Judul Buku : Respon Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di Indonesia
Editor : Haidlor Ali Ahmad
Penerbit : Badan Litbang & Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI
Tahun Terbit : 2007
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : 207 hlm
RAGAM SUDUT PANDANG ALIRAN SEMPALAN
Oleh: Nurun Nisa'
Di sebuah SMU di Banjarmasin, seorang siswi mesti menghadap kepala sekolahnya. Bukan karena tidak disiplin. Tetapi disebabkan oleh aliran Ahmadiyah yang dianutnya dan orang tuanya. Sementara siswa lain adalah pengikut aliran yang familiar; NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan al-Wathaniyah. Ia disuruh pindah aliran karena dinilai sesat, tapi ia tak mau.
Kesesatan
Ahmadiyah—seperti difatwakan oleh MUI—membuat pimpinan sekolah itu
ketar-ketir. Akhirnya, sebuah makalah dibuat oleh pihak sekolah untuk
menjelaskan kesesatan Ahmadiyah lalu diperbanyak dan disebarkan kepada
guru, murid, dan orang tua/wali murid. Tak terima, pengurus Ahmadiyah
setempat membuat makalah tandingan. Timbullah masalah sehingga kepala
Departemen Agama Kalimantan Selatan mesti turun tangan.
Kasus
ini merupakan potret kehidupan keberagamaan di negeri ini. Pemicunya
banyak hal. Antara lain, karena pemahaman atau pengetahuan terhadap
aliran Ahmadiyah yang terdistorsi—entah disengaja atau tidak. Pada tahap
akut, distorsi ini dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Agar
tidak berulang, perlu kiranya penjelasan soal aliran ini dan berbagai
aliran sempalan lainnya yang berbeda dari main-stream secara komprehensif dan cover both side (baca: netral).
Di
sinilah, signifikansi dari kehadiran buku yang bertajuk "Respon
Pemerintah, Ormas, dan Masyarakat terhadap Aliran Keagamaan di
Indonesia" yang diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI. Buku ini merupakan laporan
hasil serangkaian penelitian lapangan yang dilakukan sepanjang 2006 yang
ditujukan untuk menelaah respon pemerintah, ormas, dan masyarakat
terhadap fenomena aliran sempalan yang muncul dan merebak di mana-mana
yang seringkali memunculkan persoalan baru dalam masyarakat.
Penelitian
dilakukan di enam daerah dengan lima aliran sempalan sebagai sasaran
penelitiannya. Yakni Jamaah Tabligh dan Ahmadiyah di Banjarmasin oleh
Zaenal Abidin, Imam Syaukani, dan Antung Norhasanah. LDII dan Jamaah
Tabligh di Samarinda oleh Abdul Aziz, Ahsanul Khalikin, dan Sri
Sulastri. Tiga organisasi ini juga diteliti oleh Ridwan Lubis,
Mursyid Ali, dan Akmal Salim Ruhana di Palembang dan Bashori A. Hakim,
Eko Aliroso & Fakhruddin M. di Tanjung Pinang. LDII dan Saksi-saksi
Yehowa di Manado diteliti oleh Nuhrison M. Nuh, Asmawati, dan Sri
Haryati. Muh. Nahar Nahrawi, Wakhid Sugiyarto, dan Reza Perwira meneliti
Ahmadiyah dan Hindu Tamil di Medan. Daerah ini dipilih karena tingkat
perubahan sosialnya tinggi. Pada kondisi ini, masuknya berbagai aliran
sempalan akan cepat mendapat respon dari berbagai kalangan
karena—disadari atau tidak—mempengaruhi struktur sosial-politis di
tempat tersebut.
Lima aliran ini dianggap sempalan karena memiliki karakteristik unik yang membedakannya dengan (agama) induk yang dipahami oleh main-stream. Perbedaan ini amat kuat sehingga nampak jauh dari aslinya—disebutlah sebagai cabang atau sempalan.
Jamaah Tabligh, misalnya, memiliki ajaran khuruj.
Ajaran ini menugaskan para penganutnya untuk berdakwah dalam kurun
waktu tertentu ke tempat tertentu dengan meninggalkan segala
tanggungannya, termasuk istri dan keluarganya guna menyebarkan ajaran
Islam. Cara dakwah seperti itu, bagi mayoritas Islam, adalah keliru
sebab Nabi tak pernah melakukannya. Ahmadiyah dinilai lain karena telah
menahbiskan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Nabi. Sementara,
kebanyakan orang Islam memiliki keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan yang pungkasan.
LDII
pernah dicap ingkar sunnah atau mengingkari hadits sebagai landasan
keagamannya. Padahal, NU dan Muhammadiyah memegang teguh al-Qur'an dan
Hadits sebagai pedoman agama. Saksi-saksi Yehowa tidak mengakui Trinitas
yang menjadi asas ketuhanan Kristen pada umumnya. Sementara itu Hindu
Tamil tak merayakan Nyepi, Galungan, dan Kuningan seperti halnya pemeluk
Hindu Bali.
****
Perbedaan
penafsiran keagamaan di atas menimbulkan respon beragam. Ormas,
masyarakat, dan pemerintah memiliki sikap beragam; mulai dari apreasiasi
positif, menentang bahkan acuh tak acuh terhadap fenomena aliran
sempalan ini. Perbedaan ini karena memang dilatari ketidaksamaan pola
pikir dan setting sosial budaya masing-masing. Belum lagi soal
pembedaan kategorisasi penilaian: aspek aqidah dan aspek muamalah. Aspek
aqidah biasanya tegas dan cenderung nomatif. Aspek ini mendapat sorotan
tajam, dan bahkan perlakuan ekstrim seperti penyerangan, oleh
masyarakat yang tidak setuju terhadap keberadaan mereka.
Ahmadiyah
di Banjarmasin misalnya. Markasnya hampir-hampir diserang seperti
halnya Ahmadiyah di Bogor karena dicap sebagai aliran sempalan yang
sesat. Demikian pula Saksi-saksi Yehowa di Medan. Aliran yang berpusat
di New York ini ditentang "habis-habisan" oleh Gereja Masehi Injili
Manado (GMIM) karena penolakannya atas doktrin Trinitas. Sayangnya,
peneliti yang bersangkutan tidak menjelaskan term "habis-habisan"
tersebut secara komprehensif. Di Samarinda, beberapa tokoh agama
merekomendasikan agar LDII ditindak tegas sebelum konflik meletus. Hal
ini didasari adanya beberapa kejanggalan tak terjelaskan—semisal
penggunaan sandi 3-1-3 dan 3-5-4 di kalangan warga LDII yang hanya dapat
dipahami pihak intern LDII—yang didapat dari hasil penelitian mereka
sendiri terhadap ajaran LDII.
Aspek
muamalah biasanya menyangkut teknik dakwah, cara bergaul, dan cara
hidup. Titik tolaknya adalah keterbukaan atau inklusivitas dalam
bermasyarakat. Sanksinya, dikucilkan secara sosial. Persoalan Jamaah
Tabligh, LDII, dan Hindu Tamil berkutat pada masalah ini. Jamaah Tabligh
di semua sasaran penelitian mendapat respon negatif karena sikapnya
yang jorok padahal aktivitas mereka berpusat di masjid. Di Tanjung
Pinang, pengurus NU mengeluhkan gaya dakwah aliran yang diidentikan
dengan Nurhasan al-Ubaidah ini yang merasa (paling) benar sendiri.
Pengurus Muhammadiyah di sana juga mengeluhkan sikap anggota LDII yang
cenderung memaksakan kehendak. Selain itu, hampir di semua daerah
penelitian, LDII dianggap kurang bergaul sehingga kurang disenangi
masyarakat sekitar.
Tetapi
bukan berarti tidak ada kesan positif dari tiga aliran sempalan ini.
Jamaah Tabligh, sebagai contoh, dianggap menyebarkan kebiasaan
baik—bahkan dinilai meningkatkan gairah keagamaan yang cenderung meredup
akhir-akhir ini semisal sholat berjamaah. Karena itu, keberadaan aliran
yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi ini didukung.
Bahkan, pengurus Muhammadiyah di Palembang menjadi anggota aliran yang
diimpor dari India ini karena didasari motif tersebut. Hindu Tamil di
Medan beradaptasi dengan baik, meski pernah timbul masalah disebabkan
perbedaan hari besar keagamaan, terhadap saudaranya; pemeluk Hindu Bali.
Kondisi ini juga didorong oleh tingkat perekonomian dan pendidikan yang
cukup tinggi di sana.
Di
luar itu, beberapa dari warga masyarakat memilih sikap acuh tak acuh
karena kehadiran semua aliran hampir-hampir tidak memiliki pengaruh—jika
tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali—terhadap kehidupan mereka.
Yang
menarik adalah respon dari MUI yang posisinya ganda—sebagai ormas dan
(kadang-kadang) sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Sikap MUI di
daerah penelitian menunjukkan kecenderungan yang berbeda, meski sandaran
hukum mereka menyikapi aliran-aliran sempalan tetap saja fatwa dari
Komisi Fatwa MUI Pusat. Ini terlihat dalam tindakan atau pendekatan yang
diambil terutama menyangkut keberadaan LDII dan Ahmadiyah yang secara
resmi dicap sesat oleh MUI. Citra yang lebih menonjol adalah MUI daerah
justru menjadi penyerap aspirasi masyarakat.
Dalam
penelitian di Samarinda, MUI menerima kritik dari masyarakat. Akan
tetapi karena LDII bersedia beradaptasi dengan tradisi setempat, maka
MUI hanya memberi teguran saja. Tidak ada larangan khusus. Sikap yang
hampir senada diambil oleh MUI di Banjarmasin. MUI Palembang mengeluhkan
fanatisme LDII yang dapat menimbulkan rasa curiga dan salah faham antar
warga dan antar kelompok sesama Muslim. Tetapi sebatas itu saja. MUI
Manado menekankan bahwa secara kelembagaan, LDII memang ditolak. Tetapi
bukan berarti harus dikebiri perkembangannya. Asalkan, mereka tidak
ekspansif. Kalau ini dijalankan, tidak akan ada masalah.
Di
Banjarmasin, MUI mengakui fatwa sesat buat Ahmadiyah. Tetapi, sang
ketua, menenkankan bahwa yang demikian bukan pembenar terjadinya
kekerasan. Karena itulah, ia memilih pendekatan persuasif—bukan
represif—terhadap aliran ini. Tidak ada keterangan tentang respon
Ahmadiyah di Medan. Hanya saja, peneliti mengungkapkan bahwa Medan
merupakan daerah multi-etnis dan multi-agama. Kondisi masyarakat dengan
tipikal ini, membuat masyarakatnya telah lama belajar berbeda dalam
memeluk agama. Meskipun, potensi konflik antar kelompok cukup besar,
namun sampai penelitian tersebut selesai ditulis, belum pernah terjadi
konflik. Mungkin, dugaan penulis, Ahmadiyah mengalami perlakuan serupa;
tidak ada soal di sana meski sudah dianggap sesat.
****
Buku
ini berbeda dengan buku penelitian sejenis. Bila penelitian biasanya
cukup diakhiri kesimpulan, ia menambahkan rekomendasi di penutup laporan
penelitiannya. Di sini, beberapa rekomendasi diajukan khusus kepada
para aparat berwenang sehingga terkesan "struktural". Misalnya saja,
adanya rekomendasi berbentuk tuntutan dan ekspektasi yang besar atas
keterlibatan aparat Departemen Agama atau Puslitbang Kehidupan Keagamaan
dalam konflik akibat perbedaan tafsir keagamaan. Ini cukup wajar. Sebab
tujuan buku ini memang untuk dijadikan rujukan dasar atau masukan bagi
para pengambil kebijakan dalam upaya membangun kerukunan kehidupan
keagamaan di negeri ini—khususnya ketika aliran sempalan mulai meruyak
di mana-mana. Sebagaimana kita ketahui, kerukunan menjadi barang mahal
ketika aliran sempalan itu hadir karena dipicu berbagai macam sebab.
Namun,
rekomendasi yang diajukan para peneliti ini bukan berarti tak menyimpan
persoalan. Tuntutan inklusivitas LDII di Samarinda misalnya tampak
berlebihan. Dalam segi kemasyarakatan, inklusivitas ini sangat mungkin
diwujudkan. Penulis sepakat penuh atas inklusivitas secara sosial—ia
dapat menjadi jurus ampuh mendamaikan berbagai perbedaan teologis di
masyarakat.
Akan
tetapi, ini menjadi lain ceritanya jika inklusivitas yang dimaksud
dilaksanakan dalam taraf peribadatan. Mengganti imam masjid dari yang
bukan golongan LDII, bagi penulis, serasa memangkas perbedaan (teologis)
yang mestinya kita hormati. Secara real, kita dapat menyaksikan betapa
ormas terbesar di negeri ini (baca: NU dan Muhammadiyah), agak mengalami
kesulitan jika mesti melakukan "inklusivitas masjid" ini. Sebagai
organisasi yang dicap sesat, bila rekomendasi ini benar-benar
dilaksanakan, nampaknya para penganut LDII akan memperoleh kesulitan
yang berganda.
Selain
itu, jaminan kebebasan keberagamaan di buku ini kurang mendapat
penekanan. Editor sempat menyebut hal itu dalam pengantarnya tetapi
detailnya tidak dijabarkan. Pasal 28 E UUD 1945 Amandemen IV, Konvensi
Hak Sipil Politik PBB, dan peraturan terkait lainnya sepertinya perlu
ditambahkan. Ini penting. Karena, di sinilah sesungguhnya perbedaan
tafsir keagamaan yang ujungnya adalah berbagai aliran sempalan di atas
akan menemu konteksnya. Mereka, yang berbeda dari main-stream,
berhak mengekspresikan keyakinannya dan masyarakat memiliki sandaran
hukum untuk menghormatinya. Ketika dua sikap telah ada, kerukunan akan
muncul dengan sendirinya.
Di atas itu semua, buku ini berguna sekali kehadirannya. Paling tidak, buku ini mampu merangkum berbagai respon yang ada dalam masyarakat. Melalui buku ini, kita tahu bahwa perbedaan pandangan keagamaan di daerah penelitian tidak sampai kepada penganiayaan fisik seperti halnya tragedi penyerbuan kampus Ahmadiyah di Parung beberapa waktu lalu. Ketidaksetujuan terhadap keberadaan aliran sempalan, sebagian besar, diekspresikan hanya secara verbal. Namun, bukan berarti bahwa persoalan ini tidak akan berkembang menjadi lebih besar sehingga harus segera diselesaikan. Tentu saja, dialog dan keterbukaan dari kedua belak pihak menjadi prasyarat utama. Semua pihak wajib terlibat, termasuk pemerintah. Wallahu A'lam bish Shawab.
Retrieved from: http://nurunnisa2007.blogspot.com/2008_05_02_archive.html#3242998102677168625