Local Variants of Islam in Indonesia: Minority Religions and Religious Sects with Islamic Origin or Influence
Monday, September 5, 2011
Indonesian Islam: A History in the Making with Prof. Michael Laffan
2010 Spring Lecture Series
March 31, 2010, 01:00 PM (Johnson Center 3rd Floor, Meeting Room F)
It is often said that Indonesian Islam can lay claim to a special tradition of tolerance and syncretism unparalleled in the Muslim world. In this talk, based on Dr. Michael Laffan’s forthcoming book, The Makings of Indonesian Islam, Dr. Laffan suggests that such a narrative is the result of a specific period of interaction between Dutch colonial scholarship and Islamic reformist scholarship during the late nineteenth-century. Such an engagement also includes confrontation between the European colonial power and various Sufi orders in Indonesia. Dr. Laffan's motivation for his research stems from his
"dissatisfaction or frustration whenever the topic of Indonesian Islam comes up. Because whenever people say 'Indonesian Islam' it conjurs up [images and ideas] of a more ironic Islam [and] of a more tolerant Islam."
He also argues the story of Indonesian Islam is not dominated by one narrative and its ending is not yet determined.
Michael Laffan is an Assistant Professor at Princeton University’s Department of History. He teaches on Southeast Asia and is interested in the intersections of colonialism and Islamic discourse in the region across the 19th and 20th centuries.
Retrieved from: http://vimeo.com/14247370
Saturday, September 3, 2011
Islam Aboge, Ajaran Warisan Raden Rasid Sayid Kuning
Jemaah Islam Aboge di Desa Sawangan, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, saat menggelar kenduri seusai Salat Id tahun 2010.
Kompas, Kamis, 1 September 2011 | 09:10 WIB
KOMPAS.com - Hari ini, Kamis (1/9/2011), penganut Islam Aboge baru merayakan Hari Raya Idul Fitri 1432 H. Ratusan orang menggelar Salat Id di sejumlah masjid di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Di Kabupaten Banyumas terdapat ratusan penganut Islam Aboge yang tersebar di sejumlah desa, antara lain Desa Cibangkong (Kecamatan Pekuncen), Desa Kracak (Ajibarang), Desa Cikakak (Wangon), dan Desa Tambaknegara (Rawalo). Selain itu, di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, juga terdapat ratusan penganut Islam Aboge.
Penganut Islam Aboge atau Alif-Rebo-Wage (A-bo-ge) merupakan penganut aliran yang diajarkan Raden Rasid Sayid Kuning. Perhitungan yang dipakai aliran Aboge telah digunakan para wali sejak abad ke-14 dan disebarluaskan oleh ulama Raden Rasid Sayid Kuning dari Pajang.
Para penganut Islam Aboge meyakini, dalam kurun waktu delapan tahun atau satu windu terdiri dari tahun Alif, Ha, Jim Awal, Za, Dal, Ba/Be, Wawu, dan Jim Akhir serta dalam satu tahun terdiri 12 bulan dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari dengan hari pasaran berdasarkan perhitungan Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing.
Dalam hal ini, hari dan pasaran pertama pada tahun Alif jatuh pada Rabu Wage (Aboge), tahun Ha pada Ahad/Minggu Pon (Hakadpon), tahun Jim Awal pada Jumat Pon (Jimatpon), tahun Za pada Selasa Pahing (Zasahing), tahun Dal pada Sabtu Legi (Daltugi), tahun Ba/Be pada Kamis Legi (Bemisgi), tahun Wawu pada Senin Kliwon (Waninwon), dan tahun Jim Akhir pada Jumat Wage (Jimatge).
Terkait penetapan 1 Syawal 1432 H, tokoh masyarakat Islam Aboge, Sulam, Kamis (1/9/2011), mengatakan, hal itu berdasarkan cara perhitungan yang telah diyakini sejak ratusan tahun silam.
Menurutnya, penganut aliran Aboge meyakini jika tahun 1432 H merupakan tahun Ba/Be dengan tanggal 1 Muharam jatuh pada hari Kamis pasaran Legi sehingga muncul hitungan Bemisgi (tahun Be-Kemis/Kamis-Legi).
Menurut dia, hitungan Bemisgi tersebut selanjutnya menjadi patokan perhitungan untuk menentukan hari-hari penting lainnya di tahun Be ini. "Kamis merupakan hari pertama di tahun Be. Demikian pula Legi merupakan pasaran pertama di tahun Be," katanya.
Untuk menetapkan 1 Syawal, kata dia, penganut Aboge menggunakan rumusan Waljiro (Syawal-Siji-Loro) yang berarti 1 Syawal pada hari pertama dengan hari pasaran kedua yang diturunkan dari hitungan Bemisgi. Dengan demikian, kata dia, 1 Syawal 1432 H bagi penganut Islam Aboge jatuh pada hari Kamis Legi, 1 September 2011.
Dari hitungan tersebut, penganut Islam Aboge juga sudah menetapkan, 1 Syawal 1433 H bagi penganut Islam Aboge akan jatuh pada hari Senin Legi, 20 Agustus 2012.
Hari ini Sulam baru pertama kali menjadi imam dalam Salat Id di Masjid Saka Tunggal menggantikan ayahnya yang telah lanjut usia, yakni Kiai Sopani. "Kami, para penganut Islam Aboge saat ini hanya berusaha meneruskan ajaran dari leluhur," katanya.
Ia menuturkan, hanya sebagian generasi muda Islam Aboge yang masih mempertahankan tradisi leluhur. Kata dia, para generasi muda komunitas Islam Aboge sedang berada dalam persimpangan jalan, yakni meneruskan ajaran leluhur atau mengikuti ajaran Islam yang berkembang di masyarakat secara umum.
http://regional.kompas.com/read/2011/09/01/09100193/Islam.Aboge...Ajaran.Warisan.Raden.Rasid.Sayid.Kuning
Friday, September 2, 2011
Kudi Pacul, Ritual Lebaran Islam Aboge
Taufik Budi - SUN TV
OkeZone.com, Jum'at, 2 September 2011 00:05 wib
Yatbani bersama Istri melakukan ritual Kudi Pacul. (Foto: Taufik Budi/SunTV )
BLORA - Warga Islam aliran Aboge di Blora, Jawa Tengah, mempunyai cara tersendiri untuk merayakan Lebaran Idul Fitri yang baru jatuh pada hari ini. Mereka menggelar selamatan dan ritual Kudi Pacul, yakni menjamas alat-alat pertanian.
Ritual dilakukan dengan mengumpulkan satu per satu alat-alat pertanian, berupa sabit, parang, linggis, dan cangkul, yang ditumpuk di atas keranjang bambu yang terbalik. Selain itu benda pusaka, seperti keris dan tombak, juga berada di atas keranjang tersebut.
Seperti yang dilakukan oleh seorang penganut Islam Aboge, Sastro Wijoyo Yatbani, warga Dukuh Jagong, Desa Pengkoljagong, Kecamatan Doplang.
Saat ditemui, Kamis (1/9/2011), lelaki berusia 90 tahun ini sedang melakukan ritual tersebut. Menyan, kembang tujuh rupa dibakarnya di atas tumpukan alat pertanian, dan benda pusaka.
Untuk menyempurnakan ritual Kudi Pacul, Yatbani juga menggelar selamatan berupa nasi tumpeng. Nasi tumpeng itu sebagai perlambang wujud syukur kepada Tuhan.
Dituturkan Yatbani, Kudi Pacul merupakan cara warga Islam Aboge merayakan Idul Fitri. Ritual ini dilakukan warga Islam Aboge secara turun temurun.
Kudi Pacul, merupakan bentuk penghargaan, tidak hanya kepada manusia, namun juga kepada mahluk lain. Warga Islam Aboge meyakini, kehidupan manusia di dunia tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan mahluk lain yang gaib.
Agar tidak mengganggu kehidupan manusia, Warga Aboge juga melakukan tabur bunga di lahan pertanian maupun tempat lain yang dianggap menjadi tempat tinggal mahluk gaib.
Warga Islam Aboge berpandangan, ritual Kudi Pacul dapat mendatangkan berkah keselamatan. (hri)