Wednesday, July 15, 2015

Islam Sebagai Agama Hibrida

IslamLib December 11, 2001 2,168 Views

Nurcholish Madjid

Saya baru saja datang dari Los Angeles dan Berkeley untuk ikut serta dalam kegiatan yang menyangkut Indonesia di kedua Universitas, UC Berkeley dan UCLA. Ada perasaan campur-aduk dari sudut pandang orang luar terhadap keberagamaan bangsa Indonesia.

Di satu pihak ada harapan-harapan, di lain pihak ada kecemasan-kecemasan. Sekarang persoalannya adalah mewujudkan dan memperbesar harapan itu dan mengurangi kecemasan, dan kalau bisa menghilangkannya sama sekali.

Misalnya tentang masalah Islam. Indonesia kini sedang dilanda oleh beberapa gejala yang oleh orang-orang Barat didentifikasi sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Mereka sangat khawatir dengan gejala ini. Tapi ketika kita ingatkan bahwa semua itu terjadi dalam kancah civil liberties, kecemasan mereka berkurang.

Semua gejala yang terjadi akhir-akhir ini adalah bagian dari kebebasan pembahasan atau wacana bebas. Dengan adanya wacana bebas ini, bukan hanya kejelasan-kejelasan yang diperoleh, tapi juga akan terjadi proses-proses penisbian, relatifisasi, bahkan lebih radikal dari itu adalah proses devaluasi.

Misalnya jihad. Jihad sekarang merupakan suatu kata-kata yang menjadi bagian dari wacana umum. Di dalam diskusi-diskusi tentang jihad, kesuburan untuk membuat argumen dipunyai oleh mereka yang baca. Bagi yang tidak membaca, sekalipun sangat rajin menggunakan jihad sebagai suatu retorika, akhirnya kehilangan landasan dan keseimbangan.

Akibatnya, perkataan jihad yang semula sedemikian menakutkan tetapi kemudian mengalami kejelasan. Dan dengan adanya kejelasan itu, maka terjadi devaluasi terhadap makna jihad sebagai retorika politik, dan karenanya kemudian menjadi isu harian semata.

Demikian juga fenomena keagamaan, terutama Islam, yang pada tahun 1980-an sering disambut dengan suatu antusiasme, bahkan sedikit banyak itu semacam teriakan tepuk tangan, yaitu apa yang disebut dengan kebangkitan Islam. Tetapi ketika itu menjadi maslah harian, maka terjadi semacam relativisasi.

Dunia Islam sekarang ini, seperti ditulis oleh para ahli, mengalami apa yang disebut predicament, semacam krisis atau kegoyahan. Salah satu indikasinya antara lain adalah fungsi dari perasaan konfrontatif dengan Barat. Saya sebut “perasaan,” karena konfrontasi sebetulnya tidak ada.

Yang ada adalah persepsi sebagai akibat dari pengalaman sejarah seperti misalnya yang secara retorika sering diulang: perang salib, penjajahan, dan lain-lain. Maka hal itu mengendap di dalam kesadaran umat Islam, atau bawah sadar umat Islam, sehingga memunculkan gejala yang sepertinya anti-Barat.

Hal itu sebetulnya merupakan suatu anomali, karena Alquran sendiri mengindikasikan, ketika dunia terbagi menjadi Roma (Barat) dan Persia (Timur), orang Islam memihak Roma, bukan memihak Persia. Begitu juga, ada surah al-Rum yang memberikan kabar gembira kepada pengikut Nabi Muhammad bahwa kekalahan Roma oleh Persia, yang sempat membuat orang-orang Mekkah, musuh Nabi, bergembira, akan disusul dengan kemenangan, dan itu terbukti.

Sekalipun secara geografis Arabia langsung berhubungan dengan Persia, bahkan di beberapa daerah di Jazirah Arab sempat mengalami Persianisasi, namun batin orang Islam atau pengikut Nabi sesungguhnya lebih dekat dengan orang-orang Roma, karena ada kaitannya dengan agama Nasrani.

Potensi pertentangan itu disadari oleh sarjana semacam Simon van Den Berg, penerjemah kitab polemisnya Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, yang sangat terkenal dan banyak mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Di sini ada hal yang patut direnungkan.

Dalam pengantarnya, Simon van Den Berg mengatakan bahwa polemik ini adalah salah satu contoh yang orang Barat sendiri tidak menyadari mengenai Islam. Dia bilang: “Kalau benar kita boleh mengatakan bahwa budaya Barat pada hakekatnya adalah Maria Sopra Minerva –agama Kristen disesuaikan dengan pola budaya setempat– maka masjid (Islam) pun didirikan di atas puing-puing kuil Yunani. Sehingga apa yang disebut dengan ilmu kalam, theologia, adalah adaptasi –paling tidak dari segi metodologi—dari cara berpikir para filsuf Yunani, terutama Aristoteles.

Karena itu, kalau orang-orang yang disebut ahlussunnah waljamaah mengklaim sebagai pengikut al-Asy’ari, di dalam definisinya mengenai Tuhan melalui perumusan sifat 20, maka sifat 20 itu sesungguhnya sangat Aristotelian.

Di sana kita lihat ada perkataan “wajib,” “boleh,” dan “mustahil.” Sehingga kalau Tuhan itu disebut abadi (qadim), maka rumusannya menjadi: secara akal Tuhan itu harus qadim, harus alpha, artinya tidak ada permulaannya, dan mustahil Tuhan itu jadid, mustahil Tuhan itu baru, dalam arti didahului oleh ketiadaan. Jadi perkataan “wajib” dan “mustahil” itu sudah menunjukkan logika Aristoteles. Dan itu sekarang menjadi bagian yang sangat sentral dalam wacana kalam di kalangan ahlussunnah.

Menurut Ibn Taimiyah, sifat 20 itu bid’ah. Benar bahwa Tuhan itu qadim, tapi, kata Ibn Taimiyah, “so what?” Secara rasional itu benar, tapi apa fungsinya? Dalam sifat 20 itu, tidak dimasukkan sifat ghafur (maha pengampun) dan sifat wadud (kasih sayang).

Alasannya karena tidak mungkin dirumuskan dengan logika Aristoteles: bahwa “Tuhan itu secara akal wajib pengampun” tak bisa, tidak logis. Itu hanya kita terima karena Tuhan mengatakan begitu tentang dirinya. Tapi bahwa Tuhan itu ada dari semua, tanpa permulaan, itu secara akal bisa dimengerti.

Budaya Islam bersifat amalgam, atau hibrida dari berbagai budaya. Lihat saja masjid, yang paling sederhana. Di Pondok Indah ada masjid yang orang sering menyebutnya sebagai Masjid Biru. Tidak ada mihrabnya dan tidak ada ruang kecil untuk imam di depan. Mengapa? Karena arsiteknya, Ismail Sufyan, menganggap bahwa mihrab adalah tiruan dari gereja. Tapi kalau konsekwen, maka mestinya tidak ada menaranya. Sebab menara adalah adaptasi dari arsitektur Persia, arsitektur kaum Majusi.

“Manarah” artinya tempat api, karena orang Majusi, kaum Zoroaster, memahami Tuhan sebagai Zat yang tak bisa digambarkan. Maka akhirnya mereka simbolkan dengan api. Api adalah suatu substansi yang tidak bisa dipegang. Oleh karena itu orang Majusi kerap dianggap menyembah api.

Untuk memperkuat kesucian api, maka api itu ditempatkan di bangunan yang tinggi, namanya manarah, tempat api, yang kemudian menjadi “menara”. Dalam uraian tentang maulid di kampung-kampung, biasanya dikatakan: ketika jabang bayi Muhammad lahir, menara-menara orang Majusi itu runtuh.

Jadi, pada waktu umat Islam berkembang begitu rupa, suara azan harus mencapai radius yang seluas-luasnya, maka mereka terpikir untuk meminjam arsitektur Majusi ini, yaitu azan dari tempat tinggi. Di zaman Nabi, azan dilakukan cuma di atas atap. Bilal, muazin Nabi, hanya naik ke atas atap yang pendek. Tapi pada masa perkembangan Islam, menara menjadi bagian dari budaya Islam. Tapi itu tak ada salahnya, karena memang budaya tak mungkin eksklusif monolitik.

Yang murni Arab tidak ada. Di dalam Alquran banyak sekali bahasa-bahasa lain. Menurut seorang ulama Arab yang hidup 1100 lalu, dalam bukunya Al-Mu’arrab, banyak sekali istilah-istilah yang sangat sentral dalam Islam yang berasal dari bahasa lain.

Misalnya shirath; al-shirath al-mustaqim, jalan yang lurus. Shirath ternyata dari Bahasa Latin “strada”. Juga al-qisth (keadilan). Qisth ternyata berasal dari bahasa Yunani, yang setelah diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi just, sebab perubahan dari Q ke G atau J itu biasa. Maka qisth itu adalah just dalam Bahasa Inggris. Qisthash itu adalah justice. Jadi jangan dikira bahwa bahasa Arab dalam Alquran itu semuanya Arab murni.

Di dalam Alquran juga ada Bahasa Melayu: kafur. Dalam suatu lukisan “nanti kita di surga akan diberi minuman yang campurannya kapur” (wayusqauna biha ka’san kana mizajuha kafura). Yang dimaksud di situ adalah kapur dari barus, yang saat itu sudah merupakan komoditi yang sangat penting di Timur Tengah, bahkan ada indikasi sejak zaman Nabi Sulaiman.

Waktu itu yang disebut kapur barus tidak digunakan untuk kepinding seperti yang sekarang kita lakukan, tapi sebagai tonic. Ia dimasak menjadi tonic, menjadi minuman yang sangat menyegarkan, dan harganya mahal sekali karena harus diimpor dari Barus.

Maka “kapur” kemudian menjadi simbol dari sesuatu yang sangat mewah dan sangat menyenangkan, sehingga di dalam Alquran dipakai untuk ilustrasi bahwa nanti minuman orang yang di sorga adalah minuman dengan campuran kapur. Dan banyak lagi yang seperti itu.

Jadi sebetulnya tidak ada budaya yang monolitik. Semuanya hibrida.

Tulisan ini merupakan bagian dari orasi ilmiah Prof Dr. Nurcholish Madjid di Taman Ismail Marzuki dalam rangka peresmian Islamic Culture Center (ICC) pada 2001.


http://islamlib.com/gagasan/islamnusantara/islam-sebagai-agama-hibrida/

Tuesday, July 14, 2015

Metodologi Islam Nusantara

nu.or.id, Ahad, 12/07/2015 12:01

Oleh Abdul Moqsith Ghazali

Ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya itu dalam ushul fikih disebut tahqiq al-manath yang dalam praktiknya bisa berbentuk mashlahah mursalah, istihsan dan `urf.

Dengan merujuk pada dalil, “apa yang dipandang baik oleh kebanyakan manusia, maka itu juga baik menurut Allah” (ma ra’ahu al-muslimuna hasanan fahuwa `inda Allah hasanun), ulama Malikiyah tak ragu menjadikan istihsan sebagai dalil hukum. Dan kita tahu, salah satu bentuh istihsan adalah meninggalkan hukum umum (hukm kulli) dan mengambil hukum pengecualian (hukm juz’i).
Sekiranya istihsan banyak membuat hukum pengecualian, maka `urf sering mengakomodasi kebudayaan lokal. Sebuah kaidah menyatakan, al-tsabitu bil `urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi “sama belaka kedudukannya” dengan sesuatu yang ditetapkan berdasar al-Qur’an-Hadits). Kaidah fikih lain menyatakan, al-`adah muhakkamah (adat bisa dijadikan sumber hukum). Ini menunjukkan, betapa Islam sangat menghargai kreasi-kreasi kebudayaan masyarakat. Sejauh tradisi itu tak menodai prinsip-prinsip kemanusiaan, maka ia bisa tetap dipertahankan. Sebaliknya, jika tradisi itu mengandung unsur yang mencederai martabat kemanusiaan, maka tak ada alasan untuk melestarikan. Dengan demikian, Islam Nusantara tak menghamba pada tradisi karena tradisi memang tak kebal kritik. Sekali lagi, hanya tradisi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dipertahankan.

Penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan adalah soko guru hukum Islam. Izzuddin ibn Abdis Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam menyatakan, tercapainya kemaslahatan manusia adalah tujuan dari seluruh pembebanan hukum dalam Islam (innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalihil `ibad). Demikian pentingnya kemaslahatan tersebut, maka kemaslahatan yang tak diafirmasi oleh teks al-Qur’an-Hadits pun bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Tentu dengan catatan, kemaslahatan itu tak dinegasi nash al-Qur’an-Hadits. Itulah mashlahah mursalah.

Dengan demikian, jelas bahwa dalam penerapan al-Qur’an dan Hadits, Islam Nusantara secara metodologis bertumpu pada tiga dalil tersebut, yaitu mashlahah mursalah, istihsan, dan `urf.  Tiga dalil itu dipandang relevan karena sejatinya Islam Nusantara lebih banyak bergerak pada aspek ijtihad tathbiqi ketimbang ijtihad istinbathi. Jika ijtihad istinbathi tercurah pada bagaimana menciptakan hukum (insya’ al-hukm), maka ijtihad tathbiqi berfokus pada aspek penerapan hukum (tathbiq al-hukm). Sekiranya ujian kesahihan ijtihad istinbathi dilihat salah satunya dari segi koherensi dalil-dalilnya, maka ujian ijtihad tathbiqi dilihat dari korespondensinya dengan aspek kemanfaatan di lapangan.

Contoh terang dari ijtihad tathbiqi adalah kebijakan Khalifah Umar ibn Khattab yang tak memotong tangan para pencuri saat krisis, tak membagi tanah hasil rampasan perang, tak memberi zakat pada para muallaf. Ketika Khalifah Umar dihujani kritik karena kesukaannya mengubah-ubah kebijakan, ia menjawab, “dzaka `ala ma qadhaina, wa hadza `ala ma naqdhi” (itu keputusanku yang dulu, dan ini keputusanku yang sekarang). Perubahan kebijakan ini ditempuh Khalifah Umar setelah memperhatikan perubahan situasi dan kondisi di lapangan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-`adat” (perubahan hukum mengikuti perubahan situasi, kondisi, dan tradisi).

Mengambil inspirasi dari kasus Sayyidina Umar ibn Khtattab tersebut, Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah hukum waris al-Qur’an misalnya. Namun, bagaimana hukum waris itu diimplementasikan sekarang. Dalam kaitan implementasi itu, di Indonesia misalnya dikenal harta gono-gini, yaitu harta rumah tangga yang diperoleh suami-istri secara bersama-sama. Harta gono-gini biasanya dipisahkan terlebih dahulu sebelum pembagian waris Islam dilakukan. Penyesuaian hukum ini dijalankan masyarakat secara turun-temurun karena rupanya narasi keluarga Islam di Indonesia berbeda dengan narasi keluarga Islam di Arab sana.

Begitu juga, tak ada yang membantah bahwa menutup aurat adalah perintah syariat. Namun, di kalangan para ulama terjadi perselisihan mengenai batas aurat. Ada ulama yang longgar, tapi ada juga ulama yang ketat dengan menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan bahkan suaranya adalah bagian dari aurat yang harus disembunyikan. Keragaman pandangan ulama mengenai batas aurat tersebut tak ayal lagi berdampak pada keragaman ekspresi perempuan muslimah dalam berpakaian. Beda dengan pakaian istri para ustadz sekarang, istri tokoh-tokoh Islam Indonesia zaman dulu terlihat hanya memakai kain-sampir, baju kebaya, dan kerudung penutup kepala. Pakaian seperti itu hingga sekarang dilestarikan salah satunya oleh istri almarhum Gus Dur, Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.

Dengan mengatakan ini semua, maka janganlah salah sangka tentang Islam Nusantara. Sebab, ada yang berkata bahwa Islam Nusantara ingin mengubah wahyu. Ketauhilah bahwa kita tak hidup di zaman wahyu. Tugas kita sekarang adalah bagaimana menafsirkan dan mengimplementasikan wahyu tersebut dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Dalam kaitan itu, bukan hanya pluralitas penafsiran yang merupakan keniscayaan. Keragaman ekspresi pengamalan Islam pun tak terhindarkan. Itu bukan sebuah kesalahan, asal tetap dilakukan dengan menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. [***]

Abdul Moqsith Ghazali, Dosen Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta.

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60834-lang,id-c,kolom-t,Metodologi+Islam+Nusantara-.phpx

Islam Nusantara: Mengapa Diributkan?

Senin, 13 Juli 2015
 
Penulis: Rumadi

SATUHARAPAN.COM – Perbincangan tentang Islam nusantara dengan berbagai variasi istilah seperti “Islam Indonesia”, “pribumisasi Islam, “Islam rahmatan lil alamin” sejatinya sudah lama terjadi. Baik sebagai wacana akademik maupun spirit gerakan keislaman di Indonesia, hal ini sudah lama muncul. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) misalnya, sejak pertengahan 1980-an sudah mendiskusikan tema ini dengan menggunakan istilah “pribumisasi Islam”. Kesadaran bahwa Islam Indonesia mempunyai ke-khas-an dengan Islam di belahan dunia Islam yang lain sudah mengendap dalam kesadaran banyak orang.

Para peneliti asing yang memotret Islam Indonesia mengamini kenyataan itu. Meskipun pada level doktrin Islam adalah satu, namun ekspresi keislaman dan kebuadayaannya bisa berbeda dengan Islam di tempat yang lain. Gairah keislaman di Indonesia tidak kalah dengan pusat-pusat Islam yang lain. Hal ini antara lain karena proses islamisasi di Indonesia dilakukan para sufi tidak dengan jalan peperangan, tapi bil himah wal mau’idhatil hasanah. Sebuah model penyebaran Islam yang dilakukan tanpa merusak dan tanpa melukai perasaan penganut keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Proses Islamisasi seperti inilah yang sekarang kita nikmati, dimana sekitar 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam.

Pertanyaannya, mengapa begitu “Islam Nusantara” dijadikan sebagai tema Muktamar NU ke-33, banyak orang rebut, meledek bahkan menyebarkan fitnah? Apalagi setelah Presiden Joko Widodo membuka Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal (14/6/2015) yang dalam pidatonya memberi apresiasi tema Islam Nusantara dalam Muktamar ke-33, banyak yang menuding tema Islam nusantara merupakan titipan pemerintah. Kata “nusantara” dianggap dekat dengan kata “maritime” yang sekarang ini menjadi semacam trademark-nya Jokowi. Di media sosial pun terjadi pro-kontra, saling meledek. Ada tanggapan yang masuk akal, namun lebih banyak tanggapan yang tak masuk akal, bahkan asal bunyi.

Kata “Islam Nusantara” meskipun persoalan lama, tapi begitu diangkat NU, kata ini mempunyai tuah dan berpeluru. Orang-orang yang terkena sasaran peluru itulah yang sekarang ini merespon negatif. Tentu saja sebagian besar dari mereka mempunyai pandangan keagamaan dan politik berbeda dengan NU.

Sasaran Tembak Islam Nusantara
Ada beberapa kelompok yang menjadi sasaran tembak istilah Islam Nusantara dalam tema muktamar NU. Pertama, kelompok yang masih mempersoalkan Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final Negara Indonesia. Salah satu spirit Islam Nusantara dalam NU adalah tidak mempertentangkan antara keislaman dan kebangsaan.  Karena itu, tema Islam nusantara pada dasarnya merupakan peneguhan identitas dan komitmen kebangsaan NU.

Komitmen kebangsaan ini menjadi sumbu penting bagi NU. Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menunjukkan relevansi kehadirannya sebagai organsiasi sosial keagamaan yang senantiasa menyatu dengan spirit kebangsaan. Para ulama pendiri NU bukan saja telah meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, tapi juga telah memberi teladan bagaimana seharusnya menjadi muslim di tengah keragaman bangsa. Keislaman yang dirintis ulama-ulama NU adalah model keislaman yang bisa menjadi jangkar kehidupan bangsa dan memayungi segala jenis perbedaan.

Jejak-jejak visi kebangsaan NU terlihat jelas dan menjadi perbincangan dari muktamar ke muktamar. Visi kebangsaan itu dibentuk dan dihasilkan dari cara pandang keagamaan –tepatnya fiqih—yang dihayati dan dipraktikkan ulama-ulama NU. Inilah yang khas dari NU. Keputusan dan langkah apapun –termasuk dalam hal politik—selalu disandarkan pada dalil dan argumentasi keagamaan (fiqih). Pada 1938 dalam Muktamar di Menes Banten misalnya, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai dar al-Islam, artinya negeri yang dapat diterima umat Islam meskipun tidak didasarkan pada Islam. Alasan NU adalah penduduk muslim dapat melaksanakan syariat, syariat dijalankan para pegawai yang juga muslim, dan negeri ini dahulu juga dikuasai raja-raja muslim. Cara pandang ini merupakan khas sunni dalam mengesahkan dan menerima sebuah kekuasaan politik sejauh membawa manfaat bagi perkembangan kehidupan keagamaan.

Resolusi Jihad NU pada 1945 yang melahirkan pertempuran 10 November di Surabaya merupakan bukti lain, bagaimana Kiai dan ulama-ulama NU berkorban untuk bangsa. Sayangnya Resolusi Jihad NU tidak dicantumkan dalam sejarah nasional, sehingga banyak generasi muda Indonesia yang tidak mengenalinya.

Sikap kenegaraan seperti inilah yang memungkinkan Indonesia secara ideologi tetap stabil meski goncangan datang silih berganti. Pandangan-pandangan keagamaannya menjadi jangkar yang bisa mengokohkan bangsa ini berdiri. Kekokohan visi kebangsaan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 ketika NU menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya adalah bentuk final.

Nah, Islam Nusantara merupakan peneguhan dari sikap politik dan kebangsaan NU ini yang sekarang mendapat banyak tantangan terutama dengan lahirnya kelompok Islam yang mengusung ideologi khilafah. Kelompok ini ideologi politiknya jelas berbeda dengan NU, karena masih mempersoalkan Pancasila dan NKRI. Karena itu, tidak aneh kalau kelompok ini tersengat dengan tema Islam Nusantara yang diusung NU.

Kedua, kelompok puritan yang hendak melakukan pemurnian Islam atau sering disebut kelompok wahabi. Mereka tidak segan-segan melakukan pengkafiran (takfir) terhadap orang atau kelompok yang berbeda. Islam Nusantara merupakan simbol dari kelenturan Islam ketika berhadapan dengan tradisi lokal. NU selama ini memerankan diri sebagai organisasi yang setia dengan tradisi keagamaan. Di pihak lain, kelompok wahabi adalah kelompok keagamaan yang anti tradisi, sehingga sering menyebut komunitas NU sebagai pengamal tahayul, bid’ah dan khurafat. Kelompok ini merasa terintimidasi dengan Islam Nusantara yang diusung NU, apalagi tema ini menguat dan akan menjadi identitas keislaman bangsa Indonesia.

Ketiga, kelompok yang cenderung menghalalkan kekerasan untuk menyiarkan dan menyebarkan Islam. Kelompok ini tidak segan-segan melakukan pemaksaan dan perusakan terhadap apa saja yang mereka anggap sebagai tempat maksiat, kelompok yang disesatkan, simbol-simbol kemusyrikan dan sebagainya.

Nah, Islam nusantara yang diusung NU justru anti terhadap tindakan kekerasan dalam berdakwah. Sebejat apapun seseorang tidak boleh diperangi sejauh mereka tidak memerangi umat Islam. Dakwah amar makruf harus dilakukan dengan cara-cara yang makruf (baik), mencegak kemungkaran (nahy ‘anil munkar) harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak membawa kemungkaran. Prinsip berdakwah seperti inilah yang menjadi spirit Islam Nusantara yang telah dipraktikkan para sufi dan Wali di Jawa pada abad 15.

Kombinasi dari tiga kelompok inilah yang meributkan Islam Nusantara. NU sebagai organisasi besar tentu tidak boleh mundur hanya karena temanya diributkan beberapa kalangan. Mereka yang meributkan memang garis perjuangannnya berbeda dengan garis perjuangan NU.

Penulis adalah Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior the WAHID Institute Jakarta

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/islam-nusantara-mengapa-diributkan

Monday, July 6, 2015

Menjawab Islam Nusantara

Koran SINDO, Senin, 6 Juli 2015 − 10:31 WIB

Oleh : Muhammad Sulton Fatoni*

Membaca artikel opini Faisal Ismail, Menyoal Islam Nusantara, di koran ini edisi Rabu, 1 Juli 2015, mendorong saya untuk menulis opini balik.

Saya sengaja memberi judul Menjawab Islam Nusantara agar tulisan ini fokus memberikan catatan atas beberapa persoalan yang dikemukakan Faisal Ismail. Beberapa saja yang perlu saya beri catatan di sini mengingat keterbatasan kesempatan. Pertama , saya ingin memulai dari tema ”Islam: the Straight Path” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ”Islam: Jalan Lurus”, atau ”Islam: Shirat al- Mustaqim .”

Memaknai Islam: the straght path dengan Islam: jalan lurus tidak menimbulkan pergeseran pemahaman. Namunmenjadi persoalan besar jika menyamakan makna Islam: the straight path (Islam: jalan lurus) dengan Islam: shirath al-mustaqim . Rangkaian kata shirath almustaqim terdapat dalam Surat Al-Fatihah ayat 6 yang lengkapnya, ihdina al-shirath al-mustaqim. Maksud kata shirath dalam nash tersebut adalah agama Islam. Sedangkan maksud mustaqim dalam ayat tersebut adalah kemapanan tanpa distorsi (Ahmad as-Showy, 1813).

Sehingga, jika dirangkai dalam satu kalimat, Islam: shiratal-mustaqim menimbulkan kekacauan arti yang bersumber dari kesalahan merangkai kata. Padahal Rasulullah SAW menegaskan bahwa Islam itu kesaksian ketuhanan hanya Allah, kerasulan Muhammad SAW, komitmen melaksanakan salat, mengeluarkanzakat, puasa Ramadhan, dan pergi haji saat mampu (Imam Muslim, 875).

Begitu juga merangkai ”Islam” dengan kalimat rahmatan li al-alamin. Kalimat ini terdapat dalam Surat Al-Anbiya: 107, wama arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin (Aku tidak utus engkau Muhammad kecuali untuk mengasihi alam semesta). Ibn Abbas menegaskan bahwa subyek dari misi ”mengasihi alam semesta” adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan objeknya adalah seluruh umat manusia (at-Thabari: 919).

Maka rangkaian kata ”Islam rahmatan li al-Alamin” pun memunculkan kekacauan arti yang disebabkan oleh kesalahan merangkai kata. Fakta di atas tentu problem besar mengingat kedua kalimat tersebut (shirat al-mustaqim dan rahmatan li al-alamin) adalah bagian dari teks Alquran. Padahal, telah menjadi kesepakatan ulama bahwa hanya orang-orang dengan kriteria tertentu saja yang punya otoritas untuk memaknai Alquran. ***

Lalu bagaimana dengan terma ”Islam Nusantara”? Dua kata ini sebenarnya membutuhkan penjelasan sederhana. Islam dan Nusantara adalah dua kata yang masingmasing mempunyai makna dan kedua kata tersebut digabungkan untuk membentuk frase. Maka jadilah rangkaian Islam Nusantara yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru.

Dalam ilmu bahasa Indonesia, jenis penggabungan kata ini disebut aneksi. Karena masuk dalam kategori aneksi, maka terma Islam Nusantara sama saja dengan terma Islam di Nusantara, atau Islam dan Nusantara. Maka pilihan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atas terma Islam Nusantara itu cukup logis dan ilmiah dengan pertimbangan tidak menyalahi pakem ilmu bahasa Indonesia; dan tidak merusak arti Islam dan Nusantara.

Maka, mengkritik terma Islam Nusantara dengan pendekatan ilmu linguistik Arab teori nisbat tentu mengadaada. Sekali lagi, kata Nusantara dalam rangkaian Islam Nusantara– dalam berbagai tulisan para pemikir NU–itu bukan untuk kategorisasi. Nusantara dalam konteks linguistik hanya menerangkan teritori di mana penghuninya memeluk agama Islam. Begitu juga mengkritik Islam Nusantara dengan pisau analisa pendapat Koentjaraningrat.

Sudah sepatutnya Koentjaraningrat berpendapat bahwa agama itu titah Tuhan dan sebaiknya tidak berusaha mengembangkan suatu agama Islam khas Indonesia. Pernyataan Koentjaraningrat tersebut berkesesuaian dengan prinsip Islam sebagai ajaran yang mapan tanpa distorsi (shirath almustaqim ).

Hanya saja terma Islam Nusantara bukanlah bentuk pengembangan agama Islam. Islam Nusantara itu paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat (Afifuddin Muhajir, 2015). Spirit Islam Nusantara adalah praktik berislam yang didahului dialektika antara teks-teks syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal.

Perspektif ushul fiqh , proses dialektika antara teks-teks syariah dengan realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal itu sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan pasti terjadi mengingat Islamituajaranyanguniversal. Dan Islam Nusantara adalah wujud Islam yang universal mengingat ia telah dipeluk oleh ratusan juta penduduk Nusantara dan telah melahirkan ratusan ribu produk hukumdankhazanahkeislaman lain.

Bertolak dari pemahaman di atas, tak perlu takut Islam terdistorsi gara-gara muncul terma Islam Nusantara, atau bahkan nanti menyusul muncul terma Islam Amerika, Islam Eropa, Islam Australia, Islam Afrika, dan lainnya. ***

Terlepas dari kajian sisi linguistiknya yang masih diperdebatkan, terma Islam Nusantara dan Islam rahmatan li alalamin mempunyai spirit sama mengingat keduanya lahir dari rahim Nahdlatul Ulama. Hanya dari sisi konsekuensinya, Islam Nusantara lebih selamat mengingat tidak menimbulkan kekacauan arti.

Pada kesempatan ini saya justru mengkritik Faisal Ismail tentang konversi kepercayaan non-Islam ke agama Islam. Betulkah konversi itu terjadi? Sedekah laut yang dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim pada musim tertentu itu bukan wujud konversi dari kepercayaan non-Islam ke agama Islam. Sesungguhnya di sana telah terjadi dialektika antara nash syariah dan budaya setempat sehingga tak terjadi pertentangan antara Islam dan budaya setempat.

Jika proses sedekah di laut itu sebatas konversi tentu tak ada gunanya Islam mereka anut. Begitu juga dengan kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul yang dianut oleh sebagian muslim di pesisir pantai, salah besar jika kedatangan Islam hanya sekadar melakukan konversi. Catatan terakhir, saya sepakat dengan Faisal Ismail bahwa di mana saja (Yaman, Suriah, Irak, Mesir, Malaysia, Pakistan, dan Indonesia) Islam mengajarkan keramahan, kerukunan, dan perdamaian.

Hanya, saya tidak sepakat jika Faisal berpendapat bahwa kekerasan dan peperangan di suatu negara muslim tertentu hanya harus dilihat dari konstelasi politiknya. Pengalaman PBNU mendamaikan beberapa suku di Afghanistan yang terlibat aksi kekerasan hingga kini tidak murni karena persoalan politik. Antarsuku masih mempunyai problem ideologis dan teologis dalam memandang negara perspektif Islam. Mereka juga masih mempersoalkan hubungan Islam dan nasionalisme.

Kasus yang sama terjadi di Indonesia pada 1960-an dengan meletusnya pemberontakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo (Jawa Barat), Daud Beureuh (Aceh), dan Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan). Meski awalnya sebagian sejarah menganalisis sebagai persoalan politik, namun dalam perkembangannya mereka mempertentangkan antara nasionalisme dan Islam.

Aksi kekerasan di Indonesia adalah sejarah yang tak perlu diingkari. Namun, sejarah kekerasan yang singkat tersebut bukan berarti meruntuhkan terma Islam Nusantara yang mempromosikan kedamaian Indonesia yang telah berlangsung dalam skala yang lebih luas dan rentang waktu yang sudah ratusan tahun.

Menilik ajaran Islam yang berkembang di Indonesia, masyarakat muslim Indonesia bukan lahan subur bagi aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama (Azyumardi Azra, 2015). Di antara buktinya, pada Muktamar di Banjarmasin tahun 1927 Nahdlatul Ulama menyerukan ”perang kebudayaan” melawan penetrasi budaya Barat yang dibawa Belanda.

Di susul pada tahun 1928 di mana NU memutuskan untuk memberikan perlindungan dan memperjuangkan keadilan secara kolektif dan masif bagi masyarakat Nusantara yang merasa terancam (dokumen PBNU, 1928).

Karena itulah Wahabisme tidak laku di Indonesia, meski telah dipasarkan sejak awal 1920-an. Memang benar kelompok Wahabi bukan teroris tapi satu digit lagi berpotensi jadi teroris karena mereka dilengkapi referensi, tinggal berani atau tidak (Said Aqil Siradj, 2014).

Muhammad Sulton Fatoni
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta

source: http://nasional.sindonews.com/read/1020536/18/menjawab-islam-nusantara-1436153324/2


Thursday, July 2, 2015

Islam Nusantara

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 21 Juni 2015

Saya punya kebiasaan jalan kaki santai setiap pagi di kompleks perumahan tempat tinggal saya dan kampung sekitarnya. Maka, pada hari pertama Ramadan 1436 H (18 Juni 2015) ini, saya pun tetap melakukan kebiasaan saya itu.
Tetapi, berbeda dari biasanya, pada pagi ini warung-warung makan dan pedagang kaki lima (PKL) penjual gorengan semuanya tutup. PKL tukang sayur yang biasanya ada beberapa, cuma tinggal satu. Begitu juga orang-orang yang biasa berolahraga pagi bersama saya (ada yang jogging, bersepeda, ada yang mengajak anjingnya, ada yang mengajak dua anjingnya, ada yang mengajak istrinya, bahkan ada yang mengajak dua istrinya... jangan ketawa, ini serius, loh), tiba-tiba sebagian besar menghilang.
Digantikan oleh beberapa kelompok anak-anak yang sepertinya libur sekolah dan memilih untuk tidak tidur lagi sesudah sahur, melainkan berjalan- jalan bersama temanteman. Tampak ada perubahan drastis antara hari biasa dan hari Ramadan. Seperti di Arab Saudi yang pernah saya dengar. Di Saudi selama bulan puasa orang membalikkan hari. Siang jadi malam (orang tidur saja karena dipercaya tidur pun berpahala selama Ramadan) dan malam jadi siang (kantor-kantor, perdagangan, jual-beli dilaksanakan pada malam hari).
Tetapi, yang terjadi di lingkungan rumah saya bukan Arabisasi. Warung makan dan PKL tutup karena captive market-nya hilang (tidak ada yang beli), bukan karena larangan menutup tempat makan selama Ramadan. Bapak-bapak pada umumnya melanjutkan tidur dulu sesudah sahur agar nanti fresh untuk ke kantor.
Setelah lelah berjalan kaki, seperti biasa saya duduk di depan TV sambil mengobrol dengan istri saya. Kebetulan tayangan infotainment pagi itu adalah tentang artis bernama LCB yang membuka butik baju muslimah. Artis ini belum setahun berjilbab, setelah sebelumnya dia berpacaran dengan pria non-Indonesia dan nonmuslim pula, tetapi dalam tayangan infotainment pagi itu ia mendemonstrasikan cara memakai jilbab (atau sering disebut juga ”hijab”) cantik dengan menggunakan sedikit saja jarum pentol.
Ini pekerjaan yang menakjubkan karena pengalaman saya dengan anak saya, dia selalu mau pinjam jarum pentol dari ibunya, setiap kali mau memasang jilbabnya (kalau pas sedang menginap di rumah kami) dan selalu dijawab istri saya, ”Enggak ada”, padahal ada (indahnya tidak berbagi... daripada kehabisan sendiri...).
Tetapi, jujur saja pada 1980- an, makin maraknya perempuan berhijab ketika itu pernah saya cemaskan sebagai ancaman Arabisasi. Usaha perlawanan dari pemerintah lumayan keras misalnya dengan melarang siswi- siswi sekolah-sekolah negeri untuk berhijab di sekolah-sekolah negeri. Kekhawatiran saya dan saya kira pemerintah juga adalah terancamnya budaya Indonesia, termasuk merosotnya harkat wanita Indonesia, yang turun menjadi seperti wanita-wanita di Arab Saudi, yang tidak punya hak suara atau hak pilih, tidak boleh mengemudi kendaraan,
dan harus memakai gamish serbahitam dan bercadar walaupun di dalamnya dia memakai tank top atau bahkan hanya berbikini (wanita Arab berdandan hanya untuk pamer kepada sesama wanita atau suami). Memang sejak 30 tahunan yang lalu itu, sampai sekarang, makin marak perempuan Indonesia berjilbab. Tetapi, jilbab di Indonesia masih memungkinkan kita melihat kecantikan wanita Indonesia.
Wajah tidak ditutup cadar dan full make up (termasuk bulu mata palsu) masih dapat kita saksikan. Selain itu, hijab pun bisa dimodel-modelkan, dengan teknik pemakaian ataupun pemilihan warna-warninya agar sesuai dengan busana, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya. Kalau belum puas melihat di TV, bisa masuk ke butik busana muslim dan di sana semuanya ada dan serbacantik.
Wanita-wanita Indonesia pemakai hijab pun tidak sertamerta terdegradasi harkatnya. Anak saya (yang suka pinjam jarum pentol itu) masih associate director di tempat kerjanya dan masih berenang dengan baju renang khusus muslimah yang menutup aurat dari ujung ke ujung. Bahkan sekarang Polwan, yang sudah diizinkan berjilbab, bisa mengatur lalu lintas dengan full jilbab. Alhamdullilah, naluri budaya lokal masih kuat dan melawan dengan cerdik tekanan Arabisasi dalam tradisi berbusana.
Beberapa hari yang lalu, dalam rangka Munas NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Presiden Jokowi melontarkan istilah ”Islam Nusantara”. Maksudnya adalah Islam di Indonesia punya model sendiri yang tidak usah meniruniru Arab. Islam Nusantara adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia yang bersifat toleran, moderat, damai, inklusif, dan membaur dengan budaya lokal.
Istilah ini langsung menimbulkan protes. Alasannya adalah di Alquran tidak ada kata Islam Nusantara. Islam Nusantara juga tidak diperlukan karena Islam ya Islam, tidak perlu dikasih embel-embel apa pun, karena Islam itu universal. Pertanyaannya sekarang, adakah Islam universal itu? Walaupun agama datang dari langit, dari Allah, tetapi ketika dipraktikkan oleh manusia di bumi, mau atau tidak mesti berangkulan dengan budaya.
Karena itulah, di Sumatera Barat ada Islam yang matriakhal, di Jawa ada Islam yang percaya pada Nyai Loro Kidul, menara Masjid Kudus berbentuk seperti pura Hindu, pancuran tempat umat berwudu berornamen kepala arca (dan tidak satu pun umat yang kemudian memuja arca itu), dan lainnya. Tetapi, Islam Nusantara memang tidak bisa dipaksakan di Afghanistan atau Pakistan atau Arab Saudi sendiri. Tetapi juga tidak bisa Islamnya Arab dipaksakan di Indonesia.
Indonesia mengenal Islam melalui jalur damai dengan gaya dakwah Wali Songo, padahal universalisasi atau Arabisasi Islam selalu dengan kekerasan (sweeping, teror, dan sebagainya). Karena itulah, Islam Nusantara (termasuk mengaji dengan langgam Jawa) secara refleks menolak universalisasi Islam melalui caranya artis LCB mempromosikan teknik berhijab-minimum jarum pentol.