metode konservatif dalam interpretasinya terhadap perlindungan konstitusional bagi hak-hak asasi manusia mengemukakan bahwa pasal 28J UUD 1945 mengizinkan pembatasan terhadap pengalaman individual dalam hak-hak asasi manusia khususnya ketika nilai-nilai agama dan keteraturan publik dipersoalkan. Interpretasi ini digunakan untuk mempertahankan status quo serta proses-proses hukum dan administratif pra-reformasi yang dibangun untuk memonitor kebebasan beragama dan ekspresinya dalam masyarakat.
Artikel ini berpendapat bahwa ketergantungan pada kaidah doktrinal oleh MUI dalam proses hukum memunculkan pertanyaan penting tentang watak demokrasi konstitusional di Indonesia. Akhirnya, situasi ini mengarah kepada pertanyaan penting tentang dasar negara dan penafsiran serta penerapan hak-hak dasar yang, dalam sebuah negara konstitusional, seharusnya tunduk pada interpretasi dan pengujian hanya oleh lembaga-lembaga negara yang tunduk pada pengawasan demokratis.