NU.or.id, Rabu, 20/03/2013 12:35
M. ULINNUHA KHUSNAN*
M. ULINNUHA KHUSNAN*
Islam masuk ke Indonesia atau lebih luas wilayah
Nusantara dengan jalan damai. Kedamaian itu terjadi karena para penyebar
Islam kala itu menggunakan metode yang jitu dan arif. Metode inilah
yang disebut oleh Abdul Muchith Muzadi (2006:34) sebagai metode dakwah
persuasif bukan konfrontatif.
Tidak heran bila Islam Indonesia pada awal kemunculannya tidak mengenal kekerasan dan ekstrimisme, baik ekstrimisme kiri atau kanan. Ajaran Islam Nusantara sejatinya juga tidak condong kepada gerakan Islam radikal juga tidak permisif pada gerakan Islam liberal.
Sikap moderat seperti itu antara lain disebabkan kelihaian para penyebar Islam dalam memformulasi ajaran Islam dengan tradisi lokal. Walisongo misalnya, menjadikan tradisi wayang, gending, ziarah dan pertunjukan silat sebagai sarana dakwah yang paling jitu dan spektakuler. Dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya, Walisongo berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Jawa dengan damai tanpa perlawanan yang berarti dari penduduk pribumi.
Metode dan sikap yang arif dan bijak tersebut dirumuskan oleh para pendakwah Islam, khususnya Walisongo, dari ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw, kemudian diformulasikan menjadi sebuah ajaran Islam Indonesia yang khas dan membumi yang dikenal dengan ajaran tepo seliro. Ajaran tepo seliro ini ternyata dibangun di atas empat prinsip ajaran Islam yaitu prinsip at-tawassuth (moderat), at-tawâzun (seimbang), al-i’tidal (adil) dan at-tasâmuh (toleran) (Ahmad Shiddiq, 1979;40-44). Ajaran Tepo Seliro yang terbangun dari empat prinsip inilah yang penulis sebut sebagai ajaran autentik Islam Indonesia.
Upaya Menghidupkan Ajaran Islam Nusantara
Hilangnya ajaran autentik Islam Indonesia dari generasi bangsa berdampak cukup serius. Tidak saja memberangus nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin, tapi dalam skala tertentu, dikhawatirkan akan memporandakan kesatuan NKRI. Pada titik inilah, penulis mengusulkan beberapa upaya kongkrit untuk menghidupkan kembali ajaran autentik Islam Indonesia.
Pertama, mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Karakter bangsa ini mengandaikan sikap dan jati diri yang kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh trend dan isu-isu dari luar. Pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai etika luhur kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Nilai-nilai etika luhur itu diambil dari berbagai norma yang ada, khususnya norma agama yang berkembang di Indonesia. Kemudian dimasukkan ke dalam mata pelajaran sekolah. Pendidikan karekter bangsa juga dapat dikembangkan dari kearifan budaya lokal. Budaya-budaya lokal seperti gotong royong, saling menghormati, suka bekerja keras dan rasa malu harus dihidupkan kembali dalam berbagai lini kehidupan bangsa. Dengan melakukan hal ini, karakter kebangsaan rakyat Indonesia akan kembali tumbuh dan bangsa ini akan menemukan kembali jati dirinya yang asli.
Kedua, merevitalisasi peran dan fungsi pesantren. Jamak diketahui bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di negeri ini. Ia telah melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang santun, arif dan berkarakter. Namun belakangan nama pesantren tercoreng karena peristiwa beberapa oknum yang terlibat dalam gerakan terorisme. Oleh karena itu, sudah saatnya peran dan fungsi pesantren/surau/dayah dioptimalkan kembali sebagai kawah candradimuka pendidikan Islam di Indonesia. Juga sebagai benteng pembangunan akhlak bagi generasi bangsa.
Ketiga, meningkatkan kajian dan penelitian tentang Islam Indonesia. Penelitian dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti LIPI atau Litbang Kementerian Agama dan Kemendiknas, juga bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, terutama yang ada di perguruan tinggi Islam. Penelitian itu difokuskan pada penggalian khazanah keilmuan ulama Indonesia, manuskrip-manuskrip kuno, arsitektur dan artefak peninggalan para leluhur bangsa. Hasil penelitian itu kemudian disosialisikan ke semua lapisan masyarakat secara terprogram dan berkesinambungan, agar mereka mengetahui kekayaan intelektual dan kearifan ajaran para ulama dan pendiri bangsa.
Ketiga upaya di atas harus mendapat dukungan dari semua pihak, baik lembaga pemerintah maupun swasta, baik dilakukan secara individual maupun kelompok. Dengan bersama-sama melakukan empat hal di atas secara serius, terprogram dan berkesinambungan, harapan besar untuk menghidupkan kembali ajaran autentik Islam Indonesia yang khas di tengah arus gelombang modernisasi akan terwujud di negeri ini.
Penutup
Gerakan liberalisme dan radikalisme yang belakangan muncul di Indonesia bukanlah ajaran asli Islam Indonesia. Gerakan tersebut bersifat transplanted (cangkokan) dari luar; liberalisme berasal dari tradisi kritis Barat, sementara radikalisme bersumber dari fundamentalisme Timur Tengah dan Afghanistan.
Dua kutub pemikiran dan gerakan tersebut sejatinya berada pada titik yang sama-sama ekstrim. Yang satu ekstrim ke kiri dan yang lain ekstrim ke kanan. Ekstrimitas ini tentu tidak sejalan dengan ajaran Islam. Sebab ajaran Islam menekankan moderatisme, sikap tengah-tengah antara berbagai titik ekstrim yang ada. Inilah yang antara lain tergambar dari kata “ummatan wasathan” dalam QS. Al-Baqarah [2]:143. Dalam ajaran Islam, ekstrimisme atau ta’ashshubiyah dengan berbagai variannya adalah sesuatu yang dikecam dan dilarang, karena ia dapat menghancurkan eksitensi alam dan kemanusiaan (QS. Al-Maidah [5]:77).
Jika ditilik dari sejarah pemikiran dan gerakan Islam Indonesia, dua aliran ekstrim di atas juga merupakan sesuatu yang tidak pernah dikenal. Para pendakwah awal Islam Indonesia tidak menggunakan ekstrimitas, baik kanan atau kiri, dalam strategi dakwah mereka. Justru kearifan dan kematangan ilmu, berhasil mengantarkan mereka pada titik keyakinan tertinggi bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta. Oleh karena itu, mereka merumuskan ajaran tepo seliro sebagai landasan dakwah Islam di Indonesia. Ajaran tepo seliro ini terbangun dari empat prinsip ajaran Islam, yaitu; at-tawassut (moderat), at-tawâzun (keseimbangan), al-i’tidâl (keadilan), dan at-tasâmuh (toleransi).
Ajaran tepo seliro yang terkonstruk dari empat prinsip mulia inilah yang penulis sebut sebagai ajaran autentik Islam Indonesia. Sebuah ajaran yang tidak saja memiliki akar kuat dari Al-Qur’an dan Hadis, tapi juga membumi ke dalam tradisi lokal yang ada di negeri zamrud katulistiwa ini.
Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan ajaran autentik Nusantara, yaitu; mengembangkan pendidikan karekter bangsa, merevitalisasi peran dan fungsi pesantren, dan meningkatkan kajian dan penelitian tentang Islam Indonesia. Dengan menghidupkan kembali ajaran adiluhung itu melalui tiga upaya tersebut, diharapkan umat Islam Indonesia akan tercerahkan dan kembali kepada jati diri dan karakteristiknya yang asli; ramah, santun, berkarakter dan berwibawa.
Jika hal ini dapat dilakukan secara terstruktur dan berkesinambungan, maka cita-cita luhur untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan terealisasi di negeri tercinta ini. Wallahu al-Muwaffiq Ilâ Aqwam ath-Thariq, Wallahu A’lam.
* Dosen, Asisten Direktur Pascasarjana Program Magister (PPM) Islam Nusantara STAINU Jakarta
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43202-lang,id-c,kolom-t,Menghidupkan+Kembali+Ajaran+Autentik+Islam+Nusantara-.phpx
Tidak heran bila Islam Indonesia pada awal kemunculannya tidak mengenal kekerasan dan ekstrimisme, baik ekstrimisme kiri atau kanan. Ajaran Islam Nusantara sejatinya juga tidak condong kepada gerakan Islam radikal juga tidak permisif pada gerakan Islam liberal.
Sikap moderat seperti itu antara lain disebabkan kelihaian para penyebar Islam dalam memformulasi ajaran Islam dengan tradisi lokal. Walisongo misalnya, menjadikan tradisi wayang, gending, ziarah dan pertunjukan silat sebagai sarana dakwah yang paling jitu dan spektakuler. Dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya, Walisongo berhasil mengislamkan hampir seluruh penduduk Jawa dengan damai tanpa perlawanan yang berarti dari penduduk pribumi.
Metode dan sikap yang arif dan bijak tersebut dirumuskan oleh para pendakwah Islam, khususnya Walisongo, dari ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw, kemudian diformulasikan menjadi sebuah ajaran Islam Indonesia yang khas dan membumi yang dikenal dengan ajaran tepo seliro. Ajaran tepo seliro ini ternyata dibangun di atas empat prinsip ajaran Islam yaitu prinsip at-tawassuth (moderat), at-tawâzun (seimbang), al-i’tidal (adil) dan at-tasâmuh (toleran) (Ahmad Shiddiq, 1979;40-44). Ajaran Tepo Seliro yang terbangun dari empat prinsip inilah yang penulis sebut sebagai ajaran autentik Islam Indonesia.
Upaya Menghidupkan Ajaran Islam Nusantara
Hilangnya ajaran autentik Islam Indonesia dari generasi bangsa berdampak cukup serius. Tidak saja memberangus nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin, tapi dalam skala tertentu, dikhawatirkan akan memporandakan kesatuan NKRI. Pada titik inilah, penulis mengusulkan beberapa upaya kongkrit untuk menghidupkan kembali ajaran autentik Islam Indonesia.
Pertama, mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Karakter bangsa ini mengandaikan sikap dan jati diri yang kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh trend dan isu-isu dari luar. Pendidikan karakter bangsa dapat dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai etika luhur kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Nilai-nilai etika luhur itu diambil dari berbagai norma yang ada, khususnya norma agama yang berkembang di Indonesia. Kemudian dimasukkan ke dalam mata pelajaran sekolah. Pendidikan karekter bangsa juga dapat dikembangkan dari kearifan budaya lokal. Budaya-budaya lokal seperti gotong royong, saling menghormati, suka bekerja keras dan rasa malu harus dihidupkan kembali dalam berbagai lini kehidupan bangsa. Dengan melakukan hal ini, karakter kebangsaan rakyat Indonesia akan kembali tumbuh dan bangsa ini akan menemukan kembali jati dirinya yang asli.
Kedua, merevitalisasi peran dan fungsi pesantren. Jamak diketahui bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di negeri ini. Ia telah melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang santun, arif dan berkarakter. Namun belakangan nama pesantren tercoreng karena peristiwa beberapa oknum yang terlibat dalam gerakan terorisme. Oleh karena itu, sudah saatnya peran dan fungsi pesantren/surau/dayah dioptimalkan kembali sebagai kawah candradimuka pendidikan Islam di Indonesia. Juga sebagai benteng pembangunan akhlak bagi generasi bangsa.
Ketiga, meningkatkan kajian dan penelitian tentang Islam Indonesia. Penelitian dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti LIPI atau Litbang Kementerian Agama dan Kemendiknas, juga bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, terutama yang ada di perguruan tinggi Islam. Penelitian itu difokuskan pada penggalian khazanah keilmuan ulama Indonesia, manuskrip-manuskrip kuno, arsitektur dan artefak peninggalan para leluhur bangsa. Hasil penelitian itu kemudian disosialisikan ke semua lapisan masyarakat secara terprogram dan berkesinambungan, agar mereka mengetahui kekayaan intelektual dan kearifan ajaran para ulama dan pendiri bangsa.
Ketiga upaya di atas harus mendapat dukungan dari semua pihak, baik lembaga pemerintah maupun swasta, baik dilakukan secara individual maupun kelompok. Dengan bersama-sama melakukan empat hal di atas secara serius, terprogram dan berkesinambungan, harapan besar untuk menghidupkan kembali ajaran autentik Islam Indonesia yang khas di tengah arus gelombang modernisasi akan terwujud di negeri ini.
Penutup
Gerakan liberalisme dan radikalisme yang belakangan muncul di Indonesia bukanlah ajaran asli Islam Indonesia. Gerakan tersebut bersifat transplanted (cangkokan) dari luar; liberalisme berasal dari tradisi kritis Barat, sementara radikalisme bersumber dari fundamentalisme Timur Tengah dan Afghanistan.
Dua kutub pemikiran dan gerakan tersebut sejatinya berada pada titik yang sama-sama ekstrim. Yang satu ekstrim ke kiri dan yang lain ekstrim ke kanan. Ekstrimitas ini tentu tidak sejalan dengan ajaran Islam. Sebab ajaran Islam menekankan moderatisme, sikap tengah-tengah antara berbagai titik ekstrim yang ada. Inilah yang antara lain tergambar dari kata “ummatan wasathan” dalam QS. Al-Baqarah [2]:143. Dalam ajaran Islam, ekstrimisme atau ta’ashshubiyah dengan berbagai variannya adalah sesuatu yang dikecam dan dilarang, karena ia dapat menghancurkan eksitensi alam dan kemanusiaan (QS. Al-Maidah [5]:77).
Jika ditilik dari sejarah pemikiran dan gerakan Islam Indonesia, dua aliran ekstrim di atas juga merupakan sesuatu yang tidak pernah dikenal. Para pendakwah awal Islam Indonesia tidak menggunakan ekstrimitas, baik kanan atau kiri, dalam strategi dakwah mereka. Justru kearifan dan kematangan ilmu, berhasil mengantarkan mereka pada titik keyakinan tertinggi bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta. Oleh karena itu, mereka merumuskan ajaran tepo seliro sebagai landasan dakwah Islam di Indonesia. Ajaran tepo seliro ini terbangun dari empat prinsip ajaran Islam, yaitu; at-tawassut (moderat), at-tawâzun (keseimbangan), al-i’tidâl (keadilan), dan at-tasâmuh (toleransi).
Ajaran tepo seliro yang terkonstruk dari empat prinsip mulia inilah yang penulis sebut sebagai ajaran autentik Islam Indonesia. Sebuah ajaran yang tidak saja memiliki akar kuat dari Al-Qur’an dan Hadis, tapi juga membumi ke dalam tradisi lokal yang ada di negeri zamrud katulistiwa ini.
Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan ajaran autentik Nusantara, yaitu; mengembangkan pendidikan karekter bangsa, merevitalisasi peran dan fungsi pesantren, dan meningkatkan kajian dan penelitian tentang Islam Indonesia. Dengan menghidupkan kembali ajaran adiluhung itu melalui tiga upaya tersebut, diharapkan umat Islam Indonesia akan tercerahkan dan kembali kepada jati diri dan karakteristiknya yang asli; ramah, santun, berkarakter dan berwibawa.
Jika hal ini dapat dilakukan secara terstruktur dan berkesinambungan, maka cita-cita luhur untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan terealisasi di negeri tercinta ini. Wallahu al-Muwaffiq Ilâ Aqwam ath-Thariq, Wallahu A’lam.
* Dosen, Asisten Direktur Pascasarjana Program Magister (PPM) Islam Nusantara STAINU Jakarta
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43202-lang,id-c,kolom-t,Menghidupkan+Kembali+Ajaran+Autentik+Islam+Nusantara-.phpx