Indonesia adalah negara dengan jumlah penganut Islam terbesar di dunia. Namun agama Islam dijalankan dengan berbagai cara oleh sejumlah komunitas.
Seperti komunitas Wetu Telu Islam yang tinggal di kaki gunung Rinjani, Lombok.
Mereka menggabungkan animisme kuno dengan Islam. Budi Kurniawan mengunjungi komunitas itu belum lama ini dan laporannya disampaikan Sri Lestari.
Suara Kiai Kagungan melantunkan ayat Qu’ran dengan logat Sasak yang kental, membahana di sebuah desa yang sejuk di kaki Gunung Rinjani. Sore itu ia sedang memimpin upacara Roh Sambi atau syukuran panen padi.
Upacara berlangsung khidmat di atas sawung Iranof, si empunya hajat.
“Artinya syukuran. Padi sudah dimasukan ke lumbung, diselamatkan. Syukuran. Tujuan sykuran mengumpulkan keluarga. Acaranynya beersama-sama. Acaranya seperti ini. Teman-teman, keluarga kumpul.”
Untuk acara syukuran hari itu, Iranof memotong 6 ekor ayam dan membawa semua hasil palawija untuk dimasak. Acara Roh Sambi itu ia gelar sekali dalam setahun.
Upacara Roh Sambi adalah salah satu acara adat yang selalu dilakukan masyarakat Suku Sasak. Ada banyak lagi upacara adat lain, seperti upacara syukuran kelahiran, perkawinan, sampai lingkungan.
Islam diperkenalkan di daerah in sekitar abad ke-16. Dan kini komunitas itu menggabungkan anemisme dengan Islam. Orang-orang menyebutnya Islam Wetu Telu.
Mereka juga setia merawat berbagai tradisi yang bertahun-tahun diturunkan oleh nenek moyang mereka. Termasuk juga berbagai kearifan lokal yang ada di dalamnya.
Namun oleh orang luar, istilah Wetu Telu seringkali diartikan sebagai waktu tiga. Hal ini karena mereka dianggap hanya mengerjakan sholatnya tiga waktu saja.
Beda dengan umat Islam umumnya yang mengerjakan sholat lima waktu. Belum lagi dengan banyaknya ritual adat yang mereka lakukan.
Komunitas Islam Wetu Telu kerap dipandang sesat dan tidak sempurna Islamnya.
Raden Gedarip, pemangku adat di Bayan menjelaskan.
“Wetu Telu menghayati Islam sama dengan Islam yang biasa. Artinya yang dianggap Islam sejati atau Islam yang sempurna, yaitu yang mengerjakan sembahyang lima kali sehari. Sedangkan adat ini hanyalah adat dunia saja. Artinya memperbaiki kekurangan yang ada di dunia untuk mencapai kemakmuran di dunia. Itu saja upacara yang terlalu banyak dianut adat Wetu Telu ini.
Jadi Wetu Telu bukan berarti Sholat 3 kali sehari. Wetu Telu berarti tiga kemunculan, yakni beranak, bertelur, dan tumbuh. Proses-proses itulah yang membentuk dunia.
Bahkan karena tudingan sesat itu, pada masa Orde Baru, Komunitas Wetu Telu pernah mengalami intimidasi. Mereka pernah dipaksa tobat dan memeluk Islam sebagaimana Islam umumnya. Raden Gedarip, pemangku adat di Bayan.
“Pernah dipanggil tokoh adat Wetu Telu, termasuk oleh Kodim. Di masa Orde Baru. Mengatakan begini. Tapi dijawab -saya juga termasuk dipanggil. ‘Kita kan orang Islam.’ Cuma kalau bapak yang mengatakan ini kurang baik kurang beres, silahkan. Kami menerima saja. Mereka waktu itu nanya? Supaya adat Wetu Telu tidak ada lagi. harus agama melulu yang dilaksanakan.”
Menurut Raden Gedarip, waktu itu kyai-kyai Wetu Telu dikumpulkan jadi satu di sebuah mesjid. Di sana mereka diceramahi tentang Islam yang benar versi pemerintah saat itu.
Setelah itu mereka dipaksa keluar pemahaman Islam Wetu Telu.
Budayawan Lombok, Agus Faturrahman, mengatakan kepercayaan Wetu Telu telah ada di masyarakat Sasak sejak lama, sebelum agama Islam masuk.
Dulu, agar Islam diterima masyarakat setempat, para penyebar agama Islam saat itu menyebarkannya melalui ajaran Wetu Telu.
“Umumnya masyarakat Nusantara, memiliki kepercayaan awal. Dan kepercayaan awal inilah yang dikendarai Islam. Nah di masyarakat Sasak ada kepercayaan Wetu Telu. Ini yang digunana Islam masuk dengan naskah-nakah Sufisme, seperti naskah Jati Swaera, naskah Tapal Adam, naskah Nur Sane, Nur Cahye Nursade. ini naskah-naskah Sufisme yang diadaptasi dari naskah Jawa.”
Islam Wetu Telu nampaknya akan terus bertahan.
Namun, sementara saya berjalan di beberapa desa terdekat, warga menyebut komunitas Islam Wetu Telu sebagai tidak Islami.
Tapi Raden Sawinggih, 30 tahun mengatakan, generasinya masih mempertahankan upacara kuno. Dia menaksir 80 persen warga di Bayan saat ini masih menganut Islam Wetu Telu.
Zaman sudah berbeda, listrik dan televisi telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari komunitas Wetu Telu. Namun, mereka masih menjalankan upacara budaya seperti yang dilakukan pada sore hari tadi.
Terakhir Diperbaharui ( Rabu, 24 Februari 2010 15:36 )
http://asiacalling.kbr68h.com/in/arsip/1169-lomboks-unique-wetu-telu-islam