Abdul Moqsith Ghazali July 15, 2015 605 Views
IslamLib – Tak bisa dipungkiri mengenai terlalu dominannya fikih-madzhab Syafii di lingkungan NU. Ini menurut (Alm.) Kiai Sahal Mahfudz, bukan karena para kiai NU menolak aqwal di luar fikih Syafii, melainkan karena keterbatasan referensi fikih non-Syafii yang dimiliki para kiai NU. Namun, pada hemat saya, masalah sebenarnya bukan terletak pada apakah kita pro-Imam Syafii dan kontra imam madzhab lain, tapi pada apakah kita pro-para ulama Syafiiyah dan “kontra” Imam Syafii.
Betapa sering disaksikan, ketika berbicara mengenai fikih Syafii misalnya, para kiai lebih suka merujuk pada buku-buku karya ulama Syafiiyah seperti Imam Nawawi dan Imam Rofii ketimbang pada buku-buku fikih karya Imam Syafii seperti al-Umm, al-Imla’, dan lain-lain.
Dengan perkataan lain, para kiai lebih menyukai hasil interpretasi ulama Syafiiyah ketimbang langsung merujuk pada buku-buku fikih karya Imam Syafii sendiri. Karena itu, tak ayal lagi sekiranya para santri pondok pesantren mengetahui fikih Syafii via penjelasan para ulama Syafiiyah bukan dari buku-buku Imam Syafii secara langsung.
Bahkan, di lingkungan ulama Syafiiyah sendiri, seperti dianjurkan Syatha al-Dimyathi, para kiai NU secara formal telah bersepakat untuk bersandar pertama-tama pada pendapat yang disepakati Imam Nawawi dan Imam Rofii. Pertanyaannya kemudian; dimana posisi pendapat ulama Syafiiyah lain seperti Imamul Haramain, Imam Ghazali, Ibnu Daqiqil ‘Id, Zakaria al-Anshari, Khathib al-Syarbini, dan lain-lain.
Atas dasar itu, sebagian intelektual NU secara terus terang berkata bahwa NU sebenarnya bukan bermadzhab Syafii tapi bermadzhab Nawawi atau Rofii (bukan syafi’iyyul madzhabtapi nawawiyyul madzhab; bukan Syafi’iyul madzhab tapi syafi’iyatul madzhab).
Tentu saja pandangan ini tak sepenuhnya benar, karena tak dijumpai perbedaan tajam antara pendapat Imam Syafii dan pendapat ulama Syafiiyah. Dalam banyak kasus fikih, ulama Syafiiyah cenderung menyetujui, mengelaborasi dan menambahkan argumen fikih Syafii. Penting dikemukakan, sebagian kiai memang kerap memperlakukan para ulama Syafiiyah secara tak sejajar.
Padahal, tak menutup kemungkinan, argumen Imam Nawawi dalam suatu kasus kalah kuat dengan argumen yang disuguhkan Zakaria al-Anshari dalam kasus yang sama. Begitu juga sebaliknya pada kasus yang lain. Karena itu, seperti kurang arif, jika kita mengunggulkan pendapat Syaikhani (Nawawi-Rofii) dalam semua perkara fikih dan “menomor-sekiankan” pendapat ulama Syafiiyah lain dalam semua masail fiqhiyyah.
Namun, menarik dicermati. Walau secara de jure NU telah menyepakati, pendapat yang disepakati Imam Nawawi-Imam Rofii berada pada level puncak, dalam prakteknya secara de facto tak terlampau jelas demikian. Bisa disaksikan, ketika bahtsul masa’il terselenggara, para kiai NU tak terbebani untuk pertama-tama mencari pendapat yang disepakati Syaikhani, lalu Imam Nawawi, Imam Rofii, dan seterusnya.
Dalam penelusuran ta’bir, para kiai bisa memungut ta’bir kitab secara bebas, berselancar dari satu kitab fikih ke kitab fikih lain. Tak terlihat ada sekat psikologis yang menghalangi para kiai untuk berpindah-pindah kitab fikih walau masih dalam rumpun kutub Syafiiyah. Karena itu, keputusan dalam Muktamar NU Surabaya yang cenderung mengglorifikasi Imam Nawawi-Imam Rofii perlu diubah untuk disesuaikan dengan asas kesetaraan yang telah lama berlangsung dalam bahtsul masa’il NU.
Melalui Munas NU di Lampung tahun 1992, para kiai NU juga mengintroduksi kemungkinan melakukan ilhaq al-masa’il bi nadha’iriha. Ilhaq ini sengaja diajukan konon untuk menghindar dari melakukan qiyas yang nota bene merupakan domain para mujtahid, sementara para kiai NU merasa belum berada di level mujtahid itu. Dan kita tahu, dalam ilhaq, yang dijadikan mulhaq bih adalah aqwalul ulama, sementara aqwalul ulama itu sendiri adalah hasil ijtihad para ulama yang terikat dengan ruang dan waktu.
Artinya, berbeda dengan qiyas yang maqis ‘alaihi-nya adalah sesuatu yang tetap-tak berubah (tsawabit), maka mulhaq bih di dalam ilhaqadalah sesuatu yang dinamis dan berubah (mutaghayyirat). Pertanyaannya, bagaimana sesuatu yang rentan terhadap perubahan bisa dijadikan sandaran dalam merespons soal-soal fikih yang terus berkembang? Karena itu, ada tawaran, yang dilakukan para kiai NU itu seharusnya qiyas bukan ilhaq. Persis di sini sandungannya. Jika kita mendorong penggunaan qiyas, maka kita akan berhadapan dengan keengganan para kiai untuk berqiyas.
Telah lama dikeluhkan, bahtsul masail NU lebih banyak merupakan aktivitas untuk mencocok-cocokkan kasus-kasus hukum (waqai’ fiqhiyyah) dengan ‘ibaratul kutub.Keluhan ini dibangun di atas kesadaran bahwa sekalipun kasus hukum yang ada sekarang tampak serupa dengan kasus lama yang sudah ditangani para ulama lampau, hakekatnya tetaplah kasus lama dan kasus baru itu berbeda.
Sebab, konteks zamannya sudah beda dan manusia yang menjadi obyek hukumnya pun juga beda. Untuk mengukuhkan kesadaran itu, maka dikutiplah perkataan al-Syathibi, “Setiap perkara yang datang adalah perkara baru (umurun musta’nafah)”, karena sesungguhnya tak ada perkara yang berulang.
Untuk menghindari bahtsul masail hanya merupakan kerja pencocokan ibaratul kutubitu, para kiai menyelenggarakan halaqah di PP Watucongol Muntilan Magelang pada tanggal 15-17 Desember 1988 dengan tema “Telaah Kitab Kuning Secara Kontekstual”.
Poin-poin yang dihasilkan dalam halaqah tersebut, di antaranya adalah; [a]. memahami teks kitab klasik harus dengan konteks sosial-historisnya; [b]. mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab; [c]. memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain, baik dalam lingkup madzhab Syafii maupun di luar madzhab; [d]. Meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik;
[e]. mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan bahasa yang komunikatif. Poin-poin itu tentu cukup brilian. Tapi, ntah karena sibuk atau apa, sebagian kiai tak suka melakukaan penelaahan kitab kuning secara kontektual.
Lebih maju lagi, melalui Munas Lampung tahun 1992, NU mengajak audiens ulama NU untuk melakukan istinbath jamai dengan tetap bertumpu pada manhaj (ushul fikih) imam madzhab. Ini terutama untuk menangani kasus-kasus fikih baru yang belum pernah ada zaman dahulu. Namun, sampai sekarang belum dirumuskan perihal mekanisme istinbath jamai tersebut.
Apakah istinbath jamai itu sama belaka denganijtihad jamai seperti disuarakan para ulama non-NU selama ini? Belum juga terjabarkan mengenai manhaj siapa yang akan menjadi pegangan? Apakah dimungkinkan melakukan “talfiq manhaji”? Ataukah, jika secara qawli kita melakukan “al-tamadzhub bi madzhabin mu’ayyan”, maka apakah secara metodologis kita juga perlu “al-tamanhuj bi manhajin mu’ayyan”. Di sinilah, kita memerlukan kajian khusus untuk memilih satu metodologi dari beragam metodologi yang sudah ada.
Inilah pokok-pokok pikiran yang bisa menjadi renungan akademis kita bersama, sebelum kita merumuskan Metode Bahtsul Masail NU secara final di arena muktamar NU nanti di Jombang Jawa Timur 1-5 Agustus 2015. In sya’a Allah. In uridu illa al-Ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah.
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam halaqah terbatas yang diselenggarakan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Jakarta, 5 Pebruari 2015.
http://islamlib.com/lembaga/nahdlatululama/metode-bahtsul-masail-nu/
IslamLib – Tak bisa dipungkiri mengenai terlalu dominannya fikih-madzhab Syafii di lingkungan NU. Ini menurut (Alm.) Kiai Sahal Mahfudz, bukan karena para kiai NU menolak aqwal di luar fikih Syafii, melainkan karena keterbatasan referensi fikih non-Syafii yang dimiliki para kiai NU. Namun, pada hemat saya, masalah sebenarnya bukan terletak pada apakah kita pro-Imam Syafii dan kontra imam madzhab lain, tapi pada apakah kita pro-para ulama Syafiiyah dan “kontra” Imam Syafii.
Betapa sering disaksikan, ketika berbicara mengenai fikih Syafii misalnya, para kiai lebih suka merujuk pada buku-buku karya ulama Syafiiyah seperti Imam Nawawi dan Imam Rofii ketimbang pada buku-buku fikih karya Imam Syafii seperti al-Umm, al-Imla’, dan lain-lain.
Dengan perkataan lain, para kiai lebih menyukai hasil interpretasi ulama Syafiiyah ketimbang langsung merujuk pada buku-buku fikih karya Imam Syafii sendiri. Karena itu, tak ayal lagi sekiranya para santri pondok pesantren mengetahui fikih Syafii via penjelasan para ulama Syafiiyah bukan dari buku-buku Imam Syafii secara langsung.
Bahkan, di lingkungan ulama Syafiiyah sendiri, seperti dianjurkan Syatha al-Dimyathi, para kiai NU secara formal telah bersepakat untuk bersandar pertama-tama pada pendapat yang disepakati Imam Nawawi dan Imam Rofii. Pertanyaannya kemudian; dimana posisi pendapat ulama Syafiiyah lain seperti Imamul Haramain, Imam Ghazali, Ibnu Daqiqil ‘Id, Zakaria al-Anshari, Khathib al-Syarbini, dan lain-lain.
Atas dasar itu, sebagian intelektual NU secara terus terang berkata bahwa NU sebenarnya bukan bermadzhab Syafii tapi bermadzhab Nawawi atau Rofii (bukan syafi’iyyul madzhabtapi nawawiyyul madzhab; bukan Syafi’iyul madzhab tapi syafi’iyatul madzhab).
Tentu saja pandangan ini tak sepenuhnya benar, karena tak dijumpai perbedaan tajam antara pendapat Imam Syafii dan pendapat ulama Syafiiyah. Dalam banyak kasus fikih, ulama Syafiiyah cenderung menyetujui, mengelaborasi dan menambahkan argumen fikih Syafii. Penting dikemukakan, sebagian kiai memang kerap memperlakukan para ulama Syafiiyah secara tak sejajar.
Padahal, tak menutup kemungkinan, argumen Imam Nawawi dalam suatu kasus kalah kuat dengan argumen yang disuguhkan Zakaria al-Anshari dalam kasus yang sama. Begitu juga sebaliknya pada kasus yang lain. Karena itu, seperti kurang arif, jika kita mengunggulkan pendapat Syaikhani (Nawawi-Rofii) dalam semua perkara fikih dan “menomor-sekiankan” pendapat ulama Syafiiyah lain dalam semua masail fiqhiyyah.
Namun, menarik dicermati. Walau secara de jure NU telah menyepakati, pendapat yang disepakati Imam Nawawi-Imam Rofii berada pada level puncak, dalam prakteknya secara de facto tak terlampau jelas demikian. Bisa disaksikan, ketika bahtsul masa’il terselenggara, para kiai NU tak terbebani untuk pertama-tama mencari pendapat yang disepakati Syaikhani, lalu Imam Nawawi, Imam Rofii, dan seterusnya.
Dalam penelusuran ta’bir, para kiai bisa memungut ta’bir kitab secara bebas, berselancar dari satu kitab fikih ke kitab fikih lain. Tak terlihat ada sekat psikologis yang menghalangi para kiai untuk berpindah-pindah kitab fikih walau masih dalam rumpun kutub Syafiiyah. Karena itu, keputusan dalam Muktamar NU Surabaya yang cenderung mengglorifikasi Imam Nawawi-Imam Rofii perlu diubah untuk disesuaikan dengan asas kesetaraan yang telah lama berlangsung dalam bahtsul masa’il NU.
Melalui Munas NU di Lampung tahun 1992, para kiai NU juga mengintroduksi kemungkinan melakukan ilhaq al-masa’il bi nadha’iriha. Ilhaq ini sengaja diajukan konon untuk menghindar dari melakukan qiyas yang nota bene merupakan domain para mujtahid, sementara para kiai NU merasa belum berada di level mujtahid itu. Dan kita tahu, dalam ilhaq, yang dijadikan mulhaq bih adalah aqwalul ulama, sementara aqwalul ulama itu sendiri adalah hasil ijtihad para ulama yang terikat dengan ruang dan waktu.
Artinya, berbeda dengan qiyas yang maqis ‘alaihi-nya adalah sesuatu yang tetap-tak berubah (tsawabit), maka mulhaq bih di dalam ilhaqadalah sesuatu yang dinamis dan berubah (mutaghayyirat). Pertanyaannya, bagaimana sesuatu yang rentan terhadap perubahan bisa dijadikan sandaran dalam merespons soal-soal fikih yang terus berkembang? Karena itu, ada tawaran, yang dilakukan para kiai NU itu seharusnya qiyas bukan ilhaq. Persis di sini sandungannya. Jika kita mendorong penggunaan qiyas, maka kita akan berhadapan dengan keengganan para kiai untuk berqiyas.
Telah lama dikeluhkan, bahtsul masail NU lebih banyak merupakan aktivitas untuk mencocok-cocokkan kasus-kasus hukum (waqai’ fiqhiyyah) dengan ‘ibaratul kutub.Keluhan ini dibangun di atas kesadaran bahwa sekalipun kasus hukum yang ada sekarang tampak serupa dengan kasus lama yang sudah ditangani para ulama lampau, hakekatnya tetaplah kasus lama dan kasus baru itu berbeda.
Sebab, konteks zamannya sudah beda dan manusia yang menjadi obyek hukumnya pun juga beda. Untuk mengukuhkan kesadaran itu, maka dikutiplah perkataan al-Syathibi, “Setiap perkara yang datang adalah perkara baru (umurun musta’nafah)”, karena sesungguhnya tak ada perkara yang berulang.
Untuk menghindari bahtsul masail hanya merupakan kerja pencocokan ibaratul kutubitu, para kiai menyelenggarakan halaqah di PP Watucongol Muntilan Magelang pada tanggal 15-17 Desember 1988 dengan tema “Telaah Kitab Kuning Secara Kontekstual”.
Poin-poin yang dihasilkan dalam halaqah tersebut, di antaranya adalah; [a]. memahami teks kitab klasik harus dengan konteks sosial-historisnya; [b]. mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab; [c]. memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain, baik dalam lingkup madzhab Syafii maupun di luar madzhab; [d]. Meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik;
[e]. mampu menghadapkan kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual dengan bahasa yang komunikatif. Poin-poin itu tentu cukup brilian. Tapi, ntah karena sibuk atau apa, sebagian kiai tak suka melakukaan penelaahan kitab kuning secara kontektual.
Lebih maju lagi, melalui Munas Lampung tahun 1992, NU mengajak audiens ulama NU untuk melakukan istinbath jamai dengan tetap bertumpu pada manhaj (ushul fikih) imam madzhab. Ini terutama untuk menangani kasus-kasus fikih baru yang belum pernah ada zaman dahulu. Namun, sampai sekarang belum dirumuskan perihal mekanisme istinbath jamai tersebut.
Apakah istinbath jamai itu sama belaka denganijtihad jamai seperti disuarakan para ulama non-NU selama ini? Belum juga terjabarkan mengenai manhaj siapa yang akan menjadi pegangan? Apakah dimungkinkan melakukan “talfiq manhaji”? Ataukah, jika secara qawli kita melakukan “al-tamadzhub bi madzhabin mu’ayyan”, maka apakah secara metodologis kita juga perlu “al-tamanhuj bi manhajin mu’ayyan”. Di sinilah, kita memerlukan kajian khusus untuk memilih satu metodologi dari beragam metodologi yang sudah ada.
Inilah pokok-pokok pikiran yang bisa menjadi renungan akademis kita bersama, sebelum kita merumuskan Metode Bahtsul Masail NU secara final di arena muktamar NU nanti di Jombang Jawa Timur 1-5 Agustus 2015. In sya’a Allah. In uridu illa al-Ishlah ma istatha’tu wa ma taufiqi illa bi Allah.
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam halaqah terbatas yang diselenggarakan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Jakarta, 5 Pebruari 2015.
http://islamlib.com/lembaga/nahdlatululama/metode-bahtsul-masail-nu/